SUARA UTAMA – Euforia dan Ekspektasi Awal
Pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dilaksanakan pada hari Minggu, 20 Oktober 2024 di Kompleks Parlemen, Jakarta.Menandai babak baru dalam sejarah politik Indonesia. Banyak pihak menaruh harapan besar bahwa duet ini akan membawa perubahan signifikan—melanjutkan pembangunan infrastruktur, memperkuat kedaulatan ekonomi, dan meneguhkan posisi Indonesia di panggung global. Namun, di balik euforia itu, tersimpan kekhawatiran akan munculnya “oligarki baru” dalam kabinet yang disusun, di mana kepentingan ekonomi-politik kelompok tertentu bisa kembali mendominasi arah kebijakan negara.
- Kabinet Haraoan: Komposisi yang Menarik Publik
Kabinet Prabowo–Gibran disebut-sebut sebagai representasi dari semangat rekonsiliasi nasional. Tersusun dari berbagai partai politik dan figur profesional, kabinet ini tampak seperti simbol persatuan. Namun, beberapa nama yang masuk—baik dari kalangan elite partai besar maupun pengusaha berpengaruh—mengundang pertanyaan: sejauh mana komposisi ini ditujukan untuk kepentingan rakyat, dan bukan semata bagi konsolidasi kekuasaan?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Beberapa tokoh muda dan teknokrat di posisi strategis menjadi sinyal positif. Mereka diharapkan mampu membawa inovasi, efisiensi birokrasi, dan semangat meritokrasi. Tetapi, di sisi lain, dominasi figur lama—terutama yang memiliki kedekatan dengan konglomerat atau jaringan politik lama—menjadi alarm akan potensi terkonsolidasinya kembali kekuatan ekonomi-politik lama dalam wajah baru.
- Risiko Oligarki: Ketika Kekuasaan dan Modal Menyatu
Fenomena oligarki politik bukan hal baru di Indonesia. Sejak era reformasi, kekuasaan kerap berpadu dengan kepentingan modal besar. Dalam konteks kabinet Prabowo–Gibran, risiko itu kembali menghantui. Dengan masuknya sejumlah tokoh yang memiliki kepentingan bisnis luas, publik patut waspada terhadap kebijakan yang berpotensi menguntungkan kelompok tertentu, misalnya dalam bidang energi, pertambangan, dan proyek infrastruktur strategis.
Para pengamat politik, seperti Prof. Firman Noor dari BRIN, menilai bahwa tantangan terbesar kabinet ini adalah menjaga jarak dari tekanan oligarki. Menurutnya, “pemerintah harus berani menegaskan posisi negara sebagai pelindung kepentingan publik, bukan sebagai pelayan modal.”
- Gibran dan Dinamika Regenerasi Politik
Kehadiran Gibran sebagai wakil presiden termuda dalam sejarah Republik Indonesia memberi warna tersendiri. Ia menjadi simbol regenerasi politik dan perubahan gaya kepemimpinan. Namun, kehadirannya juga tidak lepas dari kritik: apakah ini tanda terbukanya ruang bagi generasi muda, atau justru bukti bahwa politik dinasti semakin mengakar?
Bila Gibran mampu menunjukkan integritas dan keberanian melawan arus kepentingan lama, maka duet ini bisa menjadi momentum reformasi politik baru. Namun jika ia hanya menjadi representasi simbolik tanpa daya tawar, risiko lahirnya oligarki politik keluarga akan semakin nyata.
- Agenda Ekonomi: Kemandirian atau ketergantungan Baru /
Salah satu janji besar Prabowo–Gibran adalah memperkuat ekonomi nasional berbasis kedaulatan pangan, energi, dan pertahanan. Program makan siang gratis, industrialisasi pertanian, serta hilirisasi sumber daya alam merupakan pilar kebijakan populis yang dapat memperkuat daya beli rakyat.
Namun, tanpa pengawasan yang ketat, program-program besar tersebut berpotensi menjadi lahan baru bagi oligarki. Proyek raksasa sering kali membuka celah bagi praktik rente, korupsi, dan kolusi antara birokrat dan pemilik modal. Di sinilah pentingnya transparansi, pengawasan publik, serta partisipasi masyarakat sipil dalam memastikan setiap kebijakan benar-benar pro-rakyat.
- Jalan Tengah: Reformasi Struktural sebagai Kunci
Harapan terhadap kabinet ini masih terbuka lebar. Prabowo memiliki reputasi sebagai pemimpin berkarakter tegas dan nasionalis. Jika ketegasan itu diarahkan untuk membangun sistem pemerintahan yang bersih, profesional, dan berpihak pada rakyat, maka kekhawatiran terhadap oligarki baru dapat ditekan.
Reformasi birokrasi, digitalisasi pemerintahan, dan pembenahan regulasi menjadi agenda penting. Begitu pula pembentukan lembaga independen untuk mengawasi proyek strategis nasional agar tidak menjadi ladang korupsi. Di sisi lain, keterlibatan publik—media, akademisi, dan masyarakat sipil—harus diperkuat untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas.
Penutup: Antara Harapan dan Ujian Kepemimpinan
Kabinet Prabowo–Gibran adalah potret paradoks: di satu sisi mengandung energi baru untuk membangun Indonesia yang kuat dan berdaulat; di sisi lain, menyimpan risiko kembalinya dominasi elit ekonomi-politik dalam format baru.
Tantangan terbesar pemerintahan ini bukan sekadar bagaimana menjalankan program populis, tetapi bagaimana menjaga kemurnian niat untuk melayani rakyat di tengah godaan kekuasaan dan modal.
Apabila Prabowo dan Gibran mampu menegakkan prinsip “pemerintah untuk rakyat, bukan untuk kelompok”, maka sejarah akan mencatat mereka bukan hanya sebagai penerus kekuasaan, melainkan sebagai pembaharu sejati dalam perjalanan panjang demokrasi Indonesia.














