Suarautama.id, Gunungsitoli – Sebuah pengiriman telur dalam jumlah besar yang tidak disertai dokumen karantina resmi berhasil diungkap oleh Forum Aliansi Rakyat Peduli Kepulauan Nias (FARPKeN) di Kota Gunungsitoli, Kepulauan Nias. Penemuan ini kini menjadi sorotan publik lantaran proses hukum yang berjalan lambat dan terkesan tidak transparan.
Diketahui, pada 3 Mei 2025, tim FARPKeN menemukan satu unit truk Fuso bernomor polisi BK 8453 GP sedang melakukan bongkar muat telur dan pakan ternak ke mobil pick-up jenis Hilux dengan plat BB 8002 TC. Barang tersebut diperkirakan berjumlah 60 ribu butir telur yang diangkut dari Pelabuhan Sibolga menuju Gunungsitoli. Saat dimintai surat izin karantina, baik sopir maupun kepala gudang tak mampu menunjukkannya.
Ketua FARPKeN, Edward Lahagu, menuturkan bahwa berdasarkan keterangan di lapangan, telur-telur tersebut dikirim kepada Delada Grup, perusahaan milik pejabat aktif Bupati Nias Barat. Dugaan adanya konflik kepentingan pun menguat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah laporan resmi dibuat ke Polres Nias, truk Fuso langsung diamankan. Namun, empat hari berselang, hingga 7 Mei 2025, proses hukum terkait pelanggaran karantina tak kunjung menemukan kejelasan. Pihak kepolisian justru menyampaikan bahwa kendaraan dan barang bukti akan dikembalikan ke Karantina Sibolga, berdasarkan rekomendasi dari instansi terkait.
Namun, informasi dari petugas Karantina Sibolga, Revandi, hari ini rabu (7/05/25) yang dihubungi wartawan melalui panggilan WhatsApp, menyebutkan bahwa rekomendasi pengembalian telur dikeluarkan karena mereka tidak mengetahui adanya laporan polisi di Polres Nias. “Kalau sudah ada laporan polisi, seharusnya proses hukum tetap dijalankan oleh kepolisian sesuai SOP,” ujar Revandi.
Lebih memprihatinkan, mobil pick-up BB 8002 TC yang ikut membawa sebagian telur dari truk Fuso tidak ditahan, dan kini tak diketahui keberadaannya. Sementara itu, meski sopir dan kepala gudang sudah dimintai keterangan, para pelapor dan saksi dari FARPKeN tidak pernah dimintai keterangan lanjutan sejak laporan dibuat.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keseriusan penegakan hukum di wilayah Kepulauan Nias. Lemahnya koordinasi antar lembaga, ketidakjelasan prosedur, hingga munculnya nama pejabat daerah sebagai pemilik barang, menimbulkan dugaan adanya perlakuan hukum yang tidak setara.
Edward Lahagu menegaskan, “Kami menuntut transparansi dan kepastian hukum. Kasus ini bukan hanya soal izin karantina, tetapi tentang integritas institusi hukum dan kepercayaan masyarakat.”
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Kapolres Nias terkait kelanjutan kasus tersebut.