Suara Utama Kal-Bar. Dua puluh empat (24) tahun yang lalu, secara internasional diketahui bahwa di Eropa, Amerika Serikat, Australia dan beberapa negara di Asia (Cina, Korea, dan Jepang) melalui survei didapat informasi bahwa 35% dari populasi berusia antara 18 sampai 22 tahun adalah lulusan Program Diploma 3. Lima tahun kemudian (Tahun 2005), melalui survei serupa ditemukan bahwa sampai usia 25 tahun, sebanyak 60% telah memperoleh gelar sarjana. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila di negara-negara tersebut bermuculan ilmuwan berkeahlian tinggi dalam berbagai bidang – bahka berusia rerata 28 tahun. Mereka tidak mengenal istilah wajib belajar, tetapi Transformasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang menggambarkan evolusi fungsi layanan, bakat – minat, dan teknologi secara mulus yang dapat diadaptasi dan diintegrasikan ke dalam strategi Membangun Bangsa untuk menciptakan nilai-nilai pendidikan yang lebih besar — dengan mendorong keunggulan operasional dan dampak strategisnya.
Dalam kaitan dengan Program Wajib Belajar, transformasi SDM khususnya mahasiswa adalah tentang mengembangkan peran-peran mereka dalam masyarakat. Fungsinya adalah untuk menyelaraskan strategi, proses, dan teknologi dengan lebih baik untuk tujuan pendidikan yang memberikan manfaat lebih besar bagi mahasiswa dan berdampak lebih besar bagi semua pemangku kepentingan. Fungsi tersebut selalu penting untuk operasionalisasi pendidikan tinggi, yakni bentuk keterlibatan, mulai dari perencanaan hingga menajemen kinerja dan kompensasi. Transformasi SDM juga akan lebih mendesak karena talenta menjadi pendorong keunggulan kompetitif yang lebih besar. Masalahnya adalah pada Model Hybrid, dimana beban biaya dan ekspektasi SDM yang berkembang pesat masih dipandang sebagai penciptaan resiko dan kesulitan bagi lembaga-lembaga pendidikan untuk membedakan diri mereka melalui cara menarik, mempertahankan, dan memperlakukan orang dalam literasi budaya sebagai prasyarat penting untuk sukses.
Sementara, transformasi SDM melalui pendidikan (lebih berkesempatan melalui pendidikan tinggi) setidaknya bermuara pada 4 harapan: (1) menghasilkan model kepemimpinan kelas dunia, (2) menghasilkan model operasional modern, (3) menghasilkan atau menampakkan peran dan kompetensi untuk kemajuan masa depan bangsa, dan (4) mampu memadukan teknologi, peran, dan bentuk analitik dari SDM (preservasi budaya asli).
Harapan pertama terkait dengan kemunculan pendidikan tinggi yang dapat memenuhi harapan bangsa dan negara secara komprehensif sebagai pemikir kritis dan visioner untuk berhasil menjadi pemimpin dari berbagai kondisi pedidikan (fleksibilitas dari model hybrid). Harapan kedua terkait dengan perkembangan pemberian layanan yang terus berkembang dan meningkat dimana pendidikan tinggi harus terus bergerak (bukan ditutup) untuk memenuhi kebutuhan inti akan nilai-nilai pendidikan dan keluwesan dalam pemberian layanan. Harapan ketiga menyangkut efektivitas model yang terus berkembang (suatu kritik pada instrumen akreditasi) dimana keterampilan melalui pendidikan tinggi seharusnya merupakan saran untuk penyusunan strategi seputar pengembangan model hibrida dan model kerja lainnya. Harapan keempat adalah bahwa pendidikan tinggi harus dapat mengenali dan memanfaatkan teknologi serta analisis bakat yang membantu dalam merencanakan strategi, berinovasi dalam proses, dan membantu pemimpin bangsa dan negara untuk membuat keputusan yang lebih cepat dan lebih cerdas.
Apa yang perlu diperhatikan dalam transformasi SDM? Sekurang-kurangnya ada 5 komponen yang berperan: (1) kepemimpinan, (2) penciptaan model, (3) penciptaan strategi keberbakatan, (4) implementasi model, dan (5) kapabilitas pemimpin perguruan tinggi.
Peran pertama adalah bahwa kepemimpinan akademik haruslah fokus dan memperhatikan efektivitasnya dalam mendorong dampak dan hasil-hasil pendidikan, yang meliputi: (1) pengembangan strategi dari fungsi SDM dan disesuaikan dengan pertumbuhan kebutuhan pendidikan tinggi; (2) pendidikan tinggi harus menjadi ujung tombak pengembangan strategi; (3) memosisikan fungsi SDM (masyarakat luas) untuk memenuhi kebutuhan pendidikan tinggi; (4) mengoptimalkan anggaran untuk fungsi SDM; dan (5) mengenal baik dan tepat akan sebaran kepemimpinan SDM untuk menyeimbangkan efisiensi dan pengendalian operasinal pendidikan tinggi serta menciptakan fungsi-fungsi disiplin keuangan yang berfokus pada masa depan bangsa.
Peran kedua adalah penciptaan model kepemimpian perguruan tinggi yang berkelas (termasuk kelas dunia) yang dapat memberikan peta jalan untuk efektivitas pengelolaan kapasitas dan kapabilitas yang terus tumbuh berdasarkan kebutuhan paling tepat yang diperlihatkan. Ada 5 peran yang dapat dilakukan: (1) kepemimpinan senat; (2) penciptaan strategi untuk bakat dan peminatan; (3) adanya unit atau agen perubahan; (4) adaya personil penggerak budaya dan tujuan pendidikan; serta (5) adaya unit diklat terpercaya.
Peran ketiga berhubungan dengan penciptaan strategi keberbakatan. Peran ini diperlihat melalui: (1) racangan strategi yang memetakan kebutuhan pendidikan, menganalisis kecenderungan yang muncul (bukan hanya urusan UKT), menerjemahkan prioritas dan tren ke dalam kebutuhan kapabilitas SDM, dan memprioritaskan kapabilitas tersebut dan (2) pengembangan dan peningkatan keterampilan serta kompetensi (sebagai tantangan kompleks) untuk memunculkan keterampilan baru yang juga memang sulit diperoleh.
Peran keempat terkait model implementasi perguruan tinggi. Secara praktis dikeal 4 cara implementasi agar mahasiswa dapat tumbuh berkembang: (1) menemukan kembali peran mahasiswa sebagai sosok bertalentas strategis; (2) ketersediaan kumpulan pemecahan mahasiswa; (3) pemberian dukungan terhadap pusat-pusat keuggulan mahasiswa (termasuk SDM PT lainnya); dan (4) adanya konstruksi dan rancangan operasional bagi mahasiswa.
Peran kelima berkaitan dengan kapabilitas pimpinan perguruan tinggi. Ada dua komponennya, yakni dalam melaksanakan transformasi dan kompetensinya. Transformasi meliputi: (1) keunggulan membangun kemampuan baru untuk menangani berbagai program prioritas (penulis berpandangan bahwa UKT ternyata tidak berhubugan dengan kapasitas tersebut); (2) menunjukkan adanya cara kerja baru (sampai saat ini belum ada); (3) peningkatan persaingan untuk bakat dan minat – suatu wawasan berbasis data dan keterampilan mengubah analisis bakat menjadi rencana dan keputusan terkait SDM (juga tidak pernah ada); dan (4) pengembangan peran mahasiswa (termasuk SDM PT lainnya). Mengenai kapabilitas kompetesi, pandangan penulis adalah: (1) diperlukan sarana dan prasarana yang dikaitkan dengan kebutuhan (fleksibilitas, pengaruh, penentuan nasib sendiri, dan toleransi rendah sepanjang masa terhadap kondisi di bawah standar) dan (2) kemampuan kolaborasi yang efektif untuk memastikan keterkelolaan SDM, mempertahakan budaya melek, dan menyelaraskan penetapan tujuan dengan menejemen kinerja guna mendorong tujuan pendidikan tinggi.
Dengan demikian, kuliah tidak dapat dipandang tersier karena perannya sebagai suatu model pengembangan SDM bangsa. Pandanglah kuliah sebagai aspek bukan tingkatan proses karena tidak akan cocok dalam menjalankan rekayasa SDM. Jika aspek distandarisasi dan diurutkan, maka tidak mungkin mencapai tujuan perkembangan program belajar sepanjang hayat. Kuliah juga merupakan praktek intelegensi dalam rekayasa. Oleh karena itu, wajib belajar bukanlah mental angan-anagan. Ia lebih merupakan konsekuensi teoritis dan suatu konstruksi mental yang memang kita butuhkan.
Terima kasih.
Penulis : Dr. Mohamad Rif'at
Editor : Alvi Mustofa Pasha
Sumber Berita : Biro Kal-Bar