SUARA UTAMA – Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, menegaskan bahwa perusahaan yang mengalami kerugian tidak memiliki kewajiban membayar pajak penghasilan. Penjelasan ini disampaikan dalam acara CNBC Economic Update 2025 sebagai respons terhadap usulan ekonom senior Amerika Serikat, Arthur Laffer, yang mendorong penerapan sistem flat tax di Indonesia.
Menurut Sri Mulyani, sistem perpajakan dan kebijakan fiskal di Indonesia tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang Keuangan Negara, yang menetapkan tiga fungsi utama: stabilitas ekonomi, distribusi kesejahteraan, dan alokasi sumber daya. “Kebijakan fiskal kita memang memiliki tiga fungsi utama tersebut,” ujarnya, Kamis (19/06/2025).
Ia menjelaskan, mekanisme penghitungan pajak penghasilan di Indonesia bersifat profit-based atau berbasis laba. Dengan demikian, perusahaan yang mengalami kerugian secara otomatis tidak dikenai kewajiban membayar pajak penghasilan badan. “Kalau pendapatan perusahaan turun atau bahkan mengalami kerugian, maka secara sistem mereka tidak membayar pajak. Ini adalah bentuk stabilisasi otomatis dalam sistem fiskal kita,” jelasnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Meskipun penerimaan negara menurun di tengah tekanan ekonomi, Sri Mulyani menyebutkan bahwa belanja negara tetap dijaga untuk menopang kelompok rentan. Pemerintah, lanjutnya, tetap menjalankan program bantuan sosial, pemberian subsidi upah, serta proyek infrastruktur strategis. “Kami tetap hadir melalui berbagai instrumen belanja, termasuk menjaga daya beli masyarakat,” tambahnya.
Terkait usulan flat tax dari Arthur Laffer yang dikenal sebagai tokoh ekonomi pasar bebas, Sri Mulyani menyatakan bahwa pendekatan tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan sistem nilai dan prinsip konstitusional Indonesia. “Pendekatan kita berpijak pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Negara wajib hadir untuk melindungi kelompok yang rentan, termasuk anak-anak terlantar,” ujarnya dalam forum tersebut.
Pernyataan Sri Mulyani ini juga disampaikan dengan nada dialogis, tanpa menutup kemungkinan adanya ruang diskusi lebih lanjut antara pendekatan neoliberal dan model fiskal berbasis keadilan sosial yang diterapkan Indonesia.
Menanggapi pernyataan tersebut, Eko Wahyu, praktisi perpajakan, menyebut bahwa kebijakan fiskal Indonesia memang sudah lama menerapkan prinsip automatic stabilizer, di mana kewajiban perpajakan mengikuti kemampuan ekonomi wajib pajak. “Ketika perusahaan rugi, memang tidak ada kewajiban PPh Badan. Namun demikian, kepatuhan administrasi tetap harus dijaga, termasuk pelaporan SPT tahunan,” ujarnya.
Sementara itu, Yulianto Kiswocahyono, konsultan pajak senior, menilai bahwa penerapan flat tax tidak serta-merta cocok untuk sistem fiskal Indonesia. “Kita memiliki struktur ekonomi yang sangat beragam. Jika diterapkan flat tax, bisa jadi justru memperbesar ketimpangan. Kebijakan fiskal kita sudah tepat dengan tetap menjaga fungsi redistributif melalui sistem tarif progresif,” tuturnya.
Menurut Yulianto, menjaga keadilan dan kepatuhan adalah dua hal penting dalam desain pajak nasional. “Flat tax bisa menyederhanakan sistem, tapi belum tentu menjamin keadilan. Di sinilah peran negara harus dijaga,” pungkasnya.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama