SUARA UTAMA – Ketua Cabang LKBH-SPSI Bandar Lampung, Aji Sofwan, S.H., menjelaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan representasi dari makna demokrasi dalam bernegara. Menurut Aristoteles, “Demokrasi adalah suatu kebebasan, karena hanya melalui kebebasanlah setiap warga negara dapat saling berbagi kekuasaan di dalam negaranya sendiri.” Oleh karena itu, putusan tersebut berpotensi mengubah kultur dalam pesta demokrasi, khususnya pemilihan kepala daerah, yang sebelumnya bisa menjadi alat kekuasaan dengan mengakomodir sebagian besar partai politik untuk membentuk koalisi dengan calon tunggal melawan kotak kosong. Oleh karena itu, sudah sepatutnya putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi angin segar untuk memperbaiki sistem demokrasi dengan mengurangi ambang batas suara sah di DPRD Provinsi dan/atau DPRD Kabupaten/Kota untuk dapat mencalonkan calon gubernur, calon wakil gubernur, calon wali kota, calon wakil wali kota, calon bupati, atau calon wakil bupati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Harapan kepada lembaga negara adalah agar mereka mematuhi dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi ini dengan baik dan bijaksana. Kita harus memahami bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (Final and Binding) tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun untuk mengakali putusan ini.
Sebagai warga negara Indonesia yang baik dan memahami tatanan negara demokrasi, sepatutnya kita mengawal putusan ini agar tidak terjadi pembangkangan konstitusi dengan cara apapun dan oleh siapapun.
Selanjutnya, terkait dengan Putusan Mahkamah Agung yang menjadi problematika di masyarakat, yang sarat dengan kepentingan penguasa tirani untuk meloloskan sanak keluarga dalam pemilihan kepala daerah, judicial review dalam hal ini sudah tidak lagi menjadi upaya untuk mengawal demokrasi, melainkan justru melemahkan sendi-sendi demokrasi. Kemunduran demokrasi tersebut dapat dilihat dari penggunaan lembaga yudikatif dan legislatif sebagai alat kekuasaan.
Strategi politik elektoral, mulai dari Putusan Mahkamah Konstitusi No.90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan putra mahkota dalam kontestasi pemilihan umum presiden dan wakil presiden, kini pola yang sama digunakan dalam pemilihan kepala daerah melalui Putusan Mahkamah Agung No.23 P/HUM/2024.
Putusan ini tidak progresif jika hakim berpandangan dengan adresat dalam permohonan ini dengan menggambarkan original intent seolah-olah memberikan kesempatan kepada anak-anak muda untuk ikut serta membangun bangsa dan negara. Namun, apakah dengan mengabulkan permohonan ini dengan mengubah pemaknaan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020, yang sebelumnya terhitung sejak penetapan pasangan calon dan sekarang sejak pelantikan pasangan calon terpilih, signifikan untuk kemudian menjadi alasan kesempatan anak-anak muda untuk ikut serta membangun bangsa dan negara? Penalaran hukum seperti inilah yang memunculkan pendapat publik bahwa putusan tersebut memang dimaksudkan untuk meloloskan jalan bagi anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, maju sebagai calon kepala daerah. Tercatat, usia Kaesang akan menginjak 30 tahun pada 25 Desember 2024. Pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung yang menyebut original intent UU 10/2016 mengakomodasi anak muda, tidak memperhitungkan bahwa jarak waktu antara masa pendaftaran calon dengan pelantikan hanya berselang 3 bulan. Rentang waktu 3 bulan tidak signifikan untuk mengakomodasi anak muda untuk mendaftar sebagai calon kepala daerah. Meskipun menyebut original intent dalam pertimbangan putusan, majelis hakim tidak mengutip original intent yang dimaksud. Padahal, hal itu dapat ditelusuri dalam naskah akademik RUU atau risalah sidang pembahasan RUU. Kesimpulannya, Putusan MA No.23 P/HUM/2024 ini merupakan kemunduran, bukan terobosan. Penalaran hukum majelis hakim tidak wajar sehingga tidak layak disebut sebagai putusan yang progresif.
Penulis : Aji Sofwan, S.H.
Editor : RM Ardillah Rakhman