Penulis Oleh :Dr. H. Ardiansyah, Lc, M.Ag. Wakil Ketua Umum MUI Sumatera Utara
SUARA UTAMA, Tulisan ini disampaikan dalam Muzakarah Ilmiah MUI Kabupaten Asahan pada Ahad, 28 Zulqa’dah 1444 H / 18 Juni 2023 M di Aula MUI Kab. Asahan. Tentang Muzakarah Pemahaman Menyimpang Pada Pondok Pesantren Al-Zaytun Jawa Barat.
Foto Dokumentasi Suhardi, Muzakarah MUI Asahan Pemahaman Menyimpang Pada Pondok Pesantren Al-Zaytun Jawa Barat..
Shalat Ibadah Mahdhah
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tatacara perlaksanaan ibadah Shalat telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan wajib untuk mengikutinya. Shalat merupakan ibadah mahdhah ghair ma‘qûlah al-ma’nâ yang merujuk kepada praktek shalat Nabi SAW, dan tidak ada celah bagi ijtihad dalam tatacara pelaksanaannya. Nabi SAW dalam sabda-Nya menegaskan kewajiban untuk mengikuti shalat dengan tatacara yang beliau contohkannya, berikut hadis yang dimaksud :
عَنْ أَبِي سُلَيْمَانَ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ: أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً فَظَنَّ أَنَّا اشْتَقْنَا أَهْلَنَا وَسَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا فِي أَهْلِنَا فَأَخْبَرْنَاهُ وَكَانَ رَفِيقًا رَحِيمًا فَقَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ (رَوَاهُ البُخَارِي)
Artinya: Dari Abu Sulaiman Malik bin al-Huwairits ra., dia berkata: “Kami datang kepada Nabi SAW, saat itu kami adalah pemuda yang sebaya/ seusia. Kami tinggal di sisi beliau selama dua puluh malam. Ketika beliau menduga kalau kami telah merindukan keluarga kami, maka beliau bertanya tentang keluarga kami yang kami tinggalkan. Kami pun memberitahukannya, dan Nabi SAW adalah seorang yang sangat penyayang dan sangat lembut. Beliau bersabda, ‘Pulanglah ke keluarga kalian! Tinggallah bersama mereka, ajari mereka, perintahkan mereka, dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat! Jika telah tiba waktu shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan hendaknya yang tertua dari kalian menjadi imam. (HR. al-Bukhârî).
Jika Islam diibaratkan dengan sebuah bangunan, maka Shalat merupakan tiangnya. Hal ini menegaskan betapa urgen kedudukan shalat dalam ajaran Islam. Dalam kondisi berpergian bahkan dalam perang sekalipun shalat fardhu tidak boleh ditinggalkan. Nabi Muhammad SAW memasukkan orang-orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat kepada kelompok yang meruntuhkan ‘bangunan’ agama ini. Setiap muslim yang telah diwajibkan untuk melaksanakan shalat, dituntut pula untuk melaksanakannya dengan baik dan benar sesuai dengan ajaran nabi Muhammad saw. Mengetahui dan mempelajari seputar shalat tidaklah susah, sebab para ulama terdahulu telah menjelaskan dalam kitab-kitab mereka berkenaan dengan tatacara, syarat, rukun dan sunnat dalam shalat. Namun demikian, sekalipun ibadah shalat ini telah dipelajari sejak sekolah dasar, namun masih banyak rukun dan syarat sah shalat yang belum dimengerti dengan baik. Bahkan belakangan, muncul perdebatan seputar kedudukan perempuan yang menjadi imam ataupun khatib dalam shalat berjamaah. Hal ini tidak dapat dinafikan irisannya dengan perkembangan semangat gender yang diusung kaum feminisme. Perkembangan zaman seringkali pula menimbulkan konsekuensi perkembangan pemikiran anak zamannya yang menggugat pemahaman sebelumnya. Oleh karena itu, makalah sederhana ini akan mencoba untuk menguraikan pendapat ulama seputar tatacara berjamaah dan kedudukan imam perempuan dalam hadis Nabi SAW.
Foto Dokumentasi Redaksi Suara Utama, Gabung Bersama RSU
Kontroversi Imam dam Khatib Perempuan dalam Shalat Berjamaah
Pelaksanaan shalat berjamaah telah dilaksanakan sejak zaman nabi Muhammad saw. Sejak itu pula imam shalat berjamaah dipimpim oleh seorang imam lelaki dengan ketentuan syarat sah untuk menjadi imam. Perdebatan seputar imam dan khatib dalam shalat berjamaah yang dipimpin oleh perempuan kembali mencuat beberapa waktu belakangan ini. Khususnya pelasakanaan shalat berjamaah di Pondok Pesantren az-Zaitun Indramayu Jawa Barat, yang menempatkan wanita sejajar atau bercampur dalam shaf laki-laki pada shalat berjamaah. Padahal, tatacara shalat berjamaah dari imam, khatib serta susunan shaf dalam shalat telah final dalam pandangan ulama mazhab. Dalam kitab-kitab para ulama dari berbagai mazhab yang memposisikan perempuan sebagai makmum bagi laki-laki dalam shalat kecuali jika mengimami kaum perempuan. Demikian pula khatib shalat jum’at adalah laki-laki, sebab yang wajib melaksanakan shalat Jum’at adalah laki-laki dengan syarat tertentu. Demikian pula susunan makmum dalam berjamaah, dimana shaf jamaah perempuan berada di belakang shaf laki-laki. Sebab, shalat berjamaah di masjid hukumnya sunnat bagi wanita. Bahkan dalam hadis dijelaskan nabi SAW yang artinya: “Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling awal, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling akhir. Dan shaf yang paling baik bagi wanita adalah shaf yang paling akhir, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling awal.” (HR. Muslim).
Awal tahun 2005 yang lalu, seorang perempuan berdarah Afro-Amerika yang bernama Amina Wadud menjadi khatibah dan sekaligus imam shalat Jum’at di sebuah gereja di New York – Amerika Serikat. Tepatnya pada hari Jum’at 18 Maret 2005, di Gereja Katedral di Sundrem Tagore Gallery, 137 Greene Street, New York. Aminah yang juga merupakan asisten professor studi Islam di Virginia Commenwealth University ini menjadi khatib dan imam shalat Jum’at untuk 100 orang jamaah yang terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan. Sebelum khutbah adzan shalat Jum’at juga dikumandangkan oleh seorang perempuan dengan rambut kepala terbuka tidak memakai jilbab atau telekung. Hal ini menimbulkan kecaman dari berbagai kalangan dan kontroversi yang mengundang banyak keprihatinan dari kalangan ulama. Sebagaimana berita ini telah dilansir Majalah Gatra, No. 21 Jakarta 9 April 2005.
Oleh karena itu, dalam muzakarah Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sumatera Utara merespon banyaknya pertanyaan masyarakat seputar kedudukan perempuan dalam shalat berjamaah. Tentunya diskusi dan pembasahan serupa juga telah dilakukan berbagai kalangan untuk memberikan panduan kepada umat agar tidak bingung dan bimbang.
Perspektif Hadis Nabi SAW terhadap Kedudukan Imam dan Khatib Perempuan
Diskursus seputar imam dan khatib dalam shalat berjamaah telah dibahasa ulama sejak berabad-abad lalu dan mencapai kesepakatan bahwa perempuan hanya dapat menjadi imam bagi jamaah perempuan dan imamnya berdiri di tengah-tengah mereka. Perempuan tidak dapat menjadi imam bagi kaum lelaki. Hal ini untuk memuliakan kesucian perempuan dan manjaga marwahnya. Sebab dalam shalat terdapat ruku’ dan sujud yang sungguh tidaklah sepantasnya hal tersebut dilihat jamaah lelaki jika menjadi makmum di belakangnya. Jadi, bukan untuk mendeskriditkan apalagi merendahkan peran serta kedudukan perempuan dalam ibadah, akan tetapi sebaliknya untuk memelihara kehormatan perempuan itu sendiri.
Kepemimpinan perempuan dalam shalat bagi makmum laki-laki disepakati ulama mazhab tidak sah. Adapun dalil yang dikemukakan ulama dalam hal ini adalah sebagai berikut:
- Firman Allah SWT pada surah an-Nisâ’ [4]: 34:
“الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ…”
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…”
Imam asy-Syâfi’î Muhammad bin Idris (w. 204 H) dalam kitabnya Al-Umm dan Imam Taqiyuddin ad-Dimasyqi (w. 829 H) dalam kitabnya Kifâyah al-Akhyâr keduanya menjadikan dalil ayat tersebut tentang tidak sahnya shalat berjamaah jika makmumnya laki-laki sedang imamnya perempuan. Dalam ayat ini memang tidak ada kejelasan tentang laki-laki harus menjadi imam shalat bagi perempuan. Yang ada hanyalah penegasan bahwa laki-laki itu menjadi pelindung, pemimpin dan pengayom bagi perempuan. Akan tetapi imam dalam shalat itu merupakan pemimpin bagi para makmumnya, sedangkan yang diberi hak jabatan oleh Allah untuk jabatan pemimpin adalah kaum laki-laki, maka mafhûm dari ayat tersebut perempuan tidak diberi hak untuk menjadi imam dalam shalat berjamaah yang makmumnya laki-laki.
- Hadis Nabi Muhammad SAW:
Hadis yang diwayat Imam Ibnu Mâjah dalam kitab sunannya dengan redaksi sebagai berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: “… أَلَا لَا تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلًا…” (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ)
Artinya: Jabir bin Abdillah berkata: Rasulullah Saw menyampaikan khutbah kepada kami, beliau bersabda: “…Ingatlah, jangan sekali-kali ada perempuan menjadi imam shalat untuk laki-laki…” (HR. Ibnu Mâjah). Imam al-Busyairi (w. 840 H) dalam kitabnya, Zawâ’id Ibnu Mâjah ‘ala al-Kutub al-Khamsah, telah berkata, bahwa hadis tersebut adalah dha’îf (lemah), karena di dalam sanadnya terdapat dua orang rawi yang lemah periwayatannya. Dua orang itu adalah ‘Ali bin Zaid bin Jud’an, dan Abdullah bin Muhammad al-‘Adawi.
Namun sekalipun hadis riwayat Ibnu Mâjah ini dha’if, namun dalam disiplin ilmu hadis, tidak selamanya hadis dha’if itu seketika ditolak. Sebab, dalam hal ini subtansi hadis itu telah diterima dan diamalkan oleh para ulama sepanjang masa, sejak masa Nabi Saw. sendiri sampai sekarang. Oleh karena itu, hadis ini diterima dan dapat dijadikan dalil tentang tidak sahnya perempuan menjadi imam shalat bagi makmum kaum laki-laki. Hadis seperti ini disebut Khabar al-ahad al-maqbûl al-muhtaffu bi al-qarâ’in (hadis ahad yang diterima karena faktor-faktor eksternal). Syekh Ismail al-Anshâri berkata: “Hadis yang subtansinya telah diterima dan diamalkan para ulama, tidak perlu diteliti lagi sanadnya”. Oleh karenanya, Imam Taqiyuddin ad-Dimasyqi dalam kitabnya, Kifâyah al-Akhyâr, tetap menggunakan hadis riwayat Imam Ibnu Mâjah ini sebagai dalil tidak sahnya shalat berjamaah dimana seorang perempuan menjadi imam untuk makmum laki-laki.
- Keputuasan Fatwa Ulama:
Terdapat banyak sekali keputusan dan pendapat fatwa dari ulama dari dulu hingga saat ini berkaitan dengan kedudukan imam perempuan. Fatwa Imam asy-Syâfi’î dalam kitabnya, Al-Umm beliau dengan tegas telah berkata:
وَإِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ بِرِجَالٍ وَنِسَاءٍ وَصِبْيَانٍ ذُكُوْرٍ فَصَلَاةُ النِّسَاءِ مُجْزِئَةٌ وَصَلَاةُ الرِّجَالِ وَالصِّبْيَانِ الذُّكُوْرِ غَيْرُ مُجْزِئَةٍ. لِأَنَّ اللّٰهَ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ الرِّجَالَ قَوَّامِيْنَ عَلَىَ النِّسَاءِ وَقَصَرَهُنَّ عَنْ أَنْ يَكُنَّ أَوْلِيَاءَ وَغَيْرَ ذٰلِكَ، وَلَا يَجُوْزُ أَنْ تَكُونَ امْرَأَةٌ إِمَامَ رَجُلٍ فِى صَلَاةٍ بِحَالٍ أَبَدًا.
Artinya: “Apabila seorang perempuan shalat menjadi imam untuk kaum laki-laki, perempuan, dan anak-anak laki-laki, maka shalat para makmum yang perempuan sah. Sedangkan shalat para makmum laki-laki dan anak-anak laki-laki tidak sah. Hal itu karena Allah telah menjadikan kaum laki-laki sebagai pemimpin atas kaum perempuan dan Allah juga tidak menjadikan kaum perempuan sebagai wali dan lain-lain. Dan perempuan dalam kondisi bagaimanapun tidak boleh menjadi imam shalat untuk makmum laki-laki”.
Selain itu, fatwa Imam Taqiyuddin berkata: لَا يَصِحُّ اِقْتِدَاءُ الرَّجُلِ بِالْمَرْأَةِ artinya: “Tidak sah bermakmum seorang laki-laki (dalam shalat berjamaah) kepada seorang perempuan”.
Demikian pula dengan fatwa ulama Mesir yang diterbitkan oleh Dâr al-Iftâ’ al-Mishriyah pada Mei 1997 dan fatwa ulama Kuwait tahun 1984 no. 58 menyatakan sebagai berikut:
“لاَ يَجُوزُ لِلمَرْأَةِ أَنْ تَكُوْنَ إِمَامًا لِلرِّجَالِ وَلاَ مُؤَذِّناً لِلرِّجَالِ، وَيَجُوْزُ أَنْ تَكُوْنَ إِمَاماً لِلنِّسَاءِ”
Artinya: Tidak boleh bagi perempuan untuk menjadi imam bagi laki-laki dan tidak pula boleh azan bagi jamaah laki-laki. Perempuan boleh menjadi imam bagi makmum perempuan.
Foto Dokumentasi AR.Learning Center, CHRA, Coach Yuan.
Hadis Ummu Waraqah dan Imam Perempuan
Adapun hadis yang kerap dipelintir kalangan yang membolehkan imam perempuan seperti Amina Wadud cs. adalah hadis Ummu Waraqah. Hadis ini dijadikan dalil atas kebolehan perempuan menjadi imam bagi makmum laki-laki adalah hadis yang diriwayatkan seorang sahabat perempuan bernama Ummu Waraqah. Hadis ini populer dengan julukan hadis Ummu Waraqah.
Namun, kasus Amina Wadud semangat gender dan feminisme lebih kental mewarnai pendapat dan praktek shalat berjamaahnya daripada ketundukan kepada aturan itu sendiri. Hal ini didapat dilihat dari pokok ajaran yang diusung oleh kaum feminisme liberal yang dimotori oleh Asra Q. Nomani diantaranya adalah 10 An Islamic Bill of Rights for Women in the Mosques; Women have an Islamic right to hold leadership positions, including positions as prayer leaders, or imams, and as members of the board of directors and management committees. (Rancangan 10 Hak Muslimah di Masjid; Wanita Muslimah memiliki hak Islami untuk; Wanita berhak dijadikan pemimpin, termasuk jadi imam shalat, serta anggota dan direktur pengelola masjid).
Adapun identitas Ummu Waraqah ditulis para ulama dalam kitab sejarah para sahabat. Adapun nama lengkapnya adalah Ummu Waraqah binti Abdullah bin al-Harits bin ‘Uwaimir bin Naufal al-Anshâri. Beliau adalah seorang sahabat perempuan dari golongan Anshar. Terdapat kisah yang melatarbelakangi, sehingga ia diizinkan oleh Nabi SAW untuk menjadi imam shalat berjamaah. Ketika itu Nabi SAW hendak berperang melawan orang-orang musyrik Mekkah dalam perang Badr, Ummu Waraqah berkata kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku ikut berperang bersama mu. Aku akan merawat dan mengobati tentara-tentara yang terluka dan sakit. Semoga Allah SWT menganugerahiku pahala seorang yang mati syahid”. Kemudian Nabi saw menjawab: “Kamu tidak perlu ikut berperang. Tinggallah kamu di rumah, karena Allah SWT akan menganugerahimu pahala seorang yang mati syahid.” Sejak itu pula Ummu Waraqah akrab dipanggil syahîdah yaitu perempuan yang mati syahid, atau mendapat pahala orang yang mati syahid. Ummu Waraqah dikenal dengan fasih membaca al-Qur’ân bahkan menghafalnya. Ia pernah minta izin dari Rasulullah SAW agar di rumahnya ada orang-orang yang selalu beradzan ketika tiba waktu shalat. Ia juga telah minta izin dari Rasulullah Saw. untuk memimami shalat berjamaah di rumahnya dan beliau pun mengizinkannya.
Demikianlah kisah Ummu Waraqah yang kemudian menjadi imam shalat berjamaah untuk penghuni rumahnya. Kisah tersebut telah diriwayatkan Imam Abu Daud dalam kitab hadisnya, Sunan Abu Daud sebagai berikut ini:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُمَيْعٍ قَالَ حَدَّثَتْنِي جَدَّتِي وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ خَلَّادٍ الْأَنْصَارِيُّ عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَوْفَلٍ الْأَنْصَارِيَّةِ: “أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا غَزَا بَدْرًا قَالَتْ قُلْتُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي فِي الْغَزْوِ مَعَكَ أُمَرِّضُ مَرْضَاكُمْ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَرْزُقَنِي شَهَادَةً قَالَ قَرِّي فِي بَيْتِكِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَرْزُقُكِ الشَّهَادَةَ قَالَ فَكَانَتْ تُسَمَّى الشَّهِيدَةُ قَالَ وَكَانَتْ قَدْ قَرَأَتْ الْقُرْآنَ فَاسْتَأْذَنَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَتَّخِذَ فِي دَارِهَا مُؤَذِّنًا فَأَذِنَ لَهَا قَالَ وَكَانَتْ قَدْ دَبَّرَتْ غُلَامًا لَهَا وَجَارِيَةً فَقَامَا إِلَيْهَا بِاللَّيْلِ فَغَمَّاهَا بِقَطِيفَةٍ لَهَا حَتَّى مَاتَتْ وَذَهَبَا فَأَصْبَحَ عُمَرُ فَقَامَ فِي النَّاسِ فَقَالَ مَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْ هَذَيْنِ عِلْمٌ أَوْ مَنْ رَآهُمَا فَلْيَجِئْ بِهِمَا فَأَمَرَ بِهِمَا فَصُلِبَا فَكَانَا أَوَّلَ مَصْلُوبٍ بِالْمَدِينَةِ.
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ حَمَّادٍ الْحَضْرَمِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ جُمَيْعٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ خَلَّادٍ عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بِهَذَا الْحَدِيثِ وَالْأَوَّلُ أَتَمُّ. قَالَ: وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُورُهَا فِي بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا رَأَيْتُ مُؤَذِّنَهَا شَيْخًا كَبِيرًا. (رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُد)
Artinya: “Dari Ummu Waraqah binti Naufal, bahwasannya ketika Nabi Saw. berperang Badar, ia berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk ikut berperang bersamamu. Saya akan merawat orang-orang yang luka dari prajurit-prajuritmu. Semoga Allah SWT menganugerahi saya mati sebagai syahid”. Nabi Saw. menjawab, “Diam saja di rumahmu, karena Allah SWT akan memberi kamu pahala sebagai syahid”. Kata Abdurrahman bin Khallad yang meriwayatkan hadis ini dari Ummu Waraqah, “Ummu Waraqah akhirnya akrab dipanggil dengan syahidah. Ia juga membaca (hafal) al-Qur’ân. Ia minta izin kepada Nabi Saw. untuk mengangkat tukang adzan di rumahnya dan beliau pun mengizinkannya”. Kata Abdurrahman bin Khallad, “Ummu Waraqah berjanji untuk memerdekakan seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan miliknya setelah ia meninggal dunia. Pada suatu malam (pada masa Khalifah Umar bin Khattab) kedua hamba sahaya tersebut bangun dan menghampiri Ummu Waraqah yang sedang tertidur. Kemudian kedua hamba sahaya itu mendekapnya (wajahnya) dengan kain selimut miliknya sampai mati. Setelah itu keduanya melarikan diri. Keesokan harinya di hadapan khalayak ramai Khalifah Umar mengumumkan: “Siapa yang mengetahui dua orang hamba sahaya (pembunuh Ummu Waraqah) atau siapa yang melihat keduanya, hendaklah melapor dan membawa keduanya kepada kami”. Lalu Umar menyuruh untuk menyalib kedua hamba sahaya tersebut. Keduanya adalah orang pertama yang disalib di Madinah”. (HR. Abu Dawud).
Dari keterangan riwayat hadis tersebut tidak ditemukan penjelasan bahwa Nabi SAW mengizinkan, apalagi menyuruh Ummu Waraqah untuk menjadi imam shalat berjamaah di rumahnya. Dalam keterangan dari Abdurrahman melanjutkan penjelasan terhadap hadis diatas menegaskan bahwa muadzdzinnya adalah seorang kakek yang sudah tua. Pernyataan inilah yang difahami bahwa Ummu Waraqah menjadi imam bagi kakek dan hamba sahayanya yang laki-laki. Sebagaimana yang disebutkan Imam Abu Daud dalam riwayat dengan sanad yang lain pula, dimana Abdurrahman bin Khallâd berkata, “Rasulullah SAW sering mengunjungi Ummu Waraqah di rumahnya, dan menunjuk seorang muadzdzin untuk mengumandangkan adzan. Rasulullah Saw juga menyuruh Ummu Waraqah untuk mengimami shalat berjamaah bagi penghuni rumahnya”.
Abdurrahman bin Khallâd juga menginformasikan kepada kita dengan menyatakan sebagai berikut:
فَأَنَا رَأَيْتُ مُؤَذِّنَهَا شَيْخًا كَبِيْرًا
Artinya: “Saya melihat tukang adzannya adalah seorang laki-laki yang sudah lanjut usianya”.
Dari keterangan Abdurrahman bin Khallad inilah nampaknya ada sebagian ulama, yang berpendapat bahwa orang-orang yang menjadi makmum kepada Ummu Waraqah terdiri dari laki-laki dan perempuan. Karena yang mengumandangkan adzan seorang laki-laki, dan Ummu Waraqah juga punya hamba sahaya laki-laki, dan hamba sahayanya itu dianggap sebagai penghuni rumahnya.
Dalam riwayat-riwayat selain Abu Daud juga tidak ada keterangan yang jelas dan tegas bahwa Ummu Waraqah mengimami makmum campuran antara laki-laki dan perempuan. Namun, dari seluruh riwayat tersebut menegaskan hal yang sama yaitu bahwa Nabi SAW mengizinkan Ummu Waraqah untuk mengimami penghuni rumahnya saja. Hal ini juga dalpat dipahami dari riwayat Imam Dâruquthni bahwa: Rasulullah Saw telah mengizinkan Ummu Waraqah untuk mengimami perempuan penghuni rumahnya.
Ulama yang berpendapat bahwa perempuan sah menjadi imam shalat berjamaah bagi makmum laki-laki, tampaknya beristidlal dengan apa yang tersirat dari keterangan Abdurrahman bin Khallâd itu, bukan dari apa yang tersurat dari hadis tersebut. Padahal Abdurrahman bin Khallâd sendiri adalah seorang rawi kontroversial. Ibnu Hibban menyebutnya sebagai rawi tsiqah (kredibel), sedang Ibnu al-Qaththân menyebutnya sebagai rawi majhûl al-hâl (tidak diketahui identitasnya). Menurut mayoritas ahli hadis, rawi yang statusnya, majhûl al-hâl adalah dha’îf (lemah). Seperti telah dikemukakan oleh Imam al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalânî.
Dengan uraian diatas tadi jelaslah bahwa hadis Ummu Waraqah itu statusnya hadis dha’îf (lemah) sehingga tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Syekh Khalil Ahmad as-Saharunfuri (w. 1346 H) seorang pakar hadis dari India, ketika memberikan interpretasi terhadap hadis Ummu Waraqah yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab syarahnya yang diberi nama, Badzl al-Majhûd, dengan tegas telah berkata:
وَأَمَّا مَا اسْتَدَلَّ بِهٰذَا الْحَدِيْثِ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ عَلَى جَوَازِ إِمَامَةِ الْمَرْأَةِ النِّسَاءَ وَالرِّجَالَ فَغَيْرُ صَحِيْحٍ.
Artinya: “Adapun adanya sebagaian ulama yang telah berdalil dengan hadis ini bahwa boleh seorang perempuan mengimami kaum perempuan dan kaum laki-laki, maka pendapatnya itu tidak benar”.
Bahkan kemudian beliau menegaskan, “Tidak bolehnya seorang perempuan menjadi imam untuk laki-laki, hal itu sudah ijma’ ulama. Jika ada orang yang membolehkan perempuan menjadi imam untuk laki-laki berarti pendapatnya itu sudah dikalahkan oleh ijma’ ulama sebelumnya”. Wallahu a’lam.
Simpulan
Berdasarkan paparan singkat, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
- Pelaksanaan shalat merupakan ibadah mahdha ghair ma’qul al-ma’na sehingga tata caranya mutlak berasal dari praktek nabi Muhammad saw dan tidak butuh kepada interpretasi dalam pengamalannya. Sejak masa Nabi saw lebih dari 14 abad yang lalu umat Islam telah melaksanakan shalat berjamaah, tata cara ibadah khususnya shalat mendapatkan perhatian lebih dari ibadah lainnya karena shalat adalah tiang agama. Dengan demikian umat Islam hingga sekarang mengikuti tuntunan yang diajarkan Nabi saw (ittiba’). Tidak terdapat ruang untuk berijtihad dalam tata cara pelaksanaan shalat karena ibadah ini tidak membutuhkan ijtihad akan tetapi dituntut ittiba’.
- Selama lebih dari 14 abad itu pula tidak ada pendapat ulama yang membolehkan shalat berjamaah dengan imam perempuan sedangkan laki-laki baligh menjadi makmumnya. Sahabat nabi dan ulama telah ijma’ (sepakat bulat) dalam masalah ini.
- Adapun Hadis Ummu Waraqah yang dijadikan dalil adalah hadis dha’îf(lemah) tidak bisa dijadikan hujjah. Adapun upaya yang dilakukan oleh Amina Wadud cs dan perdebatan yang dimunculkan pimpinan pesantren az-Zaytun untuk menjadi khatib dan imam shalat Jum’at, lebih merupakan sensasi yang sudah kusam dan lapuk sehingga tidak perlu menjadi kerisauan karena hakikatnya tidak pernah mendapat dukungan umat Islam. Aksi tersebut muncul dari kekeliruan dalam mengusung perspektif kesetaraan gender yang kebablasan serta kejahilan dalam masalah ibadah mahdhah. Penyelenggaraan shalat Jum’at dengan imam dan khatib perempuan itu dirancang oleh aktifis gerakan perempuan Asra Q. Nomani dengan Muslim Women’s Freedom Tour-nya yang diantara cita-citanya adalah membebaskan wanita muslimah untuk berprilaku seks bebas. Jadi, jelas bukan untuk menegakkan syari’at shalat akan tetapi sebaliknya yaitu upaya dan cara merusak shalat itu sendiri. Wal‘iyadzu billah.
- Sekirannya hadis Ummu Waraqah bermakna izin Nabi saw bagi wanita menjadi imam shalat berjamaah di mana di antara makmumnya kaum laki-laki, tentulah di kalangan sahabat ada wanita yang menjadi imam shalat untuk makmum laki-laki dan hal itu dinukilkan dalam sejarah. ‘Aisyah istri Rasulullah merupakan orang yang paling pantas menjadi imam dan khatib dalam shalat berjamaah dengan makmum kaum laki-laki. Namun tidak ada satu riwayat pun yang menyatakan bahwa Aisyah pernah menjadi imam shalat berjamaah bagi makmum laki-laki dan wanita atau makmum laki-laki saja.
Referensi
- Syekh Isma’il Haqi bin Mushtafa al-Hanafi, Tafsir Ruh al-Bayan, juz 4, hal. 303.
- Sumber: https://islam.nu.or.id/shalat/posisi-shaf-shalat-perempuan-sejajar-dengan-laki-laki-salahkah?
- Lihat Asy-Syâfi’î, Al-Umm, (Mesir: Asy-Sya’b, t.th.), jld. I, hlm. 145.
- Lihat Taqiyuddîn ad-Dimasyqi, Kifâyah al-Akhyâr, (Semarang: Toha Putra, t.t.), jld. I, hlm. 135.
- Ibnu Mâjah al-Qazwini, Sunan Ibnu Mâjah, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), jld. I, hlm. 343, dan Taqiyuddîn Abu Bakar ad-Dimasyqi, Kifâyah al-Akhyâr, (Damaskus: Dar al-Khair, 1994), jld. I, hlm. 135.
- Ahmad bin Abu Bakar al-Busyairi, Zawâ’id Ibnu Mâjah ‘ala al-Kutub al-Khamsah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1414 H/1993 M), Editor: Syekh Muhammad Mukhtar Husain, hlm. 167.
- Abu Hafsh Mahmud bin Ahmad ath-Thahhân, Taisîr al-Musthalah al- Hadîts, (Surabaya: Al-Haramain, t.t.), hlm. 54.
- Ismail al-Anshari, Otentisitas Hadis Shalat Tarawih 20 Rakaat, Sanggahan Terhadap al-Albânî, terj. Mahfud Hidayat Lukman, pengantar dan penyunting Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 28.
- Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Al-Umm, hlm. 145.
- Taqiyuddin ad-Dimasyqi, Kifayat al-Akhyâr, jld. I, hlm. 135.
- Identitas Ummu Waraqah dipaparkan dengan jelas oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitabnya al-Ishâbah fî tamyîz ash-shahâbah, pada bab al-kunâ min al-asmâ’, huruf waw, no. 12294, jilid 8, hlm. 321.
- Untuk lebih lanjut dapat melihat ke halaman website http:// www.asranomani.com
- Kisahnya ini bisa dibaca dalam Khalil Ahmad as-Saharanfuri, Badzl al Majhûd fî Halli Abu Dawud, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), jld. 2, hlm. 207.
- Abu Daud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Editor: Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, jld. I, hlm. 161, hadis no. 591. Dalam bab, Imâmah an-Nisâ’. Ibid. hlm. 162.
- Lihat Ali bin Umar ad-Daruquthni, Sunan ad-Daruquthni, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1386 H/1966 M), Editor: Sayyid Abdullah Hasyim Yamani al-Madani, jld. I, hlm. 403 dengan teks hadis:عن أمِّ وَرقة: “أن رسولَ الله صلى الله عليه وسلم أَذِن لَهاَ أن يُؤذَّن لَهَا ويُقَامَ وتَؤُمُّ نِساءَهَا” Sebagian ulama yang membolehkan perempuan menjadi imam bagi laki-laki yang tinggal di rumahnya antara lain Abu Tsaur, al-Muzani dan ath-Thabari. Hal ini dapat dilihat pada kitab Subul as-Salam karya Imam al-Amir ash-Shan’ani dan dinukil juga dalam kitab ‘Aun al-Ma’bud karya Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhîm Âbad.
- Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, Tahdzîb at-Tahdzîb, (Haidarabad-India: Majelis Dâ’irah al-Ma’ârif an-Nizhamiyah, 1327), jld. VI, hlm. 168.
- Muhammad Ibrahim Zaid (Editor) dalam: Ibnu Hibban, Kitâb al Majrûhîn, (Beirut: Dâr al-Ma’arif, t.t.), jld. I, hlm. 1.
- Khalil Ahmad as-Saharanfuri, Badzl al-Majhûd fî Halli Abu Dawud, jld. II, hlm. 210.
- Baca Ali Mustafa Yaqub, Imam Perempuan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), cet. ke-3, hlm. 70-71.
Wallâhu a’lam bi ash-Shawâb