SUARA UTAMA. Seiring jalannya waktu dalam siklus kehidupan akan terus berjalan, fase demi fase harus dihadapi sebagai suatu realitas hidup yang melingkupi manusia secara nyata. Pada akhirnya titik perjalanan akan menjemputnya pada suatu kepurnaan. Begitu pula siapapun orang yang mempunyai suatu profesi kerja khususnya yang mempunyai jabatan-jabatan apapun dalam lembaga, pada waktunya akan berhenti sesuai dengan ketentuan profesi kerja yang mengaturnya.
Berhentinya profesi kerja ini adalah hal biasa dalam dunia kerja karena selesai masa kerja (hal ini diluar kematian, kasus-kasus, sakit yang tidak kunjung sembuh, kecelakaan berat), sebagai suatu realitas hidup yang harus dihadapi dan diterima, terutama masa-masa perjalanan berikutnya dalam kehidupan keseharian. Kegiatan semasa produktif terbiasa dengan keteraturan, wewenang, tanggung jawab, prestasi, dedikasi, semuanya akan hilang secara drastis pada saat menjalani kepurnaan akhir pensiun dari profesi kerja.
Hal utama yang menjadi perhatian dan sering terjadi adalah faktor psikologis yang menerpa secara kejiwaan tentunya akan menghadapi suatu kondisi dimana tekanan rasa minder, terasing, malu, tidak bekerja lagi, kehilangan teman-temannya akan terus menghinggapi. Sesuai dengan pendapat Eyde ( dalam Eliana, 2003) bahwa memasuki masa pensiun dapat membuat seseorang akan kehilangan peran sosialnya di masyarakat, prestasi, kekuasaan dan kontak sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Apabila kita bertemu dan berkomunikasi dengan seseorang yang baru pensiun kita sering melihat mendengar mengenai apa yang menjadi perbincangannya, biasanya terkait dengan hal-hal kebanggaannya selama masa produktifnya. Bahkan terkadang suka lupa ketika tinggal dimasyarakat gaya-gayanya serasa gaya masih aktif bekerja seolah-seolah seperti seorang manager, pimpinan ataupun seorang komandan yang terbiasa dalam suatu sistem memberi instruksi pada bawahannya. Faktanya berada dalam kegiatan kemasyarakatan, Padahal apabila disadari situasi, waktu dan konteksnya sudah berubah, berbeda dan sudah menjadi masyarakat biasa tanpa tempelan atribut-atribut manager, direktur, kolonel bahkan sampai jenderal sekalipun.
Perubahan Sikap Mental
Seseorang yang memasuki masa pensiun akan merasakan perubahan mendasar secara psikologis, perubahan ini terkait dengan sikap mental yang dimiliki, arah sikap ini akan menuju pada hal-hal yang negatif bagi seseorang secara kejiwaan, menurut Meva Nareza (2023) memasuki masa pensiun dapat menimbulkan efek negatif pada kesehatan mental. Situasi ini dapat membuat mereka stress dan merasa seperti kehilangan jati diri, kondisi ini disebut post power syndrome. Masih menurut Meva Nareza (2023)Hal ini dapat terjadi dengan beberapa kondisi: kehilangan rutinitas dan tujuan hidup, penurunan pendapatan, pensiun dari pekerjaan sehingga mengangap diri sudah menua dan muncul rasa takut akan kematian, penyakit dan keterbatasan untuk beraktifitas, berkurangnya interaksi dengan orang lain.
Hal-hal tersebut diatas akan memunculkan perasaan sedih, menurunnya minat, mudah marah dan cenderung frustasi, menolak kenyataan atas posisinya yang berubah, selalu mengagung-agungkan masa lalu atas keberhasilan dan kesuksesannya. Edward , Galinda (2020) menegaskan seseorang yang mengalami post power syndrome mereka akan merasakan khawatir yang berlebih, stress, gelisah, rasa putus asa, pemurung, sedih karena sudah pensiun tidak dapat berbuat apa-apa lagi dan mudah sekali tersinggung bagi setiap orang yang mempunyai ambisi besar.
Adanya kesulitan untuk penyesuaian diri melalui peran baru yang dilakukannya setelah pensiun, peran baru dimaksud adalah peran tanpa atribut profesi resmi sebelumnya tapi sebagai masyarakat biasa. Perasaan kurang untuk dihargai karena kehilangan wewenang dan otoritas sebelumnya pada saat aktif bekerja. Perasaan hilangnya identitas yang dimiliki, terkait dengan posisi yang dimiliki sebelumnya.
Upaya dalam Post Power Syndrome
Post power syndrome muncul sebagai akibat dari berakhirnya aktifitas seseorang dalam suatu pekerjaan menuju pada lingkungan baru dimana seseorang adalah murni menjadi seseorang yang tidak mempunyai jabatan, wewenang, rutinitas kegiatan resmi. Dalam perubahan barunya ini seolah-seolah dunia yang selama ini melingkupinya berubah menjadi dunia asing penuh dengan serba kegamangan.
Keterpurukan dalam post power syndrome tentunya akan memberikan dampak yang tidak kondusif bagi seseorang. Dimana waktu yang dijalani terus berjalan, akankah seseorang akan terjebak bahkan menjebakan diri dalam kondisi post power syndrome?. Apakah post power syndrome ini akan terus dipelihara, dirawat namun banyak sisi negatifnya?, sebagai manusia normal tentunya tidak. Sebaliknya kita ingin berproses pada perubahan ke arah yang lebih baik dan lebih baik lagi seterusnya ke depan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menyikapi post power syndrome senantiasa berpikir positif apapun yang akan dilakukan selalu didahului dengan berpikir positif. Artinya apa yang dilihat, dirasakan selalu dilihat dari sisi positifnya baik terhadap diri sendiri maupun orang-orang disekitar kita. Apabila mempunyai hobi yang selama kerja belum maksimal untuk dilakukan, saatnya untuk memperlihatkan potensi kekuatan kita dalam hobi, misal menjadi seorang penulis, konsultan, motivator. Hal lain yang tidak kalah penting adalah tetap menjalin interaksi relasi dengan siapapun baik orang-orang lama maupun baru, karena lingkungan orang-orang inilah yang akan membangun rasa percaya diri kita dalam keberadaan kita. Berpikir positif ditempatkan sebagai prioritas utama dalam mensikapi post power syndrome ini, karena berpikir merupakan pusat dan awal dari segala aktifitas dalam kehidupan manusia.
Penulis : Agus Budiana
Editor : Redaksi Suara Utama