SUARA UTAMA- Menarik kita simak kritikan dari seorang guru besar jurnalisme Janet Steele dari George Washington University, Amerika. Mengenai kegiatan jurnalisme oleh para jurnalis di Indonesia, menggunakan AI. Seperti yang di lansir oleh detik.com (5/5/2025) Profesor jurnalisme dari George Washington University. Janet Steele, menilai penerapan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) di media massa di Indonesia sebagai fenomena yang menarik namun aneh. Menurutnya, media massa Indonesia lebih berani memakai AI dibanding Amerika.
Steele melihat keberanian media di Indonesia menggunakan AI sebagai presenter dalam sebuah wawancara, baik di TV maupun di stasiun radio. Baginya di Amerika untuk kegiatan jurnalisme titik kekuatannya adalah kemampuan para jurnalisnya didalam meliput, mengolah, menyusun sampai pada tahap tayangan sebuah berita.
Steele mengakui bahwa AI dapat membantu seorang jurnalis ketika membuat suatu berita, namun apakah teks-teks yang disusun oleh AI masuk pada ranah pemahaman, sudut pandang, maupun nilai-nilai kebenaran yang diangkat?. AI merupakan bahasa algoritma yang menghimpun seluruh data apapun, lalu dituliskan kembali dalam suatu narasi-narasi yang sesuai dengan data yang dikumpulkannya. Disisi lain AI pun tidak bisa menginterpretasi suatu realitas yang terjadi secara nyata dilapangan, untuk dituliskan berdasarkan pemahaman interpretasi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal lain yang menjadi sorotan Steele mengenai AI dalam kegiatan jurnalisme adalah, tugas seorang jurnalis tidak meringkas mengenai tulisan suatu berita sebelumnya, juga menulis ulang tulisan media sebelumnya, tentunya akan kehilangan makna kebaruan (originalitas) yang berasal dilapangan berdasarkan sudut pandang seorang jurnalis. Point–point yang menjadi catatan Steele dalam jurnalisme, tentunya merupakan peringatan pesan moral dan profesi bagi seorang jurnalis didalam menjalankan fungsinya sebagai jurnalis. Mengingat peran jurnalis sebagai bagian dari suatu media massa sangat menentukan peradaban dan kemajuan suatu bangsa, melalui fungsi-fungsi informasinya.
Kita sadari bahwa AI merupakan suatu konsekuensi dari perkembangan teknologi digital yang mampu membantu aktifitas manusia didalam menjalankan tugasnya, tidak terkecuali bagi profesi jurnalis, dimana AI dengan ragam modelnya dapat digunakan secara efektif sebut saja model Natural Language Generation (NLG) data terstruktur, Natural Language Processing (NLP) GPT, NLP ringkasan teks, NLP analisis sentiment, NLP ekstrasi informasi.
Di Indonesia sendiri pandangan penggunaan AI dalam jurnalisme pastinya beragam, sebagian praktisi mengangap bahwa AI dapat membantu sebagai alat yang dapat meningkatkan efisiensi. Sementara yang lainnya lebih berhati-hati terhadap potensi dan dampaknya pada kualitas jurnalisme.
Refleksi kritikan
Sebagai refleksi atas kritikan Janet Steele kita melihat bahwa, AI adalah keniscayaan yang tidak bisa kita tolak, AI akan selalu hadir ditengah-tengah kita. Namun apabila AI digunakan secara utuh, tentunya tidak baik bagi para jurnalis dan akan berakibat banyak hal sebagai suatu konseksuensi yang akan muncul, pahitnya akan merusak makna jurnalisme itu sendiri. Namun faktanya AI ada dan hadir dan selalu berjalan beriringan dengan jurnalis.
Tentunya dibutuhkan kemampuan seorang jurnalis untuk selalu skeptis dan tidak mudah terpukau pada AI. Meskipun AI menawarkan banyak potensi, seorang jurnalis harus tetap skeptis dan kritis terhadap luaran yang dihasilkan oleh AI. Semuanya yang ada dalam AI bukan merupakan suatu hadiah yang harus di sakralkan sebagai suatu kelebihan utama, namun verifikasi tetap perlu dilakukan sebagai alat monitor seorang jurnalis pada AI.
Selain itu kemampuan membuat berita secara mendalam perlu untuk selalu di pertajam, karena akan menjadi pembeda dalam suatu berita luaran AI dan berita buatan jurnalis secara originalitas. Dalam pembuatan berita secara mendalam pastinya akan terlihat sentuhan-sentuhan nilai empati, emosional dimana secara mendasar hal-hal ini tidak akan kita temukan di AI.
Lainnya adalah, menghomati privasi dimana dalam penggunaan AI memastikan tidak melanggar hak privasi seseorang dan selalu menghormati hak cipta orang lain artinya tetap mengedepankan etika jurnalistik. Selalu memahami dalam algoritma AI dapat terjadi bias sehingga dalam hal ini diperlukan kehatian-hatian ketika menggunakan AI.
Bahwa AI bekerja berdasarkan data yang teralgoritma, sehingga AI mempunyai keterbatasan dalam menentukan konteks suatu berita secara mendalam, nuansa bahasa, ironi atau emosi. Dimana seorang jurnalis sebagai manusia sangat krusial dan menentukan dalam pelaporan berita yang akurat dan berempati.
Penggunaan AI dalam jurnalisme bukanlah sebuah keharusan, tetapi merupakan pilihan strategis yang dapat memberikan keuntungan tertentu. Alih-alih melihat AI sebagai pengganti jurnalis, lebih tepat melihatnya sebagai alat bantu yang dapat memberdayakan jurnalis untuk melakukan pekerjaannya secara efektif dan efisien, asalkan digunakan secara bijak dan bertanggung jawab. Pada akhirnya, kualitas jurnalisme tetap bergantung pada keahlian, integritas dan penilaian etis dari jurnalis itu sendiri.
Penulis : Agus Budiana, Mengabdi pada Suara Utama.