SUARA UTAMA. Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi digitalisasi, memunculkan kemajuan-kemajuan berarti dalam tataran praktik. Beberapa kemajuan tersebut salah satunya kita sebut media sosial. Munculnya aplikasi media sosial memungkinkan semua orang untuk menggunakan dan memanfaatkannya dalam kehidupan sosial sebagai salah satu media interaksi antara satu dengan yang lainya, diantara satu dengan kelompok lainnya. Semuanya dilakukan dalam rangka eksistensi diri melalui versi dirinya masing-masing. Beberapa media sosial familiar yang sering digunakan oleh hampir setiap orang diantaranya : FB, Whatsapp, IG, X, Telegram dan Tiktok.
Dilansir Kominfo ( dalam Tempo.co 24/7/ 2024) Indonesia menjadi negara pengguna media sosial terbanyak keempat di dunia dengan jumlah pengguna mencapai 167 juta. Dengan populasi sekitar 281 juta jiwa, banyak orang Indonesia menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dan membuat berbagai macam konten. Platform seperti Facebook, Instagram, dan Twitter sangat populer. Indonesia bahkan menempati peringkat 4 pengguna Facebook terbesar setelah Amerika Serikat, Brazil, dan India.
Data tersebut menggambarkan pada kita bahwa, pengguna media sosial di Indonesia menempati posisi yang cukup signifikan sebagai pengguna aktif. Hal ini dapat kita lihat dalam keseharian dimanapun kita berada : di stasiun kereta, kampus, sekolah, kantor bahkan dilingkungan rumah sekalipun hampir seluruh anggota keluarga tidak lepas menggunakan media sosial melalui hpnya masing-masing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam konteks konten media sosial, bila kita lihat dan cermati beragam konten ditampilkan penuh dengan warna. Kombinasi tampilan audio, visual, teks, grafis semuanya terlihat menarik dan memunculkan kesan tersendiri bagi masing-masing yang melihatnya. Hal-hal yang ditampilkan terkesan sebagai sebuah realitas nyata, dari pembuat konten. Pertanyaannya adalah, apakah tampilan yang muncul dalam suatu media sosial, adalah tampilan yang sebenarnya?
Secara realitas hidup adalah simulasi, dimana realitas buatan lebih menegaskan atas realitas sesungguhnya dan banyak orang lebih mempercayai atas realitas buatan tersebut. Artinya banyak orang ketika menggunakan media sosial selalu tampil seolah-olah dengan realitas nyatanya yang ingin dilihat, dikagumi dan diakui keberadaannya oleh yang lainnya. Padahal semuanya dilakukan penuh dengan settingan dan tujuan-tujuan tertentu dari pembuat konten realitas itu sendiri.
Media Sosial, Simulakra bagian dari kehidupan manusia.
Hampir semua media sosial, menampilkan konten-konten yang menarik terutama profil-profil orang yang muncul. Dalam tiktok kita sering melihat tampilan seorang wanita begitu cantik dan mulus baik dalam memperkenalkan suatu produk ataupun dalam aktifitas lainnya. Tentunya banyak orang yang melihat terkagum-kagum atas kecantikan wanita tersebut, padahal apabila kita telaah lebih jauh ternyata dalam media sosial tiktok ada yang namanya filter yang mampu merubah warna kulit dan bentuk wajah seseorang menjadi cantik dan lebih muda dan terlihat lebih menarik. Secara umum semua orang akan melihat tampilan yang muncul dalam media sosial sebagai tampilan apa adanya, sehingga muncul pujian, kekaguman dan kesukaan.
Salah seorang filsuf, sosiolog dari perancis Jean Baudrillard memperkenalkan pemikirannya terkait realitas, simbol dan media dalam masyarakat modern. Sebagai sebuah ideologi pemikiran Baudrillard berupaya menciptakan alternatif pemikiran tentang sistem tanda, kode dan citra yang ada dalam suatu media. Bahwa apa yang ditampilkan dalam media sosial merupakan simulakra, adanya realitas nyata yang diambil sebagai bahan ciptaan lalu dimunculkan sebuah realitas tiruan, akhirnya realitas tiruan menjadi realitas yang dianggap nyata.
Dherry Ane menegaskan (2023) Simulakra bukan sesuatu yang alami, yang naturalis. Simulakra lahir dari sistem teknologi, informasi dan globalisasi yang terus mengalami keberlanjutan. Simulakra lahir dalam tata dunia yang sudah dipenuhi dengan model-model dan game cybernetic yang memiliki fungsi operasional total. Simulakra didirikan di atas dasar imitasi, citra, dan duplikasi dari sesuatu yang sudah ada, kemudian diduplikasi ulang sesuai dengan bentuknya yang asli. Proses lahirnya simulakra ini berlangsung dalam arena sosial masyarakat.
Dalam simulakra terjadi perpaduan senyawa antara realitas asli dan realitas tiruan, orang sudah tidak bisa membedakan lagi mana yang asli dan yang palsu. Dua realitas ini menjelma dalam ruang dan waktu melalui media sosial, sehingga orang akan menegaskan bahwa realitas tiruan sudah dianggap sebagai realitas yang sebenarnya. Kondisi ini terjadi dalam keseharian hidup manusia dan merupakan suatu keniscayaan yang berada dilingkungan sekitar kita. Kita lebih mempercayai apa yang kita lihat tampilan dalam media sosial.
Sikap yang seharusnya dalam konten Simulakra
Penggunaan konten media sosial dengan simulakra yang terus menerus dilakukan, bukan tanpa masalah. Banyak masalah yang akan muncul dan terjadi, adanya tekanan psikologis yang menuntut pada seseorang untuk selalu tampil maksimal dalam kepalsuan, keinginan untuk sama dengan profill yang kita sukai dengan mempersonalisasi profil tersebut melalui realitas semu. Selaras dengan pendapat Andreassen (2016) menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang intens dapat terkait dengan peningkatan risiko depresi dan kecemasan. Tekanan untuk mempertahankan identitas online yang sempurna dan kebutuhan akan validasi sosial dapat menyebabkan stres dan masalah kesehatan mental lainnya. Secara aspek sosial orang lebih mempercayai hubungan yang dibangun melalui media sosial dibandingkan dalam realitas nyata, akhirnya merenggangkan hubungan nyata yang selama ini terjalin.
Kemampuan untuk mengenali semua informasi dengan cermat dan teliti serta kemampuan untuk menilai kredibiltas sumber dengan baik, melalui Literasi digital. Dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman kita ketika akan membuat suatu konten.
Penggunaan media sosial secara disiplin waktu, adanya penggunaan batasan waktu dapat membantu kita tidak terjebak dan terlena dalam media sosial secara terus menerus, dan kita dapat melihat secara proporsional tentang suatu objek.
Memprioritaskan hubungan yang dijalin langsung dalam realitas nyata, sehingga akan tercipta kedalaman kualitas hubungan yang apa adanya tanpa kepalsuan apapun.
Setting tampil apa adanya ketika membuat konten tampilan pribadi, tanpa adanya unsur-unsur rekayasa dan membangun identitas yang sehat.
Semua orang mempunyai ukuran-ukuran ideal menurut versinya masing-masing, namun ukuran yang dibuat minimal proporsional, dan masuk logika nalar sehat yang dapat dipahami oleh siapapun yang melihat kita.
Penulis : Agus Budiana