SUARA UTAMA – Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) bukan sekadar organisasi keagamaan. Ia adalah kekuatan sosial dan politik yang telah mengakar, menjadi simpul penting dalam dinamika hubungan antara agama, negara, dan kekuasaan. Peringatan momen besar keislaman atau nasional sering kali menjadi ruang refleksi, tidak hanya bagi umat, tetapi juga bagi NU sendiri untuk merenungi kembali posisi dan peran strategisnya di tengah perubahan zaman.
Kini, ketika Indonesia menghadapi tantangan era demokrasi elektoral yang semakin transaksional, radikalisasi identitas, dan ketimpangan sosial yang melebar, pertanyaan kunci muncul: di mana seharusnya NU berdiri? Di tengah, di samping, atau justru di balik kekuasaan?
Jejak Historis NU: Agama dan Politik Sejak Awal
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Didirikan pada 31 Januari 1926, Nahdlatul Ulama sejak awal bukanlah entitas yang memisahkan agama dari urusan publik. Para pendirinya, termasuk KH Hasyim Asy’ari, melihat agama sebagai pedoman moral dan nilai yang membentuk tatanan sosial. Dalam masa perjuangan kemerdekaan, NU terlibat aktif — baik secara kultural maupun politik. Fatwa Resolusi Jihad 1945 menjadi bukti historis bahwa NU tidak pasif dalam membela tanah air.
Masuknya NU ke dalam partai politik (Partai NU, kemudian menjadi bagian dari PPP, dan akhirnya membentuk PKB) menunjukkan bahwa NU bukan hanya kekuatan moral, tetapi juga kekuatan politik yang sah. Namun, sejak era reformasi, posisi NU dalam spektrum kekuasaan menjadi semakin kompleks dan penuh dilema.
Tiga Simpul: Agama, Politik, Kekuasaan
- Agama sebagai Basis Moralitas dan Otoritas Sosial
NU membawa wajah Islam moderat melalui paham Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah, menekankan toleransi, keadilan sosial, dan kearifan lokal. Di tengah meningkatnya intoleransi dan kekerasan atas nama agama, peran NU sangat vital sebagai penjaga harmoni sosial.
Namun demikian, tantangan terbesar NU saat ini adalah menjaga kemurnian dakwah dan khidmah-nya dari co-optasi politik praktis. Ketika kiai-kiai mulai terbagi dalam dukungan politik, otoritas keagamaan NU kerap terancam terfragmentasi oleh kepentingan sesaat.
- Politik sebagai Instrumen atau Godaan?
Politik sejatinya adalah alat untuk memperjuangkan nilai dan kepentingan publik. Dalam konteks Nahdlatul Ulama (NU), politik dapat menjadi instrumen strategis untuk menyuarakan keadilan sosial, menciptakan tata kelola yang beradab, dan memperkuat posisi umat dalam sistem kenegaraan. Namun dalam praktiknya, politik juga bisa menjadi godaan besar — membelokkan tujuan-tujuan luhur ke dalam perebutan kekuasaan yang pragmatis.
NU dan Keterlibatan Politik Elektoral
Sejak masa awal Orde Lama hingga era Reformasi, tokoh-tokoh NU telah terlibat dalam politik praktis. Yang paling kentara adalah ketika NU membentuk Partai Politik sendiri di masa demokrasi parlementer, lalu menjadi bagian dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan), dan akhirnya melahirkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 1998.
Secara faktual, keterlibatan ini membawa hasil signifikan:
- Banyak tokoh NU menduduki jabatan publik, seperti menteri, anggota DPR, bahkan Presiden (KH Abdurrahman Wahid/Gus Dur).
- Kebijakan inklusif berbasis keislaman moderat seperti keberagaman, pendidikan pesantren, dan pendekatan sosial keagamaan diadopsi ke dalam sistem negara.
Namun, seiring waktu, keterlibatan ini juga menimbulkan friksi internal, terutama ketika:
- Dukungan kiai NU terpecah dalam pilpres atau pilkada. Banyak elite NU terbuka menyatakan dukungan politik, menyebabkan masyarakat NU di akar rumput bingung dan terpolarisasi.
- Kiai-kiai menjadi juru kampanye, menghadiri deklarasi politik, dan membawa simbol-simbol agama ke dalam panggung politik praktis — memunculkan kesan bahwa NU tidak netral.
- Partai-partai yang mengklaim afiliasi ke NU justru tidak konsisten memperjuangkan agenda keumatan, dan malah terjebak pada transaksi politik jangka pendek.
Misalnya, menjelang Pemilu 2024, sejumlah elite NU terlihat aktif menyatakan dukungan terhadap pasangan capres-cawapres tertentu — bahkan sebelum sikap organisasi secara kultural atau struktural disepakati. Dalam beberapa forum, tokoh NU saling bersaing merebut dukungan struktural dari cabang-cabang NU di berbagai wilayah. Fenomena ini memperlihatkan bahwa politik bukan sekadar alat perjuangan, tapi juga medan perebutan pengaruh internal.
Tarik-Menarik: Kiai, Partai, dan Kekuasaan
Realitas lain yang sering mencuat adalah praktik “kiai sebagai pengumpul suara” bagi politisi tertentu. Dalam konteks ini, para kiai NU — dengan pengaruh sosial dan religius yang besar — sering dijadikan alat mobilisasi massa. Ini memperlihatkan bahwa bukan politik yang digerakkan oleh nilai agama, tetapi agama yang ditarik masuk ke dalam kepentingan politik elektoral.
Fenomena seperti ini menjadikan NU terjebak dalam politik identitas dan patronase, bukan dalam rangka memperjuangkan ideologi Islam rahmatan lil ‘alamin, tetapi demi posisi, anggaran, atau pengaruh kekuasaan.
Dampak: Krisis Otoritas Moral
Akibat dari semua ini adalah menurunnya otoritas moral NU di mata masyarakat, terutama generasi muda yang kritis terhadap kemesraan tokoh agama dengan kekuasaan. Ketika sebagian elite NU terlihat lebih sibuk menjalin kedekatan dengan istana atau partai, suara-suara kritis terhadap kebijakan pemerintah sering kali menjadi sayup.
Padahal NU — sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah — memiliki tanggung jawab bukan hanya untuk menasihati umat, tetapi juga menasihati kekuasaan. Jika tidak, NU bisa kehilangan peran sejarahnya sebagai penyeimbang negara.
Jadi dalam hal ini Keterlibatan NU dalam politik seharusnya menjadi instrumen dakwah sosial dan transformasi kebijakan, bukan justru godaan untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan yang pragmatis. NU harus menjaga jarak ideal antara kemitraan strategis dan kritik moral terhadap kekuasaan, agar nilai-nilai Islam tetap menjadi dasar — bukan alat — dalam kehidupan bernegara.
Dengan kata lain, politik boleh dijalani, tetapi jangan dijadikan kiblat. Sebab, ketika nilai-nilai dijual demi kepentingan sesaat, yang hancur bukan hanya citra NU, tapi juga kepercayaan umat terhadap agama itu sendiri.
- Kekuasaan: Antara Peluang dan Perangkap
Dalam era pemerintahan saat ini, banyak tokoh NU yang berada di lingkaran kekuasaan. Bahkan, sejumlah kebijakan strategis nasional melibatkan peran NU secara struktural. Misalnya dalam moderasi beragama, penanggulangan radikalisme, hingga wacana global Islam rahmatan lil ‘alamin.
Namun, kekuasaan juga membawa risiko. Ketika terlalu dekat, NU bisa kehilangan daya kritis. Ketika terlalu jauh, ia bisa kehilangan relevansi. Inilah paradoks yang terus harus dijaga: bagaimana NU berperan dalam kekuasaan tanpa larut dalam kekuasaan itu sendiri.
Refleksi Kritis: Apa yang Perlu Dibenahi?
Beberapa hal penting perlu menjadi bahan perenungan:
- Kemandirian Organisasi: NU harus kembali memperkuat kemandirian ekonomi, sosial, dan kultural agar tidak bergantung pada kekuasaan politik dalam membiayai kegiatannya.
- Regenerasi Kader Ideologis: Pembinaan kader muda NU harus diarahkan bukan hanya pada loyalitas struktural, tetapi juga pada pemahaman ideologis yang mendalam dan kesiapan menghadapi dinamika zaman.
- Mempertegas Jarak dengan Partai Politik: NU sebagai jam’iyyah diniyyah (organisasi keagamaan) sebaiknya menjaga jarak dengan partai manapun, meski secara kultural warganya bebas memilih. Kiai tidak boleh menjadi alat politik, melainkan pemegang nilai yang bisa mengingatkan siapa pun yang berkuasa.
Kesimpulan: NU sebagai Penentu Arah, Bukan Pelengkap Kekuasaan
Nahdlatul Ulama (NU) memiliki warisan historis dan moral yang sangat besar dalam perjalanan bangsa Indonesia. Ia bukan sekadar organisasi keagamaan, melainkan juga benteng sosial, kultural, dan ideologis dalam menjaga keutuhan NKRI. Namun dalam dinamika politik dan kekuasaan kontemporer, NU dihadapkan pada tantangan besar: apakah akan tetap menjadi penentu arah bangsa, atau justru terseret menjadi pelengkap kekuasaan yang silih berganti?
Realita di Lapangan: Posisi NU dalam Pusaran Kekuasaan
Dalam dua dekade terakhir, khususnya sejak era reformasi, NU semakin sering terlihat “dekat” dengan kekuasaan. Banyak tokoh NU menduduki posisi strategis dalam pemerintahan — dari jajaran menteri, duta besar, komisaris BUMN, hingga staf khusus presiden. Hal ini menunjukkan tingginya pengaruh NU secara politis dan simbolis. Presiden-presiden Indonesia pun sejak lama menyadari bahwa “restu NU” adalah kekuatan politik yang tak bisa diabaikan.
Namun, kedekatan itu kerap mengandung paradoks:
- NU sering hanya dilibatkan pada momen-momen simbolik, seperti peringatan Hari Santri, acara kenegaraan, atau deklarasi moderasi beragama, namun tidak selalu diajak dalam penyusunan kebijakan strategis yang menyentuh langsung umat di akar rumput, seperti pendidikan pesantren, ketahanan ekonomi warga NU, atau isu ketimpangan desa-kota.
- Beberapa elite NU yang mendapat posisi strategis di pemerintahan tidak selalu membawa agenda kultural NU secara konsisten, bahkan kadang justru terserap dalam dinamika kekuasaan yang transaksional.
- Di daerah, banyak pengurus NU struktural justru merasa terpinggirkan secara sosial dan ekonomi, meski organisasinya di tingkat nasional tampil bergengsi. Ini menciptakan jarak antara NU elite dan NU akar rumput — yang justru bisa melemahkan konsolidasi internal dan kepercayaan publik.
NU Butuh Menegaskan Kompas Arah Gerak
Untuk tetap menjadi penentu arah, NU perlu menegaskan kembali beberapa prinsip mendasarnya:
- Independensi Organisasi dari Kekuasaan Politik
NU harus menegaskan bahwa keikutsertaan warga NU dalam politik adalah hak individu, tetapi NU sebagai institusi tidak boleh terseret dalam dukung-mendukung kekuasaan secara terbuka, karena itu akan mengorbankan peran moral NU sebagai penyeimbang. - Kritik Konstruktif Terhadap Negara
Kiai dan tokoh NU perlu kembali menjadi suara nurani bangsa — tidak segan menegur pemerintah jika ada penyimpangan, baik dalam isu demokrasi, korupsi, maupun keadilan sosial. Dekat tidak harus diam. Berpengaruh tidak harus tunduk. - Penguatan Khidmat Sosial di Akar Rumput
NU harus kembali fokus pada pelayanan konkret: pendidikan berkualitas di pesantren, pemberdayaan ekonomi warga, dan advokasi keadilan sosial. Jangan sampai NU sibuk di panggung elite, tapi warga NU di desa-desa dibiarkan bergumul dengan kemiskinan struktural.
Penutup: Menjadi “Pemandu Zaman”
Dalam situasi bangsa yang sedang mencari arah — di tengah krisis kepercayaan publik, naik turunnya kualitas demokrasi, dan gelombang konservatisme global — NU tidak boleh kehilangan jati dirinya. NU bukan sekadar mitra strategis negara, melainkan penuntun arah moral bangsa.
Menjadi “pemandu zaman” adalah takdir sejarah NU, bukan menjadi “pengikut arus kekuasaan”. Sebab bila NU hanya sibuk berada di panggung kekuasaan, ia berisiko kehilangan kekuatannya yang sesungguhnya: kepercayaan dari umat.














