Suarautama.id, Nias Utara — Kejadian perundungan yang berujung pengeroyokan terhadap seorang siswa SMP Negeri 1 Tuhemberua, Kabupaten Nias Utara, telah menjadi sorotan serius. Kasus ini tidak hanya mencederai fisik korban, tetapi juga menimbulkan trauma psikologis yang mendalam, sehingga korban hingga kini merasa takut untuk kembali bersekolah. Kasus ini menggambarkan adanya kegagalan dalam penanganan perundungan di sekolah yang seharusnya menjadi lingkungan yang aman bagi setiap siswa.
Kepada awak media hari ini Rabu (06/11/24), Orang tua siswa atas nama Benny Harefa menceritakan Peristiwa perundungan yang awalnya terjadi pada Sabtu, 26 Oktober 2024, ketika seorang siswa SMP Negeri 1 Tuhemberua yang masih duduk di bangku kelas VIII pulang ke rumah dalam kondisi terluka. Saat tiba di rumah, korban langsung mengurung diri di kamar. Ibunya yang khawatir kemudian menanyakan kondisi anaknya, dan korban mengaku sedang demam. Namun, setelah diperiksa, ditemukan sejumlah luka pada tubuhnya, di antaranya benjolan di kepala, bekas cakaran di leher dan punggung, serta memar dan bengkak di kaki kanan.
Korban, yang awalnya tidak mau menceritakan apa yang terjadi, akhirnya mengungkapkan bahwa ia telah dikeroyok oleh sekitar 15 siswa dari berbagai kelas, mulai dari kelas I hingga kelas III SMP, di dalam lingkungan sekolah pada saat kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. Yang mengejutkan, kejadian tersebut berlangsung tanpa sepengetahuan guru atau kepala sekolah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah mengetahui kondisi anaknya, Benny Harefa, orang tua korban, segera membawa anaknya ke Puskesmas untuk pemeriksaan medis. Pada Minggu, 27 Oktober 2024, Benny menghubungi pihak sekolah untuk meminta klarifikasi mengenai peristiwa tersebut. Namun, kepala sekolah SMP Negeri 1 Tuhemberua mengaku tidak mengetahui kejadian tersebut, meskipun insiden itu terjadi di lingkungan sekolah. Pihak sekolah kemudian berjanji akan mendalami masalah ini melalui PKS Kesiswaan.
Pada Senin, 28 Oktober 2024, Benny bersama istrinya mendatangi sekolah untuk menuntut penjelasan lebih lanjut. Pihak sekolah kemudian mengonfirmasi bahwa mereka telah melakukan pemeriksaan terhadap para siswa yang terlibat, dan ditemukan bahwa sekitar 15 siswa terlibat dalam pengeroyokan tersebut. Namun, dalam pertemuan pada Jumat, 1 November 2024, hanya empat orang tua siswa yang hadir untuk membahas penyelesaian kasus tersebut, meskipun 15 siswa terlibat. Benny merasa keberatan dengan jumlah orang tua yang hadir, karena hal itu tidak mencerminkan keseluruhan pihak yang terlibat dalam perundungan.
Saat dikonfirmasi, sekolah menyatakan bahwa 11 siswa lainnya hanya menjadi saksi dalam kejadian tersebut dan tidak terlibat langsung dalam pengeroyokan. Pihak sekolah kemudian mengupayakan penyelesaian secara kekeluargaan, namun Benny menilai pendekatan ini tidak memadai untuk kasus perundungan yang melibatkan banyak siswa dan menyebabkan trauma berat bagi korban.
Benny mengungkapkan bahwa anaknya kini mengalami gangguan psikologis yang serius akibat perundungan tersebut. Korban yang sebelumnya ceria dan aktif kini merasa ketakutan untuk kembali ke sekolah dan cenderung menghindari interaksi dengan teman-temannya. Kejadian ini tidak hanya merusak fisiknya, tetapi juga mengganggu kesehatan mentalnya, yang kini membutuhkan dukungan lebih dari semua pihak.
Karena tidak adanya penyelesaian yang memadai di tingkat sekolah, pada 2 November 2024, Benny memutuskan untuk melaporkan kasus ini ke Polres Nias. Ia berharap agar aparat penegak hukum dapat segera menangani kasus ini secara transparan dan menyeluruh, serta memberikan keadilan bagi anaknya. Benny juga meminta agar semua pihak yang terlibat dalam pengeroyokan tersebut diberi sanksi yang setimpal.
Benny berharap agar kasus ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah, dinas pendidikan, dan pihak sekolah. Ia menegaskan bahwa kejadian seperti ini tidak hanya harus ditangani dengan tindakan tegas terhadap pelaku, tetapi juga dengan pemberian dukungan psikologis kepada korban. Ia berharap agar anaknya bisa segera pulih dari trauma dan merasa aman kembali untuk melanjutkan pendidikan.
“Anak saya kini sangat takut untuk kembali ke sekolah. Kami berharap agar pihak yang berwenang segera menindaklanjuti kasus ini dengan serius dan membantu kami memberikan perlindungan serta dukungan yang anak kami butuhkan. Kami juga meminta agar pihak sekolah bertanggung jawab atas kejadian ini dan memastikan bahwa kejadian serupa tidak terjadi lagi,” ujar Benny dalam wawancara.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa perundungan di sekolah adalah masalah serius yang memerlukan perhatian dan penanganan yang tepat dari semua pihak. Sekolah harus memiliki mekanisme yang jelas dalam menangani setiap bentuk kekerasan, termasuk memberikan dukungan psikologis kepada korban dan memastikan pelaku mendapat sanksi yang sesuai.
Selain itu, pihak sekolah perlu meningkatkan kesadaran serta memberikan pelatihan bagi guru dan tenaga pendidik lainnya untuk bisa mendeteksi tanda-tanda perundungan lebih awal dan memberikan solusi yang tepat. Pemerintah dan dinas pendidikan juga perlu menyediakan sumber daya untuk memastikan bahwa setiap sekolah dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi semua siswa.
Kasus perundungan yang terjadi di SMP Negeri 1 Tuhemberua ini mengingatkan kita akan pentingnya menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, bebas dari kekerasan. Diperlukan kerjasama yang lebih erat antara sekolah, pemerintah, dan masyarakat untuk memastikan setiap anak dapat belajar dalam lingkungan yang mendukung perkembangan mereka tanpa rasa takut. Kami berharap kejadian ini dapat menjadi titik balik dalam peningkatan sistem pendidikan yang lebih baik dan aman bagi generasi mendatang.