Penulis Oleh: Adelia, Putri Dwi Ningsih, Suhardi
Prodi Manajemen Pendidikan Islam, FTIK, IAIDU Asahan Kisaran
SUARA UTAMA, Kajian pendidikan dalam pemikiran Tokoh-tokoh Islam yang akan dikaji diantaranya adalah: Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Khaldun, Al-Ghazali dan Muhammad Iqbal. Tokoh-tokoh Islam tersebut telah menulis gagasan-gagasan besar terhadap urgensitas pendidikan karakter. (Abuddin Nata:2011:2).
Kajian pendidikan karakter dalam pemikiran tokoh-tokoh Islam klasik hingga modern selalu menjadi tema yang penting untuk dikaji dan dikembangkan didalam khazanah pendidikan Islam. Latar belakang yang mendasarinya antara lain, yakni: Pertama; pendidikan karakter merupakan tema penting yang menjadi perhatian pemangku kebijakan dalam merumuskan tujuan pendidikan, asumsinya adalah meningkatnya gejala dekadensi moral dikalangan remaja yang semakin terdegradasi dan menjadi fakta otentik dimedia massa akhir-akhir ini, kedua; Pendidikan karakter menjadi dasar utama gagasan dan pemikiran dalam bidang ekonomi, hukum, budaya, agama, sosial, dan yang paling utama adalah pendidikan Islam. Ketiga; konsep dan pemikiran pendidikan karakter yang digagas oleh tokoh-tokoh Islam klasik memiliki persamaan dan perbedaan dengan konsep pendidikan yang berasal dari barat dan konsep pendidikan karakter yang diwariskan dari yunani kuno dan arab jahiliyah sebelum Islam turun ke jazirah arab. Keempat; Wacana kajian pendidikan Islam menempati posisi strategis dalam masalah pendidikan karakter, kondisi ini sejalan dengan substansi kajian pendidikan Islam yang secara filosofis tertuang dalam sumber-sumber hukum Islam yang mengedepankan konsep pendidikan karakter.Dalam konteks problematika pendidikan Islam di Indonesia, persoalan mendasar yang dihadapi oleh pendidikan Islam selama ini adalah belum adanya temuan konsep dan format baku yang dijadikan rujukan oleh pemangku kebijakan pendidikan Islam (kementerian agama). Hal serupa dialami oleh negara lain dengan penduduk mayoritas umat Islam, khususnya di Negara-negara timur tengah. Kenyataan ini menunjukan lemahnya nalar pemikiran elit akademisi pendidikan Islam terutama dalam menterjemahkan pemikirannya dari sisi aspek birokrat-teknokratik, sehingga bahan rujukan untuk pengembangan keilmuan pendidikan Islam ditataran grass root belum memiliki acuan baku maupun standart yang dimungkinkan internalisasi nilai-nilai maupun ideologi didalam suatu Negara terumuskan didalam konsep desain kurikulum dan menjadi rujukan dalam system kehidupan berbangsa dan bernegara dibidang Pendidikan Islam.
Biografi Al-Ghazali, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Khaldun, Muhammad Iqbal
1.Biografi Al-Ghazali
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Al-Ghazali adalah salah satu tokoh pendidikan Islam yang telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan pendidikan Islam, terutama dalam kaitannya dnegan pendidikan akhlak Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at-Tusi al-Ghazali, seorang pemikir Islam sepanjang sejarah Islam, teolog, filosof dan sufi termasyhur. (Azyumardi Azra dkk: 2003: 25)
Imam Al-Ghazali dilahirkan di kota Thusi, pada sekitar pertengahan abad ke-5 Hijriyah (450 H 1058 M). Abu Hamid memiliki seorang ayah yang lembut sanubarinya, sederhana pola hidupnya, pekerja keras dan pedagang yang sabar. Ayah sang imam dikenal gemar menuntut ilmu ke banyak ulama pada masa itu, sering mengikuti halaqoh (pengajian) mereka, dan gemar membantu kebutuhan sesama. Tak jarang ayah Al-Ghazali menitikan air mata pada saat mendengarkan uraian (tausiyah) yang di sampaikan oleh para ulama yang sedang ia datangi untuk menimba ilmu Pada suatu kesempatan, karena di dorong perasaan ingin memiliki keturunan yang menguasai keilmuan agama, dengan cara menggemari majelis yang didalamnya dibacakan ilmu oleh para ulama. Do’a beliau pun di ijabah (dikabulkan) oleh Allah SWT, dengan menganugerahi dua orang putra yang shalih. Putra pertamanya diberi nama Abu Hamid, yang kedua, saudara laki-laki dari imam al-Ghazali pun lahir yang kemudian diberi nama Ahmad, dengan kuniyah (nama alias) Abu al-Futuh Ahmad Muhammad bin Muhammad bin Ahmad ath-Thusi al-Ghazali, dengan fagab (nama panggilan) Majdudin. (Al-Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin: 2011: 7-8).
Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang pribadi yang cinta terhadap ilmu pengetahuan, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Ghazali sendiri: “Sesungguhnya kehausan untuk menyelami hakekat segala sesuatu merupakan kebiasaan sejak dini. Sifat ini merupakan fitrah yang dikaruniakan oleh Allah kepadaku, bukan pelihan atau karena usahaku sendiri, sehingga aku terbebas dari segala taqlid dan kepercayaan warisan sementara usiaku masih mula Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang pribadi yang cinta terhadap ilmu pengetahuan, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Ghazali sendiri: “Sesungguhnya kehausan untuk menyelami hakekat segala sesuatu merupakan kebiasaan sejak dini. Sifat ini merupakan fitrah yang dikaruniakan oleh Allah kepadaku, bukan pilihan atau karena usahaku sendiri, sehingga aku terbebas dari segala taqlid dan kepercayaan warisan. sementara usiaku masih muda. Al-Ghazali, Al-Munqid Min Al-Dhalal: 2001: 107).
Pendidikan pertama kali yang didapat Al-Ghazali berasal dari lingkungan keluarganya sendiri. Dari keluarga itulah Al-Ghazali mulai belajar Al-Qur’an. Sang ayah selalu menanamkan nilai-nilai keagamaan terhadap Al- Ghazali. Setelah mengenyam pendidikan dari keluarga, pada saat umur 7 tahun Al-Ghazali melanjutkan pendidikannya ke madrasah di Thus untuk belajar figh, riwayat para wali dan kehidupan spiritual mereka, menghafal syair-syair mahabbah (cinta) kepada Allah, tafsir al-Qur’an dan sunnah. Guru fiqhnya di madrasah tersebut adalah Ahmad bin Muhammad Al-Razikani seorang sufi besar. (Al-Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin: 2011: 84).
Antara tahun 465-470 H, Al-Ghazali pada saat itu usia 15 tahun pergi ke Mazardaran. Jurjan untuk melanjutkan studinya dalam bidang figh dibawah bimbingan Abu Nasr al-Isma’ily selama 2 tahun. Setelah menamatkan studinya di Jurjan, pada usia 20 tahun Al-Ghazali melanjutkan pendidikannya ke madrasah Nizamiyah Nizabur, ia berguru ada Yusuf Al Nassaj seorang pemuka agama yang terkenal dengan sebutan Imamul Haramain atau Al-Juwayni Al-Haramain (seorang ulama Syafi’iyyah beraliran Asy’ariyyah) hingga berusia 28 tahun. Tempat pendidikan ini yang paling berjasa dalam mengembangkan bakat dan kecerdasannya. Selama di madrasah Nizamiyah Nizabur Al-Ghazali memelajari teologi, hukum dan filsafat. Dalam bimbingan gurunya itu ia sungguh-sungguh belajar dan berijtihad sampai benar-benar menguasai berbagai persoalan madzhab- madzhab perbedaan pendapatnya, perbantahannya, teologinya, usul fiqhnya, logikanya dan membaca filsafat maupun hal-hal lain yang berkaitan denganya, sertas menguasai berbagai pendapat cabang ilmu tersebut. (Al-Ghazali dan Fazlurrahman: 2004: 36)
Sebelum al-Juwayni wafat, beliau memperkenalkan al-Ghazali kepada Nidzham al-Mulk. Perdana Menteri sultan Saljuk Malik Syah, Nizam adalah pendiri madrasah al-nidzhamiyah. Di Naisabur ini al-Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu Ali al-Faldi Ibn Muhammad Ibn Ali al-Farmadi, seorang sufisme asal Thus, murid dari tokoh sufisme Naisabur, al-Qusyairi. Himawijaya: 2004: 15)
Karier Imam al-Ghazali tidak hanya berhenti disitu, al-Ghazali ditunjuk oleh Perdana Menteri Nizamul Mulk di bawah pemerintahan Khalifah Abbasiyah, untuk menjadi Rektor Universitas Nizamiyah. Di mana pada waktu itu al-Ghazali baru berumur dua puluh delapan tahun, namun kecakapannya mampu menarik perhatian Perdana Menteri. Al-Ghazali menjabat sebagai Rektor Universitas Nizamiyah tidak begitu lama. Tahun 1095 M al-Ghazali meninggalkan profesinya sebagai guru, karena beliau hendak melanjutkan perjalanan menuju Makkah al- Mukarramah guna menunaikan rukun Islam yang kelima, ibadah haji. Sebelum itu, al-Ghazali sempat menempuh jalan zuhud dan meninggalkan hingar-bingar keramaian dunia. Seusai menunaikan ibadah haji, al-Ghazali mengunjungi wilayah Syam, dan untuk sementara waktu menetap dikota Damsyiq (Damaskus), hingga kembali ke kota asal beliau, Thus Kemudian al-Ghazali mengurung diri di Masjid Damaskus. Di sinilah al-Ghazali menulis kitabnya Ihya Ulum ad-Din, sebuah kitab yang merupakan paduan antara fiqih dan tasawuf. Pengaruh buku ini menyelimuti seluruh dunia Islam dan masih terasa sampai sekarang. (Sibawahi Eskatalogi AL-Ghazali dan Fazlurrahman: 2004: 27).
Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam
Foto: Program Kelas Pelatihan/AR Learning Center adalah Pusat Pembelajaran, Pendidikan dan Pengkaderan. Lembaga AR Learning Center/Suara Utama-081232729720/Suara Utama ID
Dalam buku al-Mungidz min al-Dhalal, halaman 933 disebutkan, Imam al-Ghazali menyatakan perihal diri beliau sendiri. “Aku baru menyadari bahwa sesungguhnya diriku sangat membutuhkan kondisi dimana aku bisa mengabdikan hidupku untuk ilmu dan agama. Dan untuk tujuan itulah aku kembali ke negeri asalku. Sebab, semua yang pergi pasti akan kembali ke asalnya. Akan seperti itu pula kondisi masa, dimana ilmu dan agama menjadi asing, hingga kembali ke asal (sumber) sesungguhnya, Allah SWT.(Sibawahi Eskatalogi AL-Ghazali dan Fazlurrahman: 2004:933)
Pada saat al-Ghazali mulai menuangkan goresan penanya danmemulai susunan Ihya Ulum ad-Diin hingga selesai, beliau sadar bahwa semua ilmu yang dipunya tanpa dilanjutkan dengan amalan akan bernilai sia- sia begitu pula sebaliknya, amalan tanpa dilandasi ilmu agama tidak akan berbuah apa-apa. Hari-hari beliau kemudian di isi dengan menulis, beramal meningkatkan ibadah dan pendekatan diri kepada Allah SWT. Karena beliau menyadari bahwa semua yang beliau miliki semata-mata titipan dari sisi-Nya. Kehidupan al-Ghazali pada masa tuanya telah mantap coraknya menjadi seorang sufi. Sebagai sufi, al-Ghazali berkeyakinan bahwa tasawuf adalah jalan terbaik yang dapat menghantarkan pada kebenaran hakiki. (Al-Ghazali, ya Uhm ad-dia, Ismail Yakub: 1983: 25)
2.Biografi Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali Al-Husain ibnu Abd Allah ibn Hasan ibnu ‘Ali ibn Sina. Di Barat populer dengan sebutan Avicenna akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi- Spanyol-Latin. Dengan lidah Spanyol kata ibnu diucapkan Aben atau Even. Terjadinya perubahan ini berawal dari usaha penerjemahan naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin pada pertengahan abad keduabelas di Spanyol.
Ibnu Sina dilahirkan di Afsyana dekat Bukhara pada tahun 980 M dan meninggal dunia pada tahun 1037 M dalam usia 58 tahun. Jasadnya dikebumikan di Hamadzan.(Muhammad Athif Al-‘Iraqy, al-Falsafat al-Islamiyyat :1962:79).
Ibnu Sina sejak usia muda telah menguasai beberapa disiplin ilmu, seperti matematika, logika, fisika, kedokteran, astronomi, hukum, dan lain-lainnya, bahkan dalam usia sepuluh tahun la telah hafal Al-Qur’an seluruhnya. Ketika anak genius ini berusia 17 tahun, dengan kepintaran yang sangat mengagumkan, ia telah memahami seluruh teori kedokteran yang ada pada saat itu dan melebihi siapa pun juga. Karena kepintarannya ini, ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter praktisi. Peristiwa ini terjadi ketika ia berhasil mengobati Pangeran Nuh ibnu Manshur, yang sebelumnya tidak seorang dokter pun mampu menyembuhkannya. la juga pernah diangkat menjadi menteri oleh Sultan Syams Al Dawlah yang berkuasa di Hamdan.(Harun Nasution:1973:29).
Di antara guru yang mendidiknya ialah Abu ‘Abd Allah Al-Natili dan Isma’il sang Zahid.(Majid Fakhry: 1987:191) Karena kecerdasan otaknya yang luar biasa, ia dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya dengan sempurna, bahkan melebihi sang guru.
Setelah guru-gurunya kewalahan, Ibnu Sina menjadi bingung mencari tempat untuk memuaskan kehausan belajarnya yang tidak kunjung terpenuhi. Telah disebutkan, karena keberhasilannya mengobati Pangeran Nuh ibnu Manshur, Ibnu Sina diberi kebebasan belajar di perpustakaan istana, Kutub Khana.(Muhammad Athif Al-Iraq: 1973: 44) Di sinilah ia melepaskan dahaga belajarnya siang malam sehingga semua. ilmu pengetahuan dapat dikuasainya dengan sempurna.
Keberhasilan Ibnu Sina didukung oleh minat belajarnya yang luar biasa dan kegeniusan otaknya, di samping adanya kebebasan yang diberikan para penguasa. Menurut Nurcholish Madjid, di sinilah letaknya keberuntungan dunia Islam. Dari segi politik dunia Islam boleh dikatakan telah porak poranda, akibat para penguasa saling bersaing dan saling mengungguli, namun mereka tetap mendorong dan melindungi kegiatan intelektual dan ilmiah. Oleh karena itu, berbagai kegiatan seperti ini berkembang bagaikan cendawan di musim hujan.(Nurcholish Majid :1984:31).
Ibnu Sina secara tidak langsung berguru kepada Al-Farabi, bahkan dalam otobiografinya disebutkan tentang utang budinya kepada Guru Kedua ini. Hal ini terjadi ketika ia kesulitan untuk memahami Metafisika Aristoteles, sekalipun telah ia baca sebanyak 40 kali dan hampir hafal di luar kepala. Akhirnya, ia tertolong berkat bantuan risalah kecil Al-Farabi.(Majid Fakhry:1984:190) Anekdot ini juga dapat diartikan bahwa Ibnu Sina adalah seorang pewaris filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan Al-Farabi. Dengan istilah lain, Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya telah dirintis Al-Farabi dan dibukakan pintunya oleh Al-Kindi.
Atas keberhasilan Ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran filsafat sehingga dapat dinilai bahwa filsafat di tangannya telah mencapai puncaknya, dan karena prestasinya itu, ia berhak memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al Syikh al-Ra’is (Kiyahi Utama).(Nurcholish Majid: 1984:33).
Sebagai pemikir inovatif dan kreatif pada umumnya, Ibnu Sina tidak terlepas dari cobaan yang menimpa dirinya. Ketika pustaka istana, Kutub Khana terbakar, ia dituduh membakarnya ( Muhammad ‘AthifbAk-Iraqy:1984:34) supaya orang lain tidak dapat menguasai ilmu yang ada di sana. Cobaan lain, bahwa ia pernah dipenjarakan oleh putra Al-Syams Al-Dawlah, hanya semata-mata kedengkian atau ketidaksenangan.
Setelah beberapa bulan, ia dapat meloloskan diri dari penjara dan lari ke Isfahan dan disambut oleh amirnya dengan segala kehormatan. Di kota inilah ia mengabdikan dirinya sampai akhir hayatnya.( Beor:1963:443).
3.Biografi Al-Farabi
Al-Farabi, nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh, yang biasa disingkat saja menjadi Al-Farabi. Ia dilahirkan di Wasij. Distrik Farab, Turkistan pada tahun 257 H/870 M. Ayahnya seorang jenderal berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki.( Muhammad Ali Abu Rayyan:1963:367). Oleh sebab itu, terkadang ia dikatakan keturunan Persia dan terkadang ia disebut keturunan Turki. Akan tetapi, sesuai ajaran Islam, yang mendasarkan keturunan pada pihak ayah, lebih tepat ia disebut keturunan Persia.
Kendatipun Al-Farabi merupakan bintang terkemuka di kalangan filosof Muslim, ternyata informasi tentang dirinya sangat terbatas. Ia tidak merekam liku-liku kehidupannya; begitu juga murid-muridnya.(Sa’id Zaiyid,Al-Faribi 1963: 15). Menurut beberapa literatur, Al-Farabi dalam usia 40 tahun pergi ke Baghdad, sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia di kala itu. la belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar Al-Saraj dan belajar logika sera filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus, Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asi Kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailan. Akan tetapi, tidak berapa lama ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Selama di Baghdad ia banyak menggunakan waktuny untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat. Di antara muridnya yang terkenal adalah Yahya ibnu Adi, filosof Kristen.(Muhammad Ali Abu Rayyan :1964:369).
Pada tahun 330 H/945M, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinas Hamdan di Aleppo. Sultan tampaknya amat terkesan denga kealiman dan keintelektualan Al-Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo, dan diberinya kedudukan yang baik. Akhirnya pada bulan Desember 950 M filosof Muslim besar ini menghembuskan napasnya yang terakhir di Damaskus dalam usia 80 tahun.
Sebagaimana filosof Yunani, Al-Farabi menguasai berbagai disiplin ilmu. Keadaan ini memungkinkan karena didukung oleh ketekunan dan kerajinannya serta ketajaman otaknya. Padi pihak lain, di masa itu belum ada pemilahan dalam buku-buku antara sains dan filsafat. Oleh sebab itu, membaca satu buku akan bersentuhan secara langsung dengan kedua ilmu tersebut Berdasarkan karya tulisnya, filosof Muslim keturunan Persia in menguasai matematika, kimia, astronomi, musik, ilmu alam. logika, filsafat, bahasa, dan lain-lainnya. Khusus bahasa, menuru riwayat, Al-Farabi menguasai 70 bahasa. Riwayat ini, menuru Ibrahim Madkûr lebih mendekati dongeng ketimbang kenyataan yang sebenarnya.(Al-Faribi:1964:451). Agaknya penilaian Madkûr ini dapat dibenarkan karena bahasa yang berkembang di kala itu, termasuk bahasa ibu Al-Farabi sendiri tidak akan cukup 70 macam.
Al-Farabi benar-benar memahami filsafat Aristoteles, yang dijuluki al-Mu’allim al-Awwal (Guru Pertama), sehingga tidak mengherankan bila Ibnu Sina, yang menyandang predikat al-Syaikh al-Ra’is (Kiyahi Utama), mendapatkan kunci dalam memahami filsafat Aristoteles dari buku Al-Farabi, yang berjudul fi Aghradhi ma ba’d al-Thabi’at”.(Athur Hyman dan James:1969:236).
BACA : Ratusan Sahabat PJS dan KSA Sukseskan Milad Mas Andre Hariyanto dan Sharing Santai
Al-Farabi dalam dunia intelektual Islam mendapat kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sâny (Guru Kedua). Penilaian ini dihubungkan dengan jasanya sebagai penafsir yang baik dari logika Aristoteles.(Muhammad Ali Abu Rayyan :1963:370). Oemar Amin Hoesin berargumen, seolah-olah Aristoteles dalam dunia filsafat telah usai dan tugas itu diemban Al-Farabi sebagai guru kedua.(Oemar Amin Hoesin:1964:88). Agaknya kedua versi di atas dapat diterima karena filsafat Yunani dapat dikatakan telah lenyap dari peredaran dan Al-Farabi pelanjut dan pengembangnya, tetapi alasan logika lebih dominan.
4.Biografi Ibnu Kholdun
Nama lengkap Ibnu Khaldun ialah Waliyuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Abdurrahman bin Khaldun.(Enam :1964:14). Nasab Ibnu Khaldun digolongkan kepada Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Khalid.(Ibnu Kholdun:1079:54).
Beliau dikenal dengan nama Ibnu Khaldun karena dihubungkan dengan garis keturunan kakeknya yang kesembilan, yaitu Khalid bin Usman. Kakeknya ini merupakan orang pertama yang memasuki negeri Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab. Sesuai dengan kebiasaan orang- orang Andalusia dan Maghribi yang terbiasa menambahkan huruf waw dan nun dibelakang nama-nama orang terkemuka sebagai penghormatan dan takzim, maka nama Khalid pun berubah kata menjadi Khaldun.(Firdaus Syam:2010: 67).
Banyak referensi yang berbeda-beda mengenai nama lengkap dari Ibnu Khaldun. Selain yang telah disebutkan diatas, pada kitab Muqaddimah terjemahan Masturi Irham, dkk. menyebutkan bahwa nama asli dan nama yang lebih dikenal untuk Ibnu Khaldun ialah Abdurrahman ibnu Khaldun al-Maghribi al-Hadrami al-Maliki. Abdurrahman ialah nama kecilnya, digolongkan kepada al-Maghribi karena ia lahir dan dibesarkan di Maghrib kota Tunisia, dijuluki al-Hadrami karena keturunannya berasal dari Hadramaut Yaman Selatan, dan bergelar al-Maliki karena ia menganut mazhab Imam Malik.( Ibnu Kholdun:1080:16).
Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunisia, Afrika Utara, pada 1 Ramadhan 732 H/27 Mei 1332 M, dan wafat di Kairo pada 25 Ramadhan 808 H/19 Maret 1406 M.( Abdul Mu’ti Muhammad Ali:2010:413). Beliau wafat dalam usianya yang ke-76 tahun (menurut perhitungan Hijriyah) di Kairo, sebuah desa yang terletak di Sungai Nil, sekitar kota Fusthath, tempat keberadaan madrasah al-Qamhiah dimana sang filsuf, guru, politisi ini berkhidmat.(Firdaus Syamm:2010:75). Sampai saat ini, rumah tempat kelahirannya yang terletak di jalan Turbah Bay, Tunisia, masih utuh serta digunakan menjadi pusat sekolah Idarah ‘Ulya.(Firdaus Syam:2010:67). Pada pintu masuk sekolah ini terpampang sebuah batu manner berukirkan nama dan tanggal kelahiran Ibnu Khaldun.
Ayah Ibnu Khaldun bernama Abu Abdullah Muhammad, yang wafat pada tahun 749 H/1348 M akibat wabah pes yang melanda Afrika Utara dengan meninggalkan lima orang anak. Ketika itu Ibnu Khaldun masih berusia sekitar 18 tahun. Ayahnya ini merupakan seorang yang ahli dalam bahasa dan sastra Arab. Setelah memutuskan untuk berhenti dalam menggeluti bidang politik, lalu beliau menekuni bidang ilmu pengetahuan dan kesufian serta mendalami ilmu-ilmu agama. Sehingga beliau pun dikenal sebagai orang yang mahir dalam sya’ir sufi dan berbagai bidang keilmuan lainnya.(ibnu Kholdun:1080:20).
Pada awal abad ke-13 M, kerajaan Muwahhidun di Andalus hancur. Sebagian besar kota-kota dan pelabuhannya jatuh ke tangan raja Castilia termasuk kota Sevilla (1248 M). Bani Khaldun terpaksa hijrah ke Afrika Utara mengikuti jejak Bani Hafs dan menetap di kota Ceuta, lalu mengangkat Abu Bakar Muhammad, yaitu kakek kedua Ibnu Khaldun untuk mengatur urusan negara mereka di Tunisia, dan mengangkat kakek pertama beliau yaitu Muhammad bin Abu Bakar untuk mengurus urusan Hijabah (kantor urusan kenegaraan) di Bougie. Karena Ibnu Khaldun lahir ditengah-tengah keluarga ilmuwan dan terhormat, maka beliau berhasil menghimpun antara jabatan ilmiah dan pemerintahan.(Ibnu Kholdun:1080:25).
Di Andalusia, keluarga Ibnu Khaldun berkembang dan banyak berkecimpung dalam bidang politik dan akademik. Oleh karenanya, Bani Khaldun terkenal sebagai keluarga yang berpengetahuan luas, berpangkat, banyak menduduki jabatan-jabatan penting kenegaraan, serta memainkan peranan yang cukup menonjol, baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun politik. Sehingga dunia politik dan ilmu pengetahuan telah begitu menyatu didalam diri Ibnu Khaldun. Ditambah lagi kecerdasannya juga sangat berperan bagi pengembangan karirnya. Namun demikian, ayah Ibnu Khaldun ternyata memiliki keunikan tersendiri dari tradisi keluarganya tersebut.
5.Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot, Punjab. Mengenai tahun kelahirannya terdapat perbedaan pendapat, pertama pendapat yang didukung oleh Miss Luce-Claude Maitre, Osman Raliby dan Bahrum Rangkuti yang mengatakan bahwa Iqbal lahir pada tanggal 22 Februari 1873, sementara pendapat yang kedua dikemukakan WC Smith yang mengatakan bahwa Iqbal lahir pada tahun 1876. Sedangkan J. Mark dari Universitas Praha mengatakan bahwa Iqbal lahir pada tanggal 9 November 1876.(Saleh Nur Muhammad Iqbal:XV(2):2009:228). Sedangkan dalam buku yang berisi tentang Seminar Pemikiran Islam yang bertema “Iqbal dan Pembentukan Semula Identiti Muslim” or Iqbal and The Revivification Of The Muslim Identity, tertulis bahwa Iqbal lahir pada 9 November 1877 di Punjab.(Syed.Muhd,Al- Nauqid al-Attas:1978:80).
Muhammad Nur, orang tua Iqbal, ia adalah seorang pegawai negeri, tetapi berhenti dan beralih profesi sebagai pedagang. Dia adalah seorang yang saleh dan memiliki kecendrungan yang kuat pada mistik.(WfbSmith:1979:188).
Dari Punjab Iqbal pindah ke Lahore, salah satu kota besar di India. Dikota ini Iqbal masuk Goverment College untuk meneruskan studinya. Pada tahun 1897 dia berhasil meraih gelar Bachelor of Art dan diberi kesempatan untuk meneruskannya ke program Master di Universitas yang sama. Di sinilah Iqbal berkenalan dengan Sir Thomas Arnold, dosennya pada mata kuliahı filsafat Islam Dari dialah Iqbal banyak mengetahui bentuk dan seluk beluk filsafat Barat.(Iskandar Arnel:2004:2). Setelah ia berhasil memperoleh gelar B.A. pada tahun 1897, in masih berkeinginan untuk melanjutkan studinya ketingkat yang lebih tinggi. Akhirnya meraih gelar M.A dalam Filsafat pada tahun 1899.(H.A Mukti All :1992:174).
Setelah Iqbal menyelesaikan studinya di Government College Lahore. ia di angkat menjadi staf dosen di perguruan tinggi pemerintah (Government College) menjadi pengajar di bidang ilmu sejarah dan filsafat di samping bahasa Inggris. Karena keluasan wawasan ilmu pengetahuan, keluhuran moral serta pandangannya, menjadikan ia sangat terkenal dan di pandang sebagai seorang pengajar yang berbakat.
Keinginan Iqbal untuk menanamkan nilai-nilai kebudayaan Islam dengan menggunakan persajakan justru sebagai alat penjelma semata.Iqbal memang penyair yang hendak menggabungkan suatu pesan, dia telah mempelajari rahasia kehidupan dan inginlah dia menyampaikan rahasia ini kepada umat Islam.
Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam
Foto Dokumentasi AR.Learning Center, CHRA, Coach Yuan.
Pada tahun 1905 atas anjuran nasehat dan dorongan TW Arnold seorang orientalis yang berkebangsaan Inggris yang merupakan salah satu guru Iqbal di Goverent College, akhimya dapat mempangaruhi Iqbal untuk dapat melanjutkan studi pada Universitas Cambridge London. Dari dia juga Iqbal memperoleh prinsip dan teknik penelitian modern serta kritik Barat terhadap disiplin pengetahuan kuno.(Alim Riswanto:2008:20). Dari Mir Hassan, Iqbal mengenal nilai- nilai tinggi dalam dunia Timur, dan dari Sir Thomas Arnold, dia mengenal nilai-nilai kultural dan filsafat Barat. Setelah itu, Iqbal mengajar bahasa Arab di Universitas Oriental College, Lahore, menjadi assisten professor bahasa Inggris tidak tetap di Islamic College dan Government College di Lahore.(Alim Riswanto:2008:24).
Dengan uang tabungannya selama mengajar, Iqbal pergi ke Eropa.Iqbal belajar di Inggris dan Jerman. Di London, Iqbal belajar di Lincoln’s Inn untuk gelar pengacara, dan di Trinity College, Universitas Cambridge, dia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa tingkat sarjana muda. Ini adalah hal yang tidak lazim, mengingat Iqbal telah meraih gelar Master Filsafat dari Universitas Punjab di Lahore, dan juga sedang menyelesaikan sebuah disertasi doktor, juga dalam bidang filsafat, untuk diajukan ke Universitas Munich. Universitas Jerman itu tidak hanya mengijinkannya menulis disertasi dalam bahasa Inggris, tetapi untuk belajar dua semester di kumpus tersebut sebelum mengajukan disertasinya yang berjudul The Development of Methaphysics in Persia kepada Prof. F. Homme. Iqbal meraih gelar doctoris philosophiae gradum pada 4 November 1907 setelah berhasil mempertahankan disertasinya, dan pada tahun berikutnya disertasi tersebut diterbitkan di London, dipersembahkan untuk T.W Arnold.(Alim Riswanto:2008:20-21).
Sebagai seorang mahasiswa yang haus akan ilma terutama filsafat, bukan tidak mungkin dia akan menemukan tokoh-tokoh filosof lainnya dalam perjalanannya mengembara di dunia Eropa khususnya. Dalam studinya di Eropa, Iqbal mengenal sederatan filosof besar pada masa itu, seperti Nietzsche, Bergson, dan mengikuti kuliah-kuliah dari dua orang penganut neo Hegelianisme”, Jhon Mc. Taggart dan James Ward. Kehandalannya di bidang filsafat tidak hanya diakui oleh mereka, tetapi Iqbal juga dikenal kritis terhadap bangunan filsafat Barat.(Alim Rosmawantoro:2008:21).
Sekembalinya Iqbal dari Jerman ke London, ia di tunjuk sebagai guru besar dalam bidang bahasa Arab di Universitas London. Tetapi jabatan itu tidak lama di pegangnya, dan menjelang keberangkatannya kembali ke Lahore tahun 1908, ia di serahi jabatan sebagai ketua jurusan Kajian-kajian filosofis juga sebagai Dekan Fakultas Kajian-kajian Ketimuran juga sebagai angga dalam komisi-komisi yang meneliti masalah perbaikan pendidikan di India. itupun segera di lepaskan, setelah itu ia mengabdikan diri ke dunia hukum Propesi ini digelutinya sampai ia sering sakit tahun 1934, empat tahun sebelum ia meninggal dunia. Kemudian dilanjutkan dengan menulis puisi- puisi dan karangan prosa yang dipelajarinya di Timur dan Barat, serta warisan intelektual Islam untuk menghasilkan reinterpretasi pemahaman Islam.(Hasyimsyah Nasution: 1999:184).
Selama tiga tahun keberadaannya di eropa, Iqbal tidak pernah bosan menemui para ilmuan untuk berdiskusi dengan mereka tentang berbagai objek ilmu pengetahuan dan filsafat la sering juga membincangkan islam dan peradaban. Karena itu, pada tahun 1922 seorang wartawan Inggris mengusulkan kepada pemerintahnya untuk diberi gelar siz kepada Iqbal.Ia pun mendapat undangan penguasa Inggris untuk pertama kalinya, awalnya in menolak, namun sahabatnya Mirza Jalaluddin membujuknya hingga akhirnya ia memenuhi undangan tersebut. Gelar sir ia terima dengan syarat gurunya Mir Hassan, yang ahli dengan sastra Arab dan sastra Persia juga mendapat gelar Syams at Ulama dan syarat itupun diterima oleh penguasa Inggris.(Hasyimsyah Nasution :1999:183).
Tidak hanya sampai disitu perjuangan yang harus ia dapatkan dan lewati, karena gelar tersebut membuat dia harus menerima sebagian surat kabar yang memuat kritik atas sikap Iqbal yang menerima gelar tersebut. Padahal gelar tersebut tidak ada pengaruhnya dengan karya Iqbal.( Hasyimsyah Nasution :1999:184). Mungkin hal inilah yang membuat sebagian karyanya banyak yang mengajak agar manusia mau menyadari bahwasanya kehidupan ini harus penuh perjuangan, keteguhan, harapan, dan kegigihan.
Sepulang dari Eropa, Iqbal bergabung dengan Government College, Lahore, sebagai professor filsafat dan sastra Inggris. Dia juga diijinkan melakukan praktek hokum. Dua setengah tahun kemudian, dia menghentikan kegiatan mengajar di kampus tersebut.Alasannya adalah bahwa dia merasatidak dapat bebas mengekspresikan ide-idenya karena batasan-batasan pemerintah. Kemudian ia bergabung dengan universitas Punjab, selama bertahun-tahun menjabat sebagai dekan Fakultas Studi-studi Ketimuran dan Ketua Departemen Filsafat Perubahan spiritual dan ideologinya semakin mendalam.
Di tanah airnya Iqbal aktif terjun dalam dunia pendidikan hukum dan politik, namun kegemarannya menggubah puisi tidak pernah padam.Pada masa inilah, Iqbal melahirkan karya-karya puisi sebagai sarana untuk mengekspresikan getaran kalbunya, serta mengajak umat Islam untuk kembali menelaah ajaran agamanya dan hidup dinamis sebagaimana yang dianjurkan kitab suci Al-Qur’an.Juga teladan yang diberikan nabi, para sahabat dan sufi- sufi kenamaan.(Hasyimsyah Nasution :1999:25).
BACA : Kebijakan Dalam Pendidikan Islam
Pokok-pokok Pemikiran Al-Ghazali, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Khaldun, Muhammad Iqbal
1.Pokok Pemikiran Al-Ghazali
Dijelaskan oleh Atang Abd Hakim dan Beni Ahmad Saebani dalam bukunya yang berjudul Filsafat Umum; dari metodologi sampai teofilosofi yakni Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, dan kecerdasannya mendorong diri bekerja keras untuk mencari ilmu pengetahuan dan mencari hakikat kebenaran sekalipun harus ditempuh dengan kedukan dan kesengsaraan. Usaha ini dimaksudkan untuk melepaskan diri dari belenggu keyakinan yang diduga menyesatkan yang didasarkan kepada taqlid. Menurut pengakuan beliau, sejak remaja beliau sudah memiliki jiwa skiptis dan kritis. Sehingga beliau terdorong untuk menuntut ilmu ke berbagai kota untuk mengetahui berbagai paham dan aliran agama yang tersebar pada masa itu. Al-Ghazali telah melepaskan diri dari taqlid sejak usia muda, karena menurut beliau, taqlidlah yang mendasari keberagaman umat manusia pada mulanya. Oleh karena itu anak yahudi cenderung menjadi penganut agama yahudi, anak keristen menjadi keristen dan seterusnya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi yang artinya “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikan seseorang yahudi, nasrani, dan majusi”. Dengan jiwanya yang krisis, Al- Ghazali terdorong untuk meneliti sehingga dalam keyakinan beragama seseorang, yang mana termasuk unsur esensial (Fitrah) dan mana yang termasuk unsur kultur, sehingga dapat membedakan mana yang baik dan mana yang batil.(Atang Abd Hakim dan Beni Ahmad Saebani:2008:472).
Sudah dijelaskan sedikit dibiografi beliau diawal, bahwasanya beliau mempelajari ilmu-ilmu agama atau memperdalam agama sejak beliau masih 16 kecil. Dan beliu semakin meranjak dewasa terus memperdalam agama.(Abidin Ibnu Rusyd:1998:9-13). Dan pada akhirnya beliau menulis sebuah kita yang berjudul Ihya Ulumudin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). dan sebagain ulam sekarang mengatakan, “Jika tidak ada Al-Qur’an yang sebagai pedoman hidup, maka kita Ihya inilah yang akan menjadi pedoman hidup umat muslim.( Misbahul Surur,dkk:wpqw:57).
Dijelaskan juga oleh Ahmad Syadali dan Mudzakir dalam buku merekanya yang berjudul Filsafat Umum: untukm IAIN, STAIN, PTAIS yaitu Krisis agama sudah menimpa banyak orang, dan mereka hampir binasa, sedangkan dokter pengobatan tidak ada. Maka keperluan akan pembaharuan agama mendesak sekali, yaitu yang dapat memberikan nilai- nilai rohaniah serta moral terhadap perbuatan-perbuatan lahir. Pembaharuan tersebut tidak lain adalah Al-Ghazali.(Ahmad Syadali:2004:183).
Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam
Foto Dokumentasi Mas Andre Hariyanto Suara Utama ID, happy Milad KE 30 Tahun
Dijelaskan juga dalam sebuah website lebih dari itu al-Ghazali melihat bahwa setan telah menguasahi kebanyakan masyarakat. Agama dalam pandangan ulama’nya apalagi yang lain hanya merupakan fatwa pemerintah atau perdebatan untuk menyerang dan mencari menang atau merupakan ungkapan -ungkapan yang indah yang dijadikan sarana para dai dan muballigh untuk menarik perhatian masyarakat. Pada sisi lain al- Ghazali ingin mengembangkan keikhlasan kedalam kalbu-kalbu masyarakat dan menjadikannya sebagai asas dan syiar sebagaimana yang telah dilakukan generasi awal Islam. Tidak syah lagi bahwa keikhlasan beragama kepada Allah SWT, semata adalah tauhid dan tauhid adalah inti agama Islam. Karakteristik, tujuannya dan sasarannya.
2.Pokok Pemikiran Ibnu Sina
Pokok-Pokok Pikiran Ibnu Sina tentang Pendidikan, berikut beberapa poin pemikiran pendidikan menurut Ibnu Sina yang di paparkan sebagai berikut dibawah ini :a). Kurikulum Tingkat Pertama Dalam Pendidikan Islam Ibnu Sina mempunyai pendapat yang cukup terkenal dalam bidang Pendidikan Anak. Pandangan beliau mengenai kurikulum tingkat pertama dalam pendidikan Islam dapat dikemukakan sebagai berikut: Pertama- tama sebaiknya anak itu belajar Al- qur’an, tentu saja ketika anak tersebut telah siap secara fisik dan mental untuk belajar. Pada waktu yang sama, ia seyogyanya juga belajar huruf abjad, diajarkan dasar-dasar pendidikan agamadan belajar syair dengan dimulai syair-syair sederhana agar mudah dihafal. Lalu syair-syair berisikan tentang budi pekerti, penghargaan tentang ilmu, celaan terhadap kebodohan, dorongan melakukan perbuatan baik, berbakti kepada orang tua dan lain sebagainya.(Muhammad Athiyyah Al-Abrasy:1989:13).
b). Pendidikan Keterampilan Sebagai Bekal Hidup, Menurut Ibnu Sina apabila anak telah selesai belajar Al-qur’an dan menguasai dasar-dasar tata bahasa Arab secara sederhana, kalau dipandang perlu, hendaknya diberi juga pelajaran keterampilan. Dengan catatan, guru harus menyadari betul bahwa tidak setiap pelajaran keterampilan itu cocok bagi setiap anak, namun harus disesuaikan dengan bakat dan minatnya. Sebagai contoh, kalau seorang anak senang keterampilan menulis, maka dalam pelajaran bahasa perlu ditambahkan materi pelajaran surat menyurat, masalah kehumasan, administrasi umum (administrasi perkantoran), keterampilan menulis halus, sebaliknya kalau dia menghendaki keterampilan lain yang sesuai dengan bakat dan minatnya, juga harus dilayani.
c). Sifat-sifat yang Harus Dimiliki Guru (Pendidik) menurut Ibnu Sina, seorang guru itu seyogyanya adalah seseorang yang berakal sehat, kuat agamanya, berakhlak mulia, pandai mengambil hati anak didik, berwibawa, berkepribadian yang tangguh, berwawasan yang luas dan tidak statis, manis tutur katanya, cerdik, terpelajar, necis dan berhati suci. Disamping itu, seorang guru haruslah orang yang mendalam ilmu pengetahuan agamanya, seorang yang shaleh dan bertaqwa kepada Allah SWT dan Rasul Nya. Seorang guru harus merasa takut melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah baik diketahui orang lain atau tidak. Ibnu Sina juga menganjurkan seorang pendidik hendaklah orang yang mengetahui dan mengenal betul dunia anak-anak. Itulah sebab mendidik mereka memerlukan pengalaman dan penelitian mendalam serta persiapan khusus, disamping etika atau tata krama lahiriah yang baik.
d). Pentingnya Pendidikan Budi Pekerti (Akhlak)Ibnu Sina menekankan perkembangan anak itu diwarnai oleh nilai-nilai keagamaan yang baik, dan untuk mewujudkan hal itu, Pendidkan Agama mutlak diperlukan. Disamping itu hendaknya seorang anak itu kalau diajarkan seni sastra (syair), seyogyanya yang mengandung nilai- nilai yang positif dan mengarah pada pembentukan pribadi dan akhlak yang mulia.Pendidikan budi pekerti (akhlak) ini sebenarnya merupakan tujuan utama pendidikan pada umumnya, sebab tujuan pendidikan pendidikan itu adalah membentuk orang yang berbudi pekerti luhur disamping menumbuhkan kepribadian yang kuat. Para ahli pendidikan di abad ke-20 ini telah sepakat bahwa pendidikan budi pekerti adalah tujuan pertama dan utama. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa kurang memperhatikan pendidikan jasamani, pertumbuhan akal pikiran, kepedulian sosial, kegiatan praktis atau keterampilan maupun aktivitas keilmuan lainnya. Sebab dalam pertumbuhannya peserta didik sangat memerlukan fisik jasmaniah yang sehat dan kuat, begitu juga perkembangan akal pikiran, etika, kepedulian sosial yang baik, terampil bekerja dan senang akan ilmu pengetahuan.
e). Pentingnya Memilih Teman Yang Baik Akhlaknya Ibnu Sina berpendirian bahwa seyogyanya seorang anak itu di sekolah berkawan dengan teman yang memiliki kebiasaan yang baik dan berakhlak mulia; sebab itu biaanya meniru kebiasaan temannya. Kalau temannya nakal, dia akan ikut-ikut nakal dan sebaliknya bila anak yang baik, dia akan menjadi baik pula. Dalam mendidik anak agar menjadi anak yang berbudi pekerti yang baik, pengaruh suri tauladan, lingkungan dan kebiasaan anak itu adalah meniru temannya baik ucapan, tingkah laku maupun kebiasaan hidupnya. Sebab kecenderungan meniru merupakan pembawaan anak.Oleh karena itu, kita harus pandai- pandai memilih lingkungan tempat bergaul anak atau anak didik kita. Kita harus sering menanyakan kepadanya siapa saja teman-temannya, selalu diingatkan agar pandai memilih teman yang baik dan jangan sangan bergaul dengan anak yang tidak baik seperti yang jahat perangainya, tidak mempunyai malu, suka membangkang dan anak yang memilki kelainan jiwa. Sebab anak itu mudah dan cepat meniru dan terpengaruh teman-temannya baik di sekolah, di masyarakat maupun di tempat-tempat lain.
f). Manfaat Bercanda Ria Antar Sesama Anak, Bercanda ria antar anak itu sangat berguna sekali untuk pengembangan dan pertumbuhan akal pikiran mereka, karena masing-masing anak akan mengemukakan apa saja yang dilihat dan didengarnya. Sering percakapan mereka terdapat cerita-cerita unik yang sangat menarik dan mendorong temannya untuk menghafal dan menceritakan kembali. Kemudian antar mereka saling bercerita dan menghafal cerita itu satu sama lain. Semuanya itu akan menumbuhkan sifat kompetitif, perasaan saling merasa hebat, saling mengenal, saling meniru. Aktivitas seperti itu sebenarnya merupakan media transformasi pendidikan budi pekerti (akhlak) pengembangan cita- cita dan penanaman baik di kalangan mereka.
g). Hukum (Sanksi), Ibnu Sina disamping telah meletakkan dasar-dasar pendidkan budi pekerti (akhlak), beliau tidak lupa menyampaikan pandangannya tentang hukuman (sanksi) terhadap anak didik. Beliau memberikan gambaran yang komprehensif tentang cara mendidik anak dan apa saja sanksi (hukuman) yang seharusnya diberikan kepada anak itu.Seharusnya pendidikan anak itu dimulai sedini mungkin. Sejak anak masih menyusui ibunya, hendaknya sudah dibiasakan dengan hal-hal yang baik, sehingga kehidupan anak tidak terwarnai oleh kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik, yang sulit dihilangkan jika sudah meresap pada jiwa anak. Akan tetapi bila terpaksa harus memberikan sanksi (hukuman), maka hendaklah dijaga betul perasaan seorang anak. jangan sekali- kali anak diberi hukuman yang berat atau keras, melainkan hukuman yang lembut dan penuh kasih sayang. Hukuman hendaknya selang seling, kadang-kadang agak keras dan menakutkan. Sekali waktu, hukuman itu dalam bentuk raut wajah masam atau dengan hardikan. Dalam waktu lain hukuman dalam bentuk sanjungan atau dorongan. Dan yang paling penting sekali pujian dan motivasi lebih baik daripada cercaan. Tentu saja hal itu disesuaikan dengan kondisi tertentu.
3.Pokok Pemikiran Al-Farabi
Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan pengetahuan. Ilmu berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, ilmu sama artinya dengan pengetahuan. Dalam bahasa Indonesia ilmu pengetahuan boleh disingkat saja; Ilmu dibedakan artinya dari pengetahuan, ilmu (maksudnya ilmu pengetahuan) berarti pengetahuan (knowledge) yang sudah tersusun secara sistematis dan teratur sehingga antara bagian dengan bagian lainnya sudah merupakan satu kesatuan sistematik yang saling berkaitan. Sedangkan pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui oleh panca indra, namun belum tersusun secara sistematik dan belum merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan.
Pada hakekatnya ilmu pengetahuan adalah hasil teorisasi terhadap berbagai hasil pengamatan panca indera dan akal fikiran terhadap berbagai fenomena dalam yang bersifat fisik. Contoh seseorang yang memiliki susunan anatomi tubuh manusia mulai dari jantungnya, ginjal, darah, daging, kulit, gigi, tulang, telinga, mata sampai kepada rambutnya. Maka ia akan memperoleh informasi atau pengetahuan berbagai aspek yang terdapat dalam tubuh manusia itu. Jika informasi tersebut ia susun secara sistematik maka jadilah ilmu pengetahuan, yakni ilmu kedokteran. Dan jika masing-masing aspek diteliti lagi secara khusus maka jadilah ia seorang spesialis jantung, spesialis penyakit dalam, spesialis gigi, spesialis mata dan sebagainya.
Pemikiran Pendidikan Al-Farabi
Konsep ilmu pengetahuan al-Farabi dapat diklasifikasikan pada manah Filsafat Pendidikan Islam. Filsafat Pendidikan Islam itu sendiri adalah ilmu yang mengkaji hakikat dan seluk beluk pendidikan yang bersumber dari al-Qur’an dan as-sunnah, merumuskan berbagai proses pembelajaran, merumuskan strategi pembelajaran, kurikulum, dan sistem evaluasi pendidikan dengan landasan yang digali dari ajaran Islam, serta mengkaji maksud dan tujuan pendidikan Islam yang khusus maupun yang umum, yang temporal maupun yang eternal.
4.Pokok Pemikiran Ibnu Khaldun
Kurikulum Dan Hakikat Ilmu
Salah satu inti dari kurikulum adalah adanya materi yang merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun membagi ilmu mejadi tiga kelompok, yaitu: Al-Ulum al-Naqliyyah (pengetahuanpengetahuan penukilan), Ilmu-ilmu yang ada pada kelompok ini, menurut Ibnu Khaldun adalah ilmu-ilmu tradisional, konvensional (al-‘ulum annaqliyyah al-wadh’iyyah) yang semuanya bersandar kepada informasi berdasarkan autoritas syariah yang diberikan. Misalnya, Ilmu-ilmu tafsir Qur’an dan qiraat Qur’an, Ilmu-ilmu hadis, Ilmu-ilmu fiqh dan cabangcabangnya, hukumhukum waris Fiqh, Ilmu Faraidh, Ilmu ushul fiqh dan cabang cabangnya, dialektika dan soal-soal yang controversial, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, dan mu ta’bir mimpi. Al-Ulum al-Aqliyah (pengetahuanpengetahuan rasional), Kelompok ilmu yang kedua ini juga disebut dengan ulum al-fasafah wa al-hikmah atau ilmu-ilmu filsafat dan hikmah. Secara garis besar, ilmu-ilmu aqliyah ini dikelompokkan lagi oleh Ibnu Khaldun ke dalam 4 macam, yaitu: Ilmu logika (manthiq), Ilmu alam, atau disebut juga “fisika”, Ilmu “metafisika”, dan Ilmu matematika (Geometri, Aritmetika, Musika, Astronomi). Dan Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Bahasa Arab (ilmu alat); Bagi Ibnu Khaldun, sendi bahasa Arab itu ada empat, yaitu: Ilmu Nahwu, Ilmu Leksikografi, Ilmu Bayan, dan Ilmu Sastra (Adab).(Muhammad Kosim:22(2): 29).
Ibnu Khaldun juga memandang bahwa ilmu pengetahuan merupakan anugerah dari Allah SWT. Meskipun ia mengklasifikasikan jenis ilmu kepada dua kelompok, naqliyah dan aqliyah, tetapi pada hakekatnya semua berasal dari Allah. Ilmu naqliyah yang bersumber dari al-Qur’an jelas merupakan kalam Allah. Sementara kelompok ilmu aqliyah yang diperoleh dengan akal pikiran juga pada hakekatnya anugerah dari Allah, terutama akal pikiran tersebut. Dengan pandangan seperti ini, maka orang yang memiliki ilmu tidak diperkenankan menyombongkan diri. Akan tetapi dengan ilmu tersebut, seseorang diharapkan akan banyak beramal dan semakin dekat kepada Allah serta mampu memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Dari klasifikasi ilmu yang telah dibuat oleh Ibnu Khaldun tersebut, dapat diketahui dengan jelas bahwa pemikirannya tentang kurikulum (materi pendidikan) memiliki karakteristik tersendiri.
BACA : Esensi Alam Semesta
Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan
Menurut aliran pragmatis instrumental bahwa kelebihan manusia dari makhluk lainnya terutama binatang, karena selain berkemampuan mengindera (idrak) yang ada di luar dirinya, juga manusia mempunyai kelebihan lain yakni akal pikiran. Dengan akal pikiran itu mampu melakukan apersepsi, abstraksi temuan-temuan indera dan imajinasi. Sehingga manusialah salah satu makhluk Tuhan yang pantas sebagai khalifah fil ard yang diberi tugas khusus untuk mengurus dan mengelola bumi sebagaimana mestinya, sebagaimana Allah swt berfirman dalam QS. al-Baqarah ayat 30; Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
“Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.(Quraish Shihab :2010:7).
Ibnu Khaldun membagi kemampuan berpikir manusia menjadi tiga tingkatan yaitu; al-‘aql al-tamyiz (akal pemisah) yaitu tingkat akal terbawah, karena kemampuannya hanya terbatas pada mengetahui hal-hal yang bersifat empiris inderawi. Konsep-konsep yang dihasilkan taraf berpikir tingkat ini adalah deskripsi atau penggambaran (al-tasawwurat). tujuannya adalah menghasilkan kemanfaatan bagi manusia dan menolak bahaya. Dan al-‘aql al-tarbiyyi (akal eksprimental) adalah kemampuan berpikir yang menghasilkan berbagai gagasan pemikiran dan berbagai etika dalam tatanan pergaulan bersama dan hal ihwal mereka.
Metode Pendidikan Islam
Metode dalam pendidikan Islam adalah aspek yang penting, sebab metode merupakan faktor penentu keberhasilan dalam usaha dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Dalam metode tentunya pendidikan akan diharapkan mampu melakukan aktivitas pembelajaran secara kreatif guna membangun respon positif dari peserta didik. Sebaik apapun ulasan materi pembelajaran yang disiapkan, jika tidak didukung dengan metode mengajar yang baik tentunya tidak akan mencapai target maksimal dalam pencapaian tujuan pendidikan. Ibnu Khaldun mengkritik para pendidik (guru) yang tidak memahami metode mengajar dengan baik, misalnya memaksa anak untuk memforsir tanaga dan pikirannya. Maka beliau menyarankan agar tidak terlalu lama memberikan materi. Ibnu Khaldun menyarankan agar tidak menggunakan metode kekerasan. Sebab, bila dididik dengan kekerasan maka akan membentuk karakter yang buruk serta dipengaruhi bayang-bayang kekerasa itu sendiri.
Dalam pandangan Ibnu Khaldun, hukum yang keras di dalam pengajaran dapat berbahaya bagi peserta didik, karena akan menyebabkan timbulnya kebiasaan buruk. Kekasaran dan kekerasan dalam pengajaran dapat mengakibatkan bahwa kekerasan itu sendiri akan menguasai jiwa dan mencegah perkembangan pribadi anak yang bersangkutan. Kekarasan membuka jalan ke arah kemalasan dan penipuan guna menghindari hukuman.(Abd Rahmat Assegaf:2013:49).
5.Pokok Pemikiran Muhammad Iqbal
Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan daya budaya yang mempengaruhi kehidupan perorangan maupun kelompok masyarakat untuk membentuk manusia mukmin sejati atau yang biasa disebut dengan Insan Kamil. Adapun rincian dari tujuan penudidikan itu, di antaranya:
1). Pendidikan tidak semata-mata untuk mencapai kebahagiaan hidup di akherat dalam pengenalan jiwa dengan Tuhan.
2). Tujuan akhir dari pendidikan hendaknya dapat memperkokoh dan memperkuat individualitas dari semua pribadi, sehingga mereka dapat menyadari segala kemungkinan yang dapat saja menimpa mereka.(K.G.Syaidani :1891:90).
3).Keseluruhan potensi manusia yang mencangkup intelektual, fisik dan kemauan untuk maju. Dalam kaitanya dengan ini Muhammad Iqbal menjelaskan beberapa pemikiranya tentang kehendak kreatif. Hidup adalah kehendak kreatif yang oleh Muhammad Iqbal disebut dengan Soz.(Donny Gahral Adian :1998:83). Yaitu diri yang selalu bergerak kesatu arah. Aktivitas kreatif, perjuangan tanpa hentidan partisipasi aktif dalam permaslahan dunia harus menjadi tujuan hidup. Berkat kreativitas itulah manusia telah berhasil mengubah dan menggubah yang belum tergarap dan belum terselesaikan dan mengisinya dengan aturan dan keindahan.(Donny Gahral Adian :1998:83).(Iqbal:2006:120).
4). Tujuan pendidikan harus mampu memecahkan masalah-masalah baru dalam kondisi perorangan dan masyarakat atau menyesuaikan dengan kondisi masyarakat. a) Pendidik: Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggungjawab memberi bimbingan atau bantuan kepoada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah SWT.(Iqbal:2006:35). b) Peserta Didik: Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik fisik maupun psikis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui proses pendidikan.(Aziz dan Abdul:2009:160). Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. c) Kurikulum: Kurikulum adalah kegiatan yang mencakup berbagai macam rencana kegiatan anak didik yang terperinci yang berupa bentukbentuk bahan pendidikan, saran-saran strategi belajar mengajar dan hal-hal yang mencakup kegiatan yang bertujuan mencapai tujuan yang diinginkan.(Aziz dan Abdul: 2009:163-164). d) Metode Pembelajaran: Metode pendidikan merupakan bagian dari alat-alat pendidikan dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan.(Anas Salahudin:2011:179).
Menganalisis Pemikiran Al-Ghazali, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Khaldun, Muhammad Iqbal
1.Menganalisis Pemikiran Al-Ghazali
Metode Pendidikan Islam
Dalam rangka mewujudkan konsep pendidikannya, Al Ghazali menggunakan metode pengajaran yang menggunakan keteladanan, pembinaan budi pekerti, dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri muridnya. Hal ini sejalan dengan prinsipnya yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid.(Amie Primarni dan Khairunnas:2010:129).
Pendidikan agama dan akhlak merupakan sasaran Al Ghazali yang paling penting. Dia memberikan metode yang benar untuk pendidikan agama, pembentukan akhlak dan pensucian jiwa. Dia berharap dapat membentuk individu-individu yang mulia dan bertaqwa, selanjutnya dapat menyebarkan keutamaan-keutamaan kepada seluruh umat manusia.(Fathiyyah Hasan Sulaiman: 2009: 28).
Dalam uraiannya yang lain, Al Ghazali menjelaskan bahwa metode pendidikan yang harus dipergunakan oleh para pendidik/pengajar adalah yang berprinsip pada child centeredatau yang lebih mementingkan anak didik daripada pendidik sendiri.Metode demikian dapat diwujudkan dalam berbagai macam metode antara lain: 1) Metode contoh teladan 2) Metode guidance and counsellling (bimbingan dan penyuluhan) 3) Mtode cerita 4) Metode motivasi 5) Metode reinforcement (mendorong semangat).(Muzayyin Arifin: 2009:95).
Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa metode pendidikan menurut Al Ghazali diklasifikasikan menjadi dua bagian: 1). Metode Pendidikan Agama, yaitu dengan menggunakan metode hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil yang menunjang penguatan akidah.2). Metode Pendidikan Akhlak, yaitu dengan menggunakan keteladan, latihan dan pembiasaan.
Kurikulum Pendidikan Islam
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Al Ghazali agaknya menginginkan bahwa umat Islam memiliki gambaran yang makro, dan utuh tentang agama, yang diyakininya sebagai sumber ilmu pengetahuan dan landasan yang dipahami dengan sungguh-sungguh yang pada kenyataannya kemudian menjadi cara berpikir yang penting dalam memberikan kerangka bangunan ilmu pengetahuan. Beliau telah membagi ilmu pengetahuan yang terlarang dipelajari atau wajib dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelompok ilmu, yaitu Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tak ada manfaatnya bagi manusia di dunia ataupun di akhirat, misalnya ilmu sihir, nujum, dan ilmu perdukunan.
Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudarat dan akan meragukan kebenaran adanya Allah.( Amie Primarni dan Khairunnas:1980:133).
Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam
Foto Dokumentasi Suhardi Adelia, Putri Dwi Ningsih, Konsep Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam
2.Menganalisis Pemikiran Ibnu Sina
Adapun metode yang ditawarkan oleh Ibnu Sina sebagaimana yang disimpulkan oleh Abuddin Nata, antara lain: metode talqin, demontrasi, pembiasaan, teladan, diskusi, magang dan penugasan.( Abuddin Nata:1990:75) Berhubungan dengan metode talqin, nampaknya Ibnu Sina sebagaimana yang disimpulkan oleh Abuddin Nata menggunakan untuk mengajar membaca al-Qur’an. Sedangkan metode demontrasi, ia menggunakan untuk cara mengajar menulis. Sementara metode pembiasaan atau teladan, ia menggunakan untuk cara mengajar akhlak. Lebihlanjut metode diskusi, ia menggunakan untuk cara penyajian pelajaran kepada subjek didik. Berkenaan dengan metode magang, ia menggunakan dalam kegiatan pengajaran yang dilakukan. Selanjutnya, berkenaan dengan metode penugasan, ia menggunakan dalam kegiatan cara penyajian pelajaran kepada subjek didik.(Abuddin Nata:2009:75-76).
Dari statemen yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa Ibnu Sina menganjurkan agar dalam mengaplikasikan metode ada beberapa langkah yang diperhatikan, sehingga metode mempunyai relevansi dengan tujuan dan materi pendidikan. Adapun langkah-langkah tersebut, antara lain: a). Dalam menggunakan metode pengajaran, hendaklah kita memperhatikan kesesuaian antara bidang studi dengan metode yang kita ajarkan kepada subjek didik.b). Dalam menggunakan metode pengajaran, hendaklah kita memperhatikan tingkat usia subjek didik.c). Dalam menggunakan metode pengajaran, hendaklah kita memperhatikan bakat dan minat subjek didik.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa metode pengajaran yang ditawarkan oleh Ibnu Sina, kelihatannya masih sangat relevan dengan perkembangan pendidikan modern dewasa ini. Dalam hal ini, Ibnu Sina dapat digolongkan sebagai pemikir pendidikan yang sangat besar sumbangan dalam bidang pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
3.Menganalisis Pemikiran Al-Farabi
Al-Farabi mengatakan tercapainya ma’qulat (objek-objek rasional) yang pertama bagi manusia adalah kesempurnaan pertama. Ma’qulat dijadikan agar manusia menggunakannya untuk berproses menuju kesempurnaannya yang terakhir. Itulah kebahagiaan, yaitu jika jiwa manusia mengalami proses kesempurnaan dalam eksistensinya sehingga tegaknya jiwa tidak membutuhkan materi. Hal itu terjadi jika jiwa termasuk kumpulan sesuatu yang bebas dari fisik dan kumpulan substansi yang berbeda dengan materi serta tetap selalu bertahan dalam situasi tersebut.
Kontak akal mustafad dengan Akal Aktif dan penerimaan emanasi ma’qulat darinya merupakan faktor yang membentuk kebaikan yang paling agung dan kebahagian terbesar yang dapat dicapai manusia seta tidak ada kebahagiaan yang lebih besar daripadanya. Menurut al-Farabi bahwa kebaikan yang dituntut untuk dirinya sendiri dan tidak dicari secara prinsipil serta tidak dalam salah satu waktu. Pendeknya, tidak ada hal lain yang lebih besar yang dapat dicapai manusia selain itu. Manusia mencapai kebahagiaan dengan perilaku yang bersifat keinginan. Sebagian di antaranya berupa perilaku kognitif dan sebagian lain berupa perilaku fisik, serta bukan dengan semua perilaku yang sesuai tetapi, dengan perilaku terbatas dan terukur. Perilaku berkeinginan yang bermanfaat dalam mencapai kebahagiaan adalah perilaku yang baik. Situasi dan bakat menjadi sumber perilaku yang baik adalah keutamaan-keutamaan. Kebaikan tersebut bukan semata-mata untuk kebaikan itu sendiri, tetapi kebaikan untuk mencapai kebahagiaan. Perilaku yang menghambat kebahagiaan adalah kejahatan, yaitu perilaku buruk. Situasi dan bakat yang membentuk perilaku buruk adalah kekurangan, kehinaan, dan kenistaan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa al-Farabi memandang adanya hubungan yang kuat antara akhlak dan pengetahuan rasional. Dengan demikian, niat baik yang menunjukkan atas akhlak yang baik merupakan hal penting bagi kejernihan jiwa manusia dan peningkatannya ketingkat berfikir sehingga mencapai akal mustafad yang berhak menerima emanasi ma’qulat dari Akal Aktif.objek rasional dari Akal Aktif. Dengan demikian perilaku berfikir adalah perilaku yang dapat mewujudkan kebahagian manusia.
4.Menganalisis Pemikiran Ibnu Khaldun
Dalam kurikulum pendidikannya Ibnu Khaldun membagi ke dalam dua tingkatan yaitu:
Tingkat pemula
Materi tingkatan pemula difokuskan pada pembelajaran Alqur’an yang merupakan asal agama, sumber berbagai ilmu pengetahuan dan dasar bagi pelaksanaan pendidikan slam. Di samping itu, isi Alqur’an mencakup materi penanaman akidah dan keimanan dalam jiwa anak didik serta membuat akhlak mulia dan pembinaan pribadi menjadi pengabdi Allah SWT.
Tingkat atas
Kurikulum pada tingkatan ini mempunyai dua klasifikasi:
Ilmu yang berkitan dengan zatnya sendiri seperti Ilmu Syariah yang mencakup Ilmu Tafsir Alqur’an dan Qiraat Alqur’an, Ilmu Hadis, Ilmu Fiqih dan cabang Hukum Waris Fiqih dan cabang Dialektika dan soal yang kontroversial, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, Ilmu Tabir Mimpi
Ilmu yang ditujukan ilmu lain dan bukan berkaitan dzat Allah seperti Ilmu Bahasa dan yang berhubungan dengan itu, Ilmu Logika/Ilmu Mantiq, Astronomi, Ilmu Kedokteran, Fisika, Ilmu Pertanian, Ilmu Metafisika dan Ilmu Kalam.
Kalau kita amati penjelasan di atas dapat disimpulkan kepada dua bagian yaitu Ilmu Naqliat dan Ilmu Aqliat. Ilmu Naqliat artinya ilmu yang dikutip manusia dari yang merumuskan atau menetapkan landasannya secara tradisional dari generasi ke generasi, seluruh ilmu ini berasal dari Allah dan akal sama sekali tidak berperan selain menganalogikan cabang asal permasalahannya pada sumber utamanya. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa seluruh Ilmu Naqliatdikhususkan bagi Islam dan bagi pemeluknya. Ilmu Aqliat artinya ilmu yang merupakan buah dari pikiran dan perenungan manusia, ilmu ini tidak dikhususkan bagi satu umat melainkan diberlakukan bagi semua makhluk yang mempunyai akal pikiran.
5.Menganalisis Pemikiran Muhammad Iqbal
Iqbal menyampaikan kritiknya terhadap sistem pendidikan yang berlaku saat itu melalui bait-bait sajaknya,(Munir:1980:22) Aku tamat dari sekolah dan pesantren penuh duka, disitu tak kutemukan kehidupan tidak pula cinta, tidak kutemukan hikmah, dan tidak pula kebijaksanaan. Guru-guru sekolah adalah orang-orang yang tak punya nurani, mati rasa, mati selera dan kyai-kyai adalah orang yang tak punya himmah, lemah cita, miskin pengalaman.
Sajak tersebut adalah kritik Muhammad Iqbal kepada sistem pendidikan Barat dan pendidikan Timur. Kata “guru-guru” adalah penggambaran sistem pendidikan Barat yang dikatakan tak punya nurani atau mati rasa, sebab Iqbal menganggap pendidikan Barat membentuk manusia yang hanya bersifat materialistik dengan mengabaikan aspek ruhani atau religiusitas.
Sementara kata “kyai-kyai” adalah gambaran sistem Pendidikan Timur yang dianggap lemah cita dan miskin pengalaman. Hal ini karena Iqbal menganggap sistem Pendidikan Timur atau Islam Tradisional hanya dapat memenjarakan otak dan jiwa manusia pada satu titik, sehingga tak mampu mencetak generasi yang intelek dan mampu menyelesaikan persoalan kehidupan duniawi.(Mahmud Arif:2008:45)
Iqbal memang tidak pernah merumuskan metode ataupun teknik pembelajaran dan pendidikan secara operasional, namun lebih dari itu, Iqbal memberi gagasan-gagasan yang dapat dijadikan sebagai prinsip-prinsip mendasar terkait pendidikan yang dipahami secara makro. Maka dari itu, pendidikan yang disinggung oleh Iqbal tidak sebatas pada proses belajar-mengajar yang terjadi secara formal semata. Namun Iqbal lebih menaruh perhatian pada pemikiran tentang bagaimana arti dan tujuan hidup manusia, hubungan individu dan masyarakat serta lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut, maka landasan sistem pendidikan akan menyesuaikan atau bisa berubah tergantung pada masalah-masalah dalam praktik sosial, kebudayaan, dan cara berpikir individu.(Iqbal:2011:274) Pada akhirnya melalui ide Rekonstruksi Pendidikan yang diusungnya, Iqbal ingin mencari suatu sistem yang akan mecetak manusia yang tidak hanya berwawasan tapi juga kreatif.
Penutup
Menurut Al Ghazali, pendidikan Islam yaitu pendidikan yang berupaya dalam pembentukan insan paripurna, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Ghazali pula manusia dapat mencapai kesempurnaan apabila mau berusaha mencari ilmu dan selanjutnya mengamalkan fadhilah melalui ilmu pengetahuan yang dipelajarinya.
Dilihat dari tujuan pendidikan, maka tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina, yaitu: Pertama diarahkan pada pengembangan segala potensi yang dimiliki seseorang terhadap perkembangan sempurna baik fisik, intelektual maupun moral. Kedua, Diarahkan pada usaha-usaha dalam rangka mempersiapkan seseorang untuk hidup bersama dalam masyarakat dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan potensinya. Al-Farabi berpendapat bahwa ilmu akan mendatangkan kebahagian lain halnya bagi kaum sufi jalan kebahagian adalah melalui pantangan diri dari berbagai kenikmatan fisik. Dalam konsep pendidikan dan pengajaran Ibnu Khaldun, beliau tidak hanya mementingkan keagamaan saja, melainkan juga dari segi keduniaan, menurutnya keduanya tidak kalah pentingnya,keduanya harus sama-sama diberikan kepada anak didik.
Konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Muhammad Iqbal menekankan adanya rasa keberanian siswa didik kepada pendidik,maka diperlukan adanya semangat, cita-cita dan dinamisasi sedemikian rupa yang terdapat dalam suatu lembaga pendidikan,sehingga terwujud interaksi sosial yang baik antara siswa didik dengan pendidik.