Penulis Oleh : Seri Ulandari, Wildan Sari, Ahamd Yunan Sinambela, Suhardi
Prodi Pendidikan Agama Islam, FTIK, IAIDU Asahan Kisaran
SUARA UTAMA, Pendidikan Islam dengan beragam sistem dan tingkatan dari waktu ke waktu senantiasa mengalami tantangan. Berbagai kemajuan atau ketertinggalan Pendidikan Islam sebagaimana yang terdapat dalam sejarah antara lain disebabkan karena kemampuannya dalam menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Tantangan yang dihadapi Pendidikan Islam saat ini jauh lebih berat dibandingkan dengan tantangan yang dihadapi Pendidikan Islam dimasa lalu.
Kebijakan Dalam Pendidikan Islam
Foto Dokumentasi Mas Mohd. Anggi Samukroni, Dalam Sharing Kepenulisan Jurnalistik dan Public Speaking
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kebijakan pendidikan merupakan hal yang berkaitan dengan upaya pemberdayaan peserta didik. Oleh karena itu pendidikan merupakan ilmu praksis maka kebijakan pendidikan merupakan proses pemanusiaan yang terjadi dalam lingkungan alam dan sosialnya. Sehingga kebijakan pendidikan adalah penjabaran dari visi dan misi dari pendidikan dalam masyarakat tertentu. Kebijakan pendidikan lahir dari ilmu praksis pendidikan sehingga kebijakan pendidikan meliputi proses analisis kebijakan, perumusan kebijakan, implementasi dan evaluasi kebijakan.
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Jadi kebijakan pendidikan ialah usaha perumusan berbagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar serta dasar rencana dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan sekaligus sebagai garis pedoman untuk manajemen atau pengelola pendidikan dalam usaha mencapai sasaran atau tujuan pendidikan yang diharapkan.(Aminuddin Bakry:2010:12).
Pengertian Kebijakan
Pengertian Kebijakan Pendidikan Kebijakan (policy) berasal dari Bahasa Yunani polis yang artinya negara kota. Kata ini berkembang dalam Bahasa Latin “politic” yang memiliki arti negara. Sedangkan dalam Bahasa Inggris Pertengahan terdapat kata “policie” yang merujuk kepada tindakan yang berhubungan dengan masalah kenegaraan dan administrasi pemerintahan. Sehingga kebijakan diartikan sebagai suatu yang berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan pola formal yang sama-sama diterima oleh pemerintah atau lembaga yang oleh karenanya berusaha untuk mengejar tujuannya.(Syafaruddin:2008:1).
Nichols dan Fachruddin menyatakan bahwa kebijakan merupakan hasil dari suatu keputusan yang dipikirkan dengan seksama dan hati-hati oleh pengambil keputusan pusat, bukan kegiatan berulang atau rutin yang diprogram berkaitan dengan aturan-aturan.
Pendapat lainnya diberikan oleh Klein dan Murphy dimana kebijakan adalah seperangkat tujuan, prinsip hingga peraturan yang membimbing suatu organisasi, atau dengan kata lain kebijakan merupakan keseluruhan dari petunjuk organisasi.
Pengertian kebijakan lainnya oleh Hough merujuk kepada seperangkat tujuan, usulan, program, keputusan yang menghadirkan pengaruh serta undang-undang atau peraturan-peraturan.
Hal ini selaras dengan Lasswell (Dunn 1981) bahwa tujuan dari ilmu kebijakan (policy science) tidak hanya membantu membuat keputusan yang efisien, tetapi juga ikut serta dalam perbaikan praktek demokrasi, yang nantinya membantu merealisasikan apa yang menjadi tujuan manusia. Kebutuhan yang hendaknya direalisasikan melalui kebijakan seperti yang dimaksudkan memiliki beberapa kriteria dimana kebutuhan tersebut meliputi:
Kekuasaan (power), yaitu kebutuhan manusia untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan;Pencerahan (enlightenment), yaitu kebutuhan akan pemahaman dan pengetahuan; Kekayaan (wealth), kebutuhan terhadap material seperti penghasilan dan hak milik; Kesejahteraan (well-being), kebutuhan yang berupa kesehatan, rasa nyaman dan keselamatan;Keterampilan (skill), kebutuhan untuk memiliki kemampuan, atau kemahiran dalam menyelesaikan tugas; Rasa kasih sayang (affection), kebutuhan akan rasa cinta,persahabatan, solidaritas, dan kesetiaan; Penghargaan (respect), yaitu kebutuhan tentang kehormatan,status, reputasi dan tanpa diskriminasi;Kejujuran (rectitude), kebutuhan yang sesuai dengan etika moral dan agama.
Dengan demikian landasan kebijakan pendidikan adalah dimana konsep hukum mendasari ditetapkannya suatu aturan dalam bidang pendidikan sehingga dalam prosesnya tercapai keselarasan antara kebutuhan dengan situasi dan kondisi.
Kebijakan Dalam Pendidikan Islam
Foto Dokumentasi Mas M. Marhaba Dalam Sharing Santai Kepenulisan Jurnalistik dan Public Speaking
Dalam upaya mencapai keselarasan sekaligus memenuhi kebutuhan tersebut, Duke dan Canady menjabarkan konsep kebijakan melalui delapan arah pemaknaan fungsi kebijakan dimana:
Kebijakan berfungsi sebagai penegas maksud dan tujuan dari diterbitkannya kebijakan tersebut;Kebijakan berfungsi sebagai keputusan lembaga yang mengatur,mengendalikan, mempromosikan, melayani dan memberikan pengaruh lainnya dalam lingkup kewenangan kebijakan tersebut;Kebijakan sebagai panduan tindakan diskresioner;Kebijakan sebagai strategi untuk menyelesaikan suatu permasalahan; Kebijakan sebagai perilaku atau tindakan yang bersanksi; Kebijakan sebagai norma perilaku yang memiliki ciri konsistensi dan keteraturan dalam bidang tindakan substantif:Kebijakan sebagai output dari sistem pembuat kebijakan; dan Kebijakan sebagai pengaruh dari pembuatan kebijakan, yang ditujukan kepada pemahaman target kebijakan terkait dengan implementasi sistem.(Prof.Dr.Mudjia Raharjo:2010:2).
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi dari kebijakan pendidikan merupakan kumpulan hukum atau aturan yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan, yang mencakup tujuan pendidikan dan cara mencapai tujuan tersebut. Dalam pengertian sederhana, kebijakan pendidikan adalah rumusan berbagai cara dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang dijabarkan melalui berbagai kebijakan pendidikan.
Kebijakan pendidikan ditujukan untuk menjadi pedoman dalam melakukan tindakan, pengarahan kegiatan pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat serta pemerintah untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sehingga kebijakan pendidikan merupakan garis umum bagi pengambilan keputusan di setiap jenjang pendidikan maupun organisasi.(Tilar:2009:3).
BACA : Semarak Milad 30thn Mas Andre Hariyanto bersama Sahabat Kak Sam Academy dan Pemerhati Jurnalis Siber
Kata-Kata Kebijakan Dalam Al-Quran
Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan Latin politicos atau politicus yang berarti relating to citi-zen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai “segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain”. Juga dalam arti “kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah)”.
Menurut JE. Hosio, kebijakan dapat dipahami sebagai suatu arah tindakan yang bertujuan, yang dilaksanakan oleh pelaku kebijakan di dalam mengatasi suatu masalah atau urusan-urusan yang bersangkutan.
Kebijakan pendidikan Islam adalah kebijakan publik di bidang pendidikan Islam atau dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan Islam adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan lingkungan hidup pendidikan secara moderat. Ensiklopedia menyebutkan bahwa kebijakan pendidikan berkenaan dengan kumpulan hukum atau aturan yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan, yang tercakup di dalamnya tujuan pendidikan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut.(JE.Hosio:2006:3).
Pada mulanya semua kebijakan yang akan diterapkan dalam suatu institut harus memiliki dasar atau hakikat. Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus,yakni;
Memiliki Tujuan Kebijakan pendidikan yang mana harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan;Memenuhi Aspek Legal Formal Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas prasyarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah;Memiliki Konsep Operasional Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai;Dibuat Pihak Berwenang Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan;Dapat Dievaluasi Kebijakan pendidikan itupun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif; Memiliki Sistematika Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya.” Inilah beberapa dasar untuk merumuskan sebuah kebijakan terutama dalam pendidikan Islam, dibalik semua harus bermuara pada dasar pendidikan Islam yaitu Alquran dan Hadits dengan beberapa aturan yang tercantum seperti yang tersebutkan di atas, jika tidak maka jalannya kebijakan tersebut tidak akan efektif dan efesien untuk memenuhi kebutuhan zaman.(Mohammad Emnis Anwar:2014:487).
Dengan evaluasi, maka suatu kegiatan dapat diketahui atau ditentukan tarap kemajuannya. Berhasil atau tidaknya pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap output yang dihasilkannya.
Menurut Abdul Mujib dkk mengungkapkan, bahwa untuk mengetahui pencapaian tujuan pembelajaran atau kompetensi yang diharapkan oleh peserta didik diperoleh melalui evaluasi. Dengan evaluasi, maka suatu kegiatan dapat diketahui atau ditentukan tarap kemajuannya. Berhasil atau tidaknya pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap output yang dihasilkannya. Dengan kata lain penilaian atau evaluasi digunakan sebagai alat untuk menentukan suatu tujuan pendidikan dicapai atau tidak. Sehinggas dapat dilihat sejauh mana hasil belajar siswa sudah mencapai tujuannya dengan kebijakan yang sudah diterapkan selama ini.
Dalam melaksanakan suatu program, sudah tentu dibutuhkan evaluasi. Begitu pula dalam proses perumusan kebijakan pendidikan. Setelah proses formulasi hingga pelaksanaan kebijakan, barulah dilakukan evaluasi kebijakan. Pengadaan evaluasi ini burfungsi untuk mengetahui seberapa jauh program yang telah dirumuskan dan dilaksanakan berjalan dan sebagai perbaikan untuk program yang selanjutnya. Evaluasi yang dilakukan dalam kebijakan pendidikan merupakan proses akhir dari seluruh langkah-langkah untuk merumuskan kebijakan.(Hasan Langgulung: 1989 : 120).
Dengan demikian evaluasi merupakan suatu kegiatan penilaian yang bertujuan untuk mengukur tingkat efektifitas kegiatan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karenanya, kegiatan evaluasi harus dilaksanakan melalui perencanaan, pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang berbagai hal menyangkut dengan suatu kebijakan. Dalam hal ini segala sesuatu yang diputuskan dan bersifat permanen dalam suatu kebijakan dalam pendidikan Islam yang akan terikat dan menjadi suatu rujukan dalam pendidikan Islam itu sendiri.
Dalam kamus bahasa Arab modern juga dikatakan,kata politik yang biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama ditemukan kata susyang berarti penuh kuman, kutu, atau rusak. Kata Syiyasah yang diartikan dengan politik tidak pernah digunakan di dalam Al-Qur’an.
Kata siyasah, menurut para pakar Bahasa Arab seperti Al-Makrizi,berasal dari bahasa Mongol yaitu yasa yang kemudian ditambah imbuhan sin dan menjadilah siyasah. Almakrizi menduga orang yang pertama kali memomulerkan kata al-yasa dalam arti politik ialah Genghis Khan setelah menguasai beberapa negeri Islam seperti dinasti al-Hawarizmi di Turkistan pada seperti al-Makrizi masa pemerintahan Sultan Alauddin Muhammad Khawarizem Syah. Namun, menurut Ibn Mukaffa, kata siyasah sudah dikenal di dalam syair-syair Arab yang digunakan untuk menggambarkan suasana sosial politik di suatu tempat. Pendapat sama dikemukakan alKhansa yang nama aslinya Tadamur binti Amru bin Tsarid Assullamy, seorang sastrawati Arab, dan dianggap sebagai orang pertama menggunakan kata siyasah untuk mengekspresikan kehidupan politik di masanya.
Dalam kamus Bahasa Arab, kata siyasah berasal dari akar kata sasa-yusasu-siyasah berati mengatur, melatih, memimpin atau memerintah. Dari akar kata yang sama membentuk kata sawisa berarti membusuk, rusak, atau rapuh. Hampir semua kata jadian yang bersumber dari akar kata ini berkonotasi negatif. Mungkin karena itu maka kata siyasah tidak pernah digunakan di dalam Al-Qur’an.
Di dalam hadis Nabi pernah terungkap sebuah kata tasusu berarti memimpin, sebagaimana disebutkan dalam hadis: Dari Furat al-Qazzaz, mengatakan: Aku mendengar Abu Hazim mengatakan: Aku duduk (belajar) lima tahun bersama Abu Hurairah, dan aku mendengarnya bercerita tentang Nabi. Nabi bersabda: Adalah kaum Bani Israil dipimpin/diperintah (tasusu) oleh seorang Nabi. Setiap kali Nabi meninggal maka digantikan Nabi lain, dan tidak ada lagi Nabi setelah aku (Muhammad); dan akan ada pemerintah (khalifah) yang jumlahnya banyak.(Narasudin Umar:2020).
Dalam Al-Quran juga tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al-Qur’an tidak menguraikan soal politik. Sekian banyak ulama Al-Qur’an yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai rujukan.
Bahkan Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan As-Siyasah Asy-Syar’iyah (Politik Keagamaan). Uraian Al-Quran tentang politik secara sepintas dapat di temukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukum. Kata ini pada mulanya berarti “menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan”. Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa yasusu sais siyasat, yang berarti mengemudi,mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.
Hukum dalam bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata “hukum” dalam bahasa Indonesia yang oleh kamus di nyatakan antara lain berarti “putusan”. Dalam bahasa Arab kata ini berbentuk kata jadian, yang bisa mengandung berbagai makna, bukan hanya bisa digunakan dalam arti “pelaku hukum” atau diperlakukan atasnya hukum, tetapi juga ia dapat berarti perbuatan dan sifat. Sebagai “perbuatan” kata hukum berarti membuat atau menjalankan putusan, dan sebagai sifat yang menunjuk kepada sesuatu yang diputuskan. Kata tersebut jika dipahami sebagai “membuat atau menjalankan keputusan”, maka tentu pembuatan dan upaya menjalankan itu, baru dapat tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya berlaku hukum tersebut ini menghasilkan upaya politik.
Kata siyasat sebagaimana dikemukakan di atas diartikan dengan politik dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat. Di sisi lain terdapat persamaan makna antara pengertian kata hikmat dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmat sebagai kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat.(M.Quraish Shihab:1996).
Ayat-Ayat Kebijakan Dalam Al-Quran
Pergulatan Al-Qur’an dengan realitas sosial merupakan salah satu bukti, bahwa Al-Qur’an betul-betul hadir dalam ranah sosial. Pada tahap inilah, upaya menghadirkan Al-Qur’an akan menemukan tantangan dan hambatan serius, karena Al-Qur’an tidak lagi sebagai wahyu yang tidak tersentuh, melainkan menjadi wahyu yang pelan-pelan mulai dicerna dan dipahami dengan pemikiran, bahkan kekuasaan. Wahyu menjadi instrumen yang determinan dalam ranah politik.Fakta ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an mau tidak mau akan terperangkap dalam pelukan otoritarianisme politik.
Menurut Abdurrahman Al-Kawakibi, otoritarianisme adalah penghambaan, perbudakan, penguasaan dan penghakiman. Menurut dia, otoritarianisme hampir terjadi dalam pembagai aspek kehidupan, antara lain agama, ilmu pengetahuan, harta, etika, pen- didikan dan lain-lain. Dalam hal ini, otoritarianisme dan agama akan menjadi pisau analisis. Sejauh mana otoritarianisme politik mampu memengaruhi upaya menghadirkan Al-Qur’an di tengah-tengah ruang publik.(Abdurrahman Al-Kawakibi:2003:51).
Sementara ini, menurut Al-Kawakibi, otoritarianisme politik pada umumnya lahir dari rahim otoritarianisme agama atau agama dan politik merupakan saudara kembar. Bapaknya adalah hegemoni dan ibunya adalah kekuasaan. Titik temu antara agama dan otoritarianisme politik makin tak terhindarkan karena kedua-duanya sama-sama menghakimi dan memutuskan sesuatu.
Dalam hal ini Imam Al-Ghazali mempunyai perkataan menarik: Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar. Agama sebagai fundamen, sedangkan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu yang tidak mempunyai “dasar” akan hancur, sedangkan yang tidak mempunyai “penjaga” akan hilang.(Imam Al-Ghajali:18).
Di sinilah pergulatan antara Al-Qur’an dan politik diindikasikan dapat melahirkan monster yang menakutkan, yaitu otoritarianisme. Salah satu sebabnya adalah munculnya upaya mengatasnamakan Tuhan sebagai salah satu penyangga kepentingan politik tertentu. Karena itu, menyelamatkan Al-Qur’an dari otoritarianisme politik merupakan salah satu tugas mulia yang mesti dilakukan secara kontinyu oleh para pengkaji dan pemerhati studi keislaman, sehingga Al-Qur’an betul-betul men- jadi kitab suci yang membawa kebenaran dan kebaikan di muka bumi.
Umat Islam pada umumnya sepakat, bahwa Al-Qur’an merupakan pedoman hidup dan salah satu solusi bagi kebuntuan modernitas. Tetapi pernyataan tersebut akan menjadi masalah besar apabila tidak disertai spirit pembebasan dari otoritarianisme politik. Oleh karena itu, diperlukan pembelajaran yang cermat atas latar historis pergulatan Al-Qur’an dan politik sejak pada zaman Nabi hingga fakta-fakta yang paling mutakhir.
Nabi Muhammad saw. menggunakan Al-Qur’an sebagai barometer bagi pengambilan kebijakan strategis. Jadi, yang terjadi adalah wahyu yang satu menafsirkan wahyu yang lain, baik melalui kesesuaian antara ayat yang satu dengan yang lain maupun merujuk pada ayat yang diturunkan belakangan. Rasulullah saw. menyampaikan ayat-ayat kepada umatnya sebagaimana diturunkan oleh Tuhan melalui Malaikat Jibril. Al- Qur’an justru dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam memecahkan persoalan yang paling pelik, utamanya hal-hal yang berkaitan dengan ritual dan pilar-pilar utama, seperti rukun iman dan rukun Islam. Rasulullah saw. meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan pesan yang membawa nilai-nilai kebaikan dan kebajikan dalam rangka melakukan perubahan. Karena itu, setiap ada persoalan, Rasulullah saw. dipandu langsung oleh Al-Qur’an. Dalam sebuah hadis, Siti Aisyah menyatakan, Akhlak Rasulullah saw. adalah Al-Qur’an (H.R. Ahmad).
Pada waktu itu, Al-Qur’an sangat membantu kepemimpinan Rasulullah saw. untuk membangun sebuah masyarakat baru yang menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, kedamaian dan keragaman, terutama pada periode Madinah. Pada periode ini, Rasulullah saw.sangat membutuhkan Al-Qur’an sebagai petunjuk dalam memecahkan masalah keumatan. Al-Qur’an telah menemani dan menyertai Rasulullah saw. selama kurang lebih 22 tahun hingga 23 tahun sebagai pedoman politik dan ke masyarakatan.
Kebijakan Dalam Pendidikan Islam
Foto Dokumentasi Mas Andre Hariyanto Suara Utama ID, happy Milad KE 30 Tahun
Perihal pentingnya Al-Qur’an bagi Rasulullah saw. juga dibalas oleh Al-Qur’an dengan sanjungan yang berbunyi;
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”(Q.S.: Al-Qalam [68], 4).
Bila upaya-upaya ini dilakukan dengan saksama, maka umat Islam akan mampu menjadikan Al-Qur’an sebagai etika sosial. Tugas umat Islam di tengah globalisasi dan modernisasi, yaitu berupaya sekuat tenaga dan pikiran untuk menghadirkan Al-Qur’an sebagai bagian dari upaya bangkit dari keterpurukan, keterbelakangan dan kemiskinan yang melanda hampir di sebagian dunia Islam sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
لَهُۥ مُعَقِّبَٰتٌ مِّنۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِۦ يَحْفَظُونَهُۥ مِنْ أَمْرِ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوسُوٓءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥ ۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍْمٍ
Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”(Q.S.: Ar-Ra’d [13], 11 ).
Dalam ayat lain juga disebutkan;
ذٰلِكَ بِاَنَّ اللّٰهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً اَنْعَمَهَا عَلٰى قَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۙ وَاَنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌۙ
Artinya;”Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”(QS. Al-Anfal [8],53).
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْن
Artinya: “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk”.(Q.S.An-Nahal,125).
وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُۥ لَهَمَّت طَّآئِفَةٌ مِّنْهُمْ أَن يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمْ ۖ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِن شَىْءٍ ۚ وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمً
Artinya: “Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”.(Q.S. An-Nisa,113).
Makna Kebijakan Dalam Al-Quran
Makna kebijakan dalam perspektif kamus bahasa Indonesia merupakan akar kata dari bijak yang mempunyai dua makna yaitu selalu menggunakan akal budinya, makna tersebut memiliki kemiripan dengan kata pandai atau mahir, dan pandai bercakap-cakap. Kedua makna tersebut sama-sama erat kaitanya dengan potensi yang dimiliki oleh manusia jika pandai atau mahir dominan ada pada kecerdasan akal dan ahli bercakap-cakap dominan ada pada kemampuan lisan dalam mengelola dan mengatur kata kata sehingga nyaman didengar orang lain.
Kata bijak dapat dipadukan menjadi kemampuan seseorang dalam menggunakan akal dan lisannya secara proporsional. Sedangkan pada skala yang lebih umum kata kebijakan dapat dimaknai sebagai pernyataan cita- cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk mencapai sasaran atau garis haluan.(Sugono, 2008:35).
Pada pernyataan tersebut terdapat beberapa aspek penting yang melandasi lahirnya kebijakan diantaranya yaitu adanya cita-cita, adanya tujuan, adanya prinsip, yang kesemunya dapat dijadikan sebagai pedoman (guidance) dalam mencapai sasaran yang diinginkan demi kemaslahatan bersama dalam kerangka kesadaran secara penuh oleh semua pihak yang terkait.Mewujudkan cita-cita, tujuan, dan prinsip dalam kehidupan akan terasa mudah apabila menggunakan sarana kebijakan baik yang bersumber dari perorangan atau individual maupun kebijakan bersama atau kolektif.
Walaupun kebijakan secara kolektif akan lebih mudah terealisasi dari pada kebijakan individual sebab pada umumnya kebijakan tersebut terstruktur dan penerapannya melalui intansi resmi serta lebih dominan menyentuh isu-isu sentral tentang kebutuhan orang banyak diantaranya adalah kebutuhan dalam bidang pendidikan.
Terkait pernyataan di atas, Galey menyimpulkan “It involves the increasing dominance of institutions like the national and state governments that take responsibility for a wide spectrum of public policy issues, such as health, transportation, housing, parks, criminal justice, and education “.
Kebijakan Dalam Pendidikan Islam
Foto Dokumentasi Suhardi, Seri Ulandari, Wildan Sari, Ahmad Yunan Sinambela Kebijakan Dalam Pendidikan Islam
Kebijakan kolektif dan terstruktur melibatkan dominasi institusi seperti pemerintah nasional dan negara bagian yang bertanggung jawab atas spektrum isu kebijakan publik yang luas, seperti kesehatan, transportasi, perumahan, taman, peradilan pidana, dan pendidikan.
Kebijakan kolektif menurut pendapat Galey di atas, dapat dipahami bahwa institusionalisasi kebijakan secara resmi akan meningkatkan kepedulian dan tanggung jawab pemerintah terhadap kebijakan umum yang sudah ditetapkan karena obyek kebijakan tersebut erat kaitannya dengan komunitas masyarakat (communitas based) serta dapat menjangkau dan memenuhi kebutuhan hidup bersama secara umum berupa layanan kesehatan, transportasi, perumahan, lahan parkir, tindakan kriminal, dan pendidikan.(Galey:2015:36).
Pemaknaan yang lain terhadap kebijakan, juga dikemukakan oleh Wahab yaitu suatu tindakan yang mengarah pada tujuseorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan suatu masalah atau persolan tertentu. Pada aspek ini, dapat diinterpretasikan bahwa pembahasan isu kebijakan sarat dengan unsur-unsur tertentu. Adapun unsur-unsur penting berdasarkan pendapat Wahab ini adalah kebijakan senantiasa dibarengi dengan tindakan-tindakan nyata dan terukur, indikasi kebijakan yang terukur dapat dilihat pada konsistensinya terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan tidak melenceng darinya, adanya para aktor kebijakan yang senantiasa mengawasi dan memonitoring jalannya suatu kebijakan sehingga tujuan yang hendak dicapai mudah terealisasi, dan masalah-masalah dalam kehidupan menjadi penyebab utama lahirnya kebijakan, hal ini sangat relevan dengan pandangan para rasionalis yang termasuk salah satu dari sekian banyak model-model kebijakan yang dikembangkan oleh para ahli.(Wahab:2016:37).
Selain kebijakan politik kita tentu juga sudah mengenal tentang apa yang disebut dengan kebijakan publik. Kebijakan publik dapat dikatakan sebagai segala sesuatu yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan ataupun tidak dilakukan. Sehingga dalam pengertian tersebut, kebijakan publik ini menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan perwujudan atau pun tindakan yang dipilih atau dilakukan oleh pemerintah terhadap publik atau masyarakatny (Dye, 1978).
Pengertian lain menyebutkan bahwa kebijakan adalah segala sesuatu yang dibuat serta ditetapkan oleh seseorang yang posisinya lebih tinggi agar ketetapan tersebut dilakukan ataupun tidak dilakukan oleh orang yang posisinya lebih rendah.
Tentunya sebagai masyarakat dan warga negara, kita tentu harus mematuhi kebijakan yang telah diputuskan oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT QS. An-Nisa ayat 59 yang artinya;”Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik.”
Kesimpulan
Kebijakan pendidikan dirumuskan secara hati-hati lebih-lebih menyangkut persoalan krusial atau persoalan makro, maka hampir dapat dipastikan perumusan kebijakan pendidikan tersebut dilandasi oleh suatu paham teori tertentu. Dalam proses perumusanya, para pemegang kewenangan pengambilan kebijakan terlebih dahulu telah mempertimbangkan secara matang, baik secara rasionalitas, proses, nilai, serta efek samping yang bakal terjadi. Suatu kebijakan akan sangat mempengaruhi jalannya suatu pogram baik jangka panjang maupun jangka pendek, oleh karenanya sebuah kebijakan akan sangat penting untuk mencapai nilai atau capaian yang hendak di capai oleh suatu individu maupun kelompok. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi dan perlu dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan pendidikan Islam, hal ini melihat pada urgennya kebijakan dalam pendidikan demi menyelamatkan generasi bangsa ke depan.