Oleh : Muhammad Taufik., SE
Dewan Pengawas Koperasi Syariah Kabupaten Agam Sumatera Barat
SUARA UTAMA, AGAM – Puasa adalah ibadah yang dapat menempa seseorang untuk mengajarkan kedamaian, mepedulian,kerukunan, dan senantiasa ingat kepada Allah. Sebab saat orang melaksanakan ibadah puasa dapat melatih ketulusan dan kejujuran sehingga terpancar di wajah dan tingkah lakunya, Puasa dapat memberi rasa aman karena menyerahkan kehidupannya kepada Allah Swt, mengasah kepedulian karena rasa lapar dan haus yang dirasakannya, membangun kebersamaan sehingga terasa kerukunan dalam kebersamaan, berbahagialah dengan kewajiban ibadah puasa karena mengantarkan hidup manusia aman dan damai, baik di dunia maupun akhirat.
Secara bahasa, ibadah berarti “merendahkan diri” atau “tunduk”. Adapun definisi secara syar’i, yang paling bagus adalah definisi yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, yaitu “suatu istilah yang mencakup semua perkara yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang lahir maupun yang batin.” (Majmu’ Al-Fataawa, 10: 149) contoh Ibadah (amal) lahiriyah adalah salat, puasa, zakat, dan menunaikan nazar.
Dalam sebuah perenungan sederhana, kadang saya ( Katakanlah secara umum itu Kita ) bertanya dalam hati, siapa sebenarnya diri kita?
Dalam persoalan sehari-hari terutama menyangkut pekerjaan dan kehormatan di luar bawah sadar sering kita berkata, saya adalah orang terhormat, saya adalah pimpinan perusahaan, bos dikantor, Saya Menejer, Direktur, politisi senior, saya ini dan itu, begitu juga dalam bidang pendidikan dengan membanding-bandingkan, saya lebih pintar, lebih luas pemahaman dan pengalaman, saya tamat S2, tamat S3 Doktor bahkan Profesor,,Tapi pernahkah kita bertanya dalam batin kita tentang kebesaranNya ?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika pertanyaan itu diajukan dalam ranah spiritual, maka saya bisa memastikan tidak ada yang mampu mendefinisikannya dengan sempurna. Kenapa? iya, siapa yang bisa menjawab bagaimana tingkat ketakwaannya?, siapa pula yang mampu memastikan kualitas imannya. Yang ada hanya perasaan saja, bahwa tataran tingkat keimanan mereka telah melampaui rata-rata, perasaannya merekalah yang paling agamis, paling taat dan paling bertakwa pada Allah SWT, menurut saya..itu nonsens, ( mereka yang berfikir seperti itu sedang berusaha menghibur diri, sadar tapi tak menyadari bahwa kadang –kadang mereka membaca diri seperti melihat dan menonton di laptop yang miring, tahu jalan ceritanya tapi tak benar cara melihatnya.
Karena takwa dan iman adalah unsur spiritual yang tidak akan pernah bisa diketahui dan diukur dengan instrumen fisik atau matematis, bahkan ketika secara iseng saya Tanya kepada seorang teman yang pakar dalam bidang Statistik bisa tidak mengukur secara grafik tingkat keimanan seseorang, beliau menjawab bahwa pesoalan itu tidak ada kepastiannya, yang ada hanya tanda-tanda-tandanya ( Masya Allah ), jadi yang pastinya bagaimana? Wallahu’alam, Lain halnya dengan definisi fisik pada diri seseorang akan sangat mudah, seperti berapa tinggi dan berat badannya, berapa kekayaannya, apa jabatannya, dan lain-lain.
BACA JUGA : Suara Utama Ganti Domain, Ini Kata Pimred Media Suara Utama ID
Untuk mendefisikan tentang diri, hal yang bisa kita lakukan adalah bagaimana kita menemukan hakikat kedirian itu sendiri? Dalam sebuah hadis yang sangat terkenal: “man „arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu” (barang siapa yang memahami hakikat dirinya, maka dia akan memahami Tuhan-Nya). Poin penting dari hadis tersebut adalah bahwa “pemahaman diri” menjadi pintu utama untuk memahami Tuhannya.
Orang yang hidup di gunung merindukan suasana pantai dan demikian sebaliknya, saat musim hujan merindukan panas demikian sebaliknya, orang yang bepergian merindukan rumah dan orang yang di rumah ingin bepergian, dan orang yang di tempat sepi ingin suasana ramai demikian juga sebaliknya. Itulah kehidupan, acapkali memandang indah kepada yang tidak dimiliki sehingga terasa kurang bahagia dan bahkan menyedihkan dengan apa yang dimilikinya.
Hidup adalah anugerah bagi orang yang ikhlas dan kebahagiaan bagi orang yang bersyukur. Munculnya rasa syukur karena mengerti akan adanya nikmat yang telah didapatkan, dan mengetahui bahwa semua anugerah dalam kehidupan manusia adalah nikmat. Seperti oksigen yang dihirup setiap saat secara gratis, kesehatan, akal, kemampuan, pendengaran, penglihatan, berbicara, aliran darah yang mengalir di tubuh, dan keluarga adalah nikmat dari Allah Swt.
Diantara hikmah disyariatkan puasa ialah menajamkan pengetahuan terhadap nikmat Allah Swt yang seringkali dilupakan karena selalu lekat dalam dirinya. Sebab saat sedang berpuasa, seseorang dapat merasakan hilangnya nikmat makan, minum dan syahwat dalam waktu tertentu. Melalui puasa dapat merasakan penderitaan orang fakir dan orang miskin yang tidak mendapat nikmat dalam waktu yang tidak diketahui sampai kapan ia akan mendapatkannya. Biasanya nikmat dapat diketahui dan lebih terasa ketika sudah hilang dari dirinya.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Kimia‟ al-Sa‟ȃdah, menggambarkan manusia terdiri dari tiga sifat.
Pertama, sifat bahimiyah (kebinatangan). Binatang memiliki tugas hidup, makan, minum, tidur,berhubungan seks dengan lawan jenisnya, bertengkar dengan sesamanya, dan lain-lain. Jika keseharian kita hanya mampu melakukan seperti sifat yang dimiliki oleh binatang, maka hidup ini persis seperti binatang. Tidak memiliki makna apapun kecuali hanya kesenangan material.
Kedua, sifat syaithȃniyah (setan). Setan memiliki pekerjaan sehari-hari dengan menipu, dusta, fitnah, mengadu domba, hasad, dan lain-lain. Jika dibandingkan dengan kebiasaan binatang yang bersifat fisik, setan bermain pada wilayah perilaku abstrak non-fisik. Pertanyaan kemudian muncul, apakah kita selama ini telah melakukan atau bahkan membiasakan diri seperti perilaku-perilaku itu?, jika iya , maka kita bisa disebut sebagai orang yang berperilaku seperti setan.
Ketiga, sifat malakutiyah (malaikat). Malaikat adalah makhluk Allah yang paling taat. Malaikat adalah makhluk spiritual, makhluk yang terbuat dari unsur-unsur kebaikan. Maka ketika manusia mampu bersikap dan berperilaku seperti layaknya malaikat, maka akan terpancar dalam hidupnya sebagai orang yang memiliki cahaya kebaikan dan spiritual yang tinggi.
Setelah kita memahami gambaran diri tersebut,muncul pertanyaan, kita masuk kategori manusia yang mana? Dominan sifat kebinatangan kah? Dominan sifat setan kah? Dominan sifat malaikat kah? Atau campuran dari ketiganya? Oleh karena itu, sebagai makhluk Tuhan yang
dikarunia tiga kekuatan daya jiwa, yaitu akal, hati, dan nafsu mari kita jadikan sebagai modal penting untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Jika kita mampu memahami hakikat diri kita, bagaimana kita mampu mengendalikan kehendak nafsu yang cenderung pada unsur-unsur material (kejahatan atau kemaksiatan), maka kita akan menjadi diri yang bersih, suci, dan mampu teraktualisasi dalam sikap dan perilaku terpuji.
Oleh karena itu sekarang mumpung kita lagi dalam bulan puasa ramadhan mari kita uji dan pertahankan hakikat kita sebagai makhluk Allah yang sempurna , karena Puasa adalah sarana dan latihan untuk memaksimalkan fungsi kemanusiaan. Saat berpuasa berarti manusia telah menjaga martabatnya dari perbuatan hina di mata Allah Swt dan menjaga hubungan baik dan peduli dengan sesama. Puasa dapat menajaga keremajaan organ tubuh manusia dengan mengontrol pola makan, minum dan syahwat sehingga dapat mengembalikan kekuatan tubuh dan memaksimalkan fungsi biologisnya. Peremajaan biologis dengan terapi puasa benar-benar telah memaksimalkan fungsi kita sebagai manusia.
Ketika saat ini kita telah melakukan ibadah puasa maka empati dan simpati kita harus kita asah sehingga dapat merevitalisasi jiwa kepedulian dan rasa sosial yang tinggi, Hidup menurut pandangan Islam adalah kebermaknaan dalam kualitas secara berkesinambungan dari kehidupan dunia sampai akhirat. Dalam pandangan Islam, hidup seseorang diukur dengan seberapa besar ia melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai manusia hidup yang telah diatur dalam Islam. Ada dan tiadanya seseorang dalam Islam ditakar dengan seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh umat dengan kehadiran dirinya ( Kemaslahatan yang ditimbulkannya ). Mudah-mudahan bermanfaat.
Wassalam