SUARA UTAMA – Tahun 2024 bisa dibilang sebagai tahun politik yang besar bagi Indonesia. Pada tahun ini, kita menyelenggarakan dua pesta demokrasi sekaligus: Pemilihan Umum (Pemilu) yang meliputi Pemilihan Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada tanggal 14 Februari 2024 lalu, serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota pada tanggal 27 November 2024 nanti. Ini menjadi momen penting bagi bangsa untuk menegakkan prinsip demokrasi dan keterlibatan warga negara dalam menentukan masa depan bangsa.
Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, muncul pula tantangan besar yang harus dihadapi. Budaya hujat-menghujat, penyebaran fitnah, dan maraknya hoaks semakin mengganggu proses demokrasi yang sehat. Fenomena ini tidak hanya terjadi di dunia maya, tetapi juga meluas dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan, dugaan praktik politik uang dan intimidasi terhadap pemilih semakin mencoreng semangat demokrasi yang seharusnya berjalan jujur, adil, dan bermartabat.
Pengaruh Hoaks Terhadap Pemilih Pemula
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak bisa dipungkiri, hoaks dan ujaran kebencian memiliki pengaruh yang sangat besar, terutama bagi pemilih pemula dan mereka yang masih awam terhadap politik. Berbagai kabar bohong ini sering kali memicu fanatisme negatif, kebencian, dan permusuhan, yang akhirnya merusak keharmonisan di tengah masyarakat. Ironisnya, fenomena ini terjadi karena banyak calon atau peserta pemilihan tidak sepenuhnya berkomitmen untuk memerangi hoaks. Himbauan yang diberikan kepada tim sukses, pendukung, dan simpatisan sering kali terkesan hanya sebagai formalitas tanpa tindakan nyata.
Jika kita merujuk pada aturan yang berlaku, seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, seharusnya para peserta pemilihan dan pendukungnya dapat menjalankan pesta demokrasi ini sesuai prosedur yang aman dan damai. Bahkan, jika hoaks dan ujaran kebencian masih tetap merebak, terdapat regulasi lain yang bisa digunakan, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), terutama pasal 27, atau bahkan pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang penyebaran berita bohong.
Dampak Sosial yang Merugikan
Sebenarnya, tidak perlu sampai pada sanksi pidana atau denda jika kita semua dapat menyadari bahwa tindakan menyebarkan hoaks dan kebencian akan menimbulkan dampak sosial yang buruk. Hubungan di lingkungan, persahabatan, bahkan keluarga bisa menjadi renggang hanya karena perbedaan pilihan politik. Padahal, politik adalah bagian dari kehidupan yang sifatnya sementara. Ketika pemilihan usai, yang tersisa hanyalah penyesalan karena hubungan yang sudah rusak, janji-janji yang tidak ditepati, dan rasa kecewa yang mendalam karena para politisi sering kali melupakan mereka yang pernah mendukung.
Berpolitik dengan Bijak
Oleh karena itu, mari kita belajar lebih dewasa dalam berpolitik. Hindari tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Jika ada ketidakpuasan terhadap lawan politik atau proses penyelenggaraan pemilihan, salurkan dengan cara yang benar melalui mekanisme yang sudah ditetapkan. Laporkan kepada penyelenggara atau pihak berwenang, bukan melalui tindakan anarkis atau penyebaran fitnah.
Dan tentunya ini menjadi tantangan yang akan selalu ada di setiap pemilihan yang harus di hadapi dan di selesaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara hajat, dan pengawas pemilihan yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang terdiri dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kepolisian (Polri), Kejaksaan.
Selamat berdemokrasi kepada seluruh provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia yang akan melaksanakan Pilkada 2024. Semoga proses ini dapat berjalan dengan aman, lancar, dan damai. Ingat, demokrasi bukan hanya tentang menang atau kalah, tetapi tentang menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Tunjukkan bahwa kita semua bisa berpolitik secara bijak dan bermartabat.