SUARA UTAMA — Surabaya, 1 Desember 2025
Oleh: Eko Wahyu Pramono, S.Ak
Baruch de Spinoza mungkin bukan nama yang sering muncul di ruang-ruang diskusi populer, tetapi jejak pemikirannya menjadi salah satu yang paling berpengaruh sekaligus kontroversial dalam sejarah filsafat. Pada tahun 1656, komunitas Yahudi di Amsterdam secara resmi mengucilkannya melalui suatu bentuk kutukan religius paling keras yang mereka miliki. Buku-bukunya dibakar, namanya dicap berbahaya, dan Gereja Katolik melarang karya-karyanya beredar.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dosa intelektual Spinoza hanya satu: ia terlalu jujur pada hasil pikirannya sendiri.
Tuhan Bukan Sosok di Takhta Surga, Melainkan Alam Itu Sendiri
Di tengah zaman ketika agama menjadi pusat tatanan sosial dan politik, Spinoza mengajukan gagasan radikal: Tuhan bukan sosok personal yang duduk di surga, mengatur manusia dari kejauhan. Bagi Spinoza, Tuhan adalah alam semesta itu sendiri.
Ia merumuskan konsep Deus sive Natura — Tuhan atau Alam. Bukan “Tuhan menciptakan alam”, tetapi “Tuhan itu alam”. Setiap daun yang jatuh, gelombang laut yang bergerak, hingga detak jantung manusia, bagi Spinoza, bukan sekadar fenomena fisik, tetapi manifestasi dari Tuhan yang sedang bekerja.
Spinoza menyatakan hanya ada satu substansi di seluruh realitas. Batu, pohon, hewan, manusia, bahkan virus, hanyalah berbagai modus atau cara substansi tunggal itu mengekspresikan diri. Di titik inilah banyak kalangan kemudian menilai Spinoza sebagai penganut panteisme: melihat Tuhan hadir di dalam segala sesuatu, bukan di luar dan terpisah dari semuanya.
Kebebasan Berkehendak: Hanya Ilusi di Tengah Rangkaian Sebab Akibat
Pemikiran Spinoza tidak berhenti di teologi. Ia juga mengguncang cara kita memahami kehendak bebas (free will). Menurutnya, manusia sebenarnya tidak pernah benar-benar bebas. Setiap tindakan ditentukan oleh rangkaian sebab-akibat yang sangat panjang.
Memilih makan nasi goreng semalam, misalnya, bukan sekadar “keinginan bebas”. Keputusan itu, dalam kacamata Spinoza, ditentukan oleh:
- Rasa lapar yang muncul (dipengaruhi kapan terakhir kali makan),
- Ingatan rasa nasi goreng di masa lalu,
- Kondisi keuangan yang menentukan pilihan menu,
- Mood yang terbentuk dari interaksi sepanjang hari,
dan seterusnya, mundur ke belakang, sampai ke kondisi-kondisi yang pada akhirnya bersambung ke awal mula alam semesta.
Spinoza menggambarkan manusia layaknya batu yang sedang jatuh, tetapi merasa seolah-olah ia memilih untuk jatuh. Kita merasa bebas hanya karena tidak menyadari seluruh sebab yang menggerakkan tindakan kita.
Jiwa dan Raga: Bukan Dua Dunia yang Terpisah
Di tengah tradisi yang memisahkan “jiwa” dan “tubuh” secara tajam, Spinoza kembali tampil berseberangan. Ia menolak gagasan bahwa jiwa adalah entitas terpisah yang melayang di atas realitas fisik.
Bagi Spinoza, pikiran dan tubuh adalah satu kesatuan, dua sisi dari koin yang sama. Emosi, cinta, sedih, marah, bukan gejolak “jiwa” dalam pengertian mistis, tetapi aktivitas fisik tubuh yang dapat dijelaskan melalui perubahan kimia di otak dan respon biologis lainnya.
Jika ingin mengubah perasaan, kata Spinoza, ubahlah kondisi fisik:
- Olahraga untuk mengurangi stres,
- Pola makan yang baik untuk menjaga kestabilan mood,
- Pola hidup yang lebih sehat agar pikiran ikut cerah.
Ratusan tahun kemudian, neurosains modern menemukan banyak hal yang sejalan dengan intuisi filosofis Spinoza ini. Penelitian pemindaian otak (brain imaging) dan studi fungsi neural menunjukkan hubungan erat antara kondisi otak, hormon, dan emosi sesuatu yang sudah disimpulkan Spinoza hanya dengan logika dan observasi rasional.
Kritik Keras: Jika Semua Sudah Ditentukan, Di Mana Keadilan?
Pemikiran Spinoza tentu tidak lepas dari kritik. Pertanyaan paling tajam datang dari wilayah moral dan hukum:
Jika semua tindakan manusia hanyalah hasil rangkaian sebab-akibat yang tak terhindarkan, bagaimana dengan konsep dosa, pahala, keadilan, dan tanggung jawab?
Apakah mungkin kita mengatakan kepada seorang koruptor, “Memang sudah takdirmu korupsi, jadi tidak apa-apa?” Atau kepada seorang pembunuh, “Tenang, kamu tidak punya pilihan lain?”
Dari perspektif masyarakat dan sistem hukum, pandangan ekstrem semacam itu jelas berbahaya. Sistem hukum dibangun atas asumsi bahwa manusia memiliki kapasitas memilih, sehingga bisa dimintai pertanggungjawaban. Dalam tradisi keagamaan, dosa dan pahala juga disandarkan pada kemampuan manusia untuk memilih yang benar atau yang salah.
Karena itu, banyak pengkritik menilai pandangan Spinoza berpotensi membuat konsep keadilan menjadi tidak bermakna, jika diterapkan secara mentah-mentah dalam praktik sosial.
Neurosains, Eksperimen Lebet, dan Relevansi di Era Krisis Mental
Menariknya, sains modern memberi warna baru dalam membaca Spinoza. Eksperimen terkenal yang dilakukan Benjamin Libet menunjukkan bahwa aktivitas otak yang menentukan suatu gerakan muncul beberapa ratus milidetik sebelum seseorang merasa memutuskan untuk bergerak. Temuan semacam ini sering dipakai untuk mendukung pandangan bahwa free will tidak sesederhana yang selama ini kita bayangkan.
Di tengah krisis kesehatan mental yang melanda banyak negara, pemikiran Spinoza justru menghadirkan dimensi lain yang bersifat terapetik. Alih-alih terus menyalahkan diri sendiri karena kecemasan atau depresi, pendekatan Spinoza mengajak kita:
- memahami sebab-sebab di balik kondisi mental,
- bekerja selaras dengan “natur” diri dan lingkungan,
- menerima keterbatasan tanpa terjerumus pada rasa bersalah berlebihan.
Dalam konteks krisis lingkungan, cara pandang Spinoza yang melihat manusia sebagai bagian dari satu kesatuan ekologis besar bukan penguasa yang berdiri di luar alam juga menjadi sangat relevan. Alam bukan sekadar objek eksploitasi, melainkan “ruang ilahi” yang kita tinggali dan harus kita jaga.
Menimbang Spinoza: Antara Bahaya Praktis dan Kedalaman Logika
Membaca Spinoza berarti memasuki wilayah yang mengganggu kenyamanan banyak asumsi yang selama ini kita anggap pasti. Di satu sisi, logikanya tampak konsisten: alam sebagai satu substansi, manusia sebagai bagian dari jaringan kausal yang rumit, emosi sebagai fenomena fisik.
Di sisi lain, penerapan praktis dari pandangannya menimbulkan pertanyaan serius bagi sistem moral, hukum, dan agama. Apalagi dalam masyarakat yang masih sangat menjunjung tinggi konsep kehendak bebas, tanggung jawab, dan pertanggungjawaban di hadapan hukum maupun di hadapan Tuhan.
Namun, di balik semua kontroversi itu, warisan Spinoza mengingatkan kita bahwa keberanian berpikir sekalipun berisiko dikucilkan adalah bagian penting dari kemajuan peradaban. Ia mungkin telah diusir dari komunitasnya sendiri, tetapi gagasannya justru terus hidup, diuji, dikritik, dan dikembangkan hingga hari ini.
Di era ketika sains, agama, dan filsafat kembali mencari titik temu, Spinoza tetap menjadi sosok yang layak dibaca ulang: bukan untuk diikuti secara buta, tetapi untuk dijadikan cermin dalam memahami manusia, alam, dan Tuhan sekaligus untuk menguji seberapa jujur kita terhadap hasil pemikiran kita sendiri.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














