SUARA UTAMA, Kita bisa saja menyebutnya “fenomena”, seolah ini sekadar peristiwa yang muncul sesekali. Namun, ketika daftar anggota DPR yang terjerat korupsi kian panjang dan pola penyelewengan semakin berulang, sejujurnya kita sedang berbicara tentang realitas pahit: politik kita telah terjangkit penyakit kronis yang sulit sembuh.
Dana program sosial Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seharusnya menjadi vitamin bagi rakyat kecil: membiayai beasiswa, menopang UMKM, membina literasi keuangan. Tetapi dalam kasus ini, justru menjadi santapan empuk bagi mereka yang duduk di kursi kehormatan legislatif. Ironis — dana yang lahir dari mandat menjaga stabilitas ekonomi, malah diduga menjadi “dana talangan” moral para elite.
Sistem yang Memberi Ruang
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Masalahnya bukan hanya pada individu yang tamak, tetapi pada sistem yang memberi ruang. Mekanisme penyaluran dana sosial yang melewati jalur politik tanpa pengawasan ketat ibarat menaruh gula di tengah semut. Selama jalur itu tetap ada, kita tak bisa heran bila tangan-tangan rakus akan selalu datang.
Menurut Dr. Lili Romli, analis politik, “Kita menghadapi kegagalan struktural. Pencegahan tidak berjalan, pengawasan internal lemah, dan sanksi sosial terhadap politisi korup hampir tak ada.” Pendapat ini bukan hiperbola. Pemilu demi pemilu, kita melihat politisi yang pernah terjerat kasus hukum masih punya peluang duduk kembali di kursi parlemen, berkat modal besar dan jejaring politik.
Kritik dari Media dan Publik
Kasus ini tak hanya menjadi berita hukum, tetapi juga bahan editorial pedas media nasional. Tempo dalam tajuk rencananya menulis:
“Dana sosial yang semestinya menopang rakyat kecil, kini diduga menjadi bancakan wakil rakyat. Ketika uang rakyat menjadi bancakan politik, yang rusak bukan hanya keuangan negara, tetapi juga kepercayaan publik terhadap demokrasi. Parlemen seharusnya menjadi penjaga moral politik, bukan pasar gelap transaksi kekuasaan.”
Nada serupa datang dari Harian Kompas, yang menyebut kasus ini sebagai “penghisapan ganda”: rakyat kehilangan haknya, lalu harus membayar mahal melalui kemerosotan integritas pejabat publik.
Di ruang digital, reaksi publik bahkan lebih tajam. Tagar #KorupsiDanaSosial, #DPRRusak, dan #ParlemenBauBusuk beredar luas di X (Twitter). Banyak warganet membandingkan kondisi ini dengan “sindrom kebal hukum” yang kerap melindungi elite politik.
Aktivis antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menyatakan, “Kasus ini membuktikan bahwa korupsi bukan lagi penyimpangan insidental, tetapi sudah menjadi pola. Apalagi, ketika yang dicuri adalah dana sosial — artinya mereka merampok orang miskin dua kali: pertama saat rakyat kehilangan hak, kedua saat mereka kehilangan harapan.”
Di mata publik, KPK mungkin berhasil menangkap pelaku, tetapi pertanyaan mendasarnya tetap sama: mengapa sistem tetap membiarkan jalan menuju penyelewengan ini terbuka lebar?
Pembenahan yang Tak Kunjung Tiba
KPK memang menegaskan “tidak pandang bulu” dalam penindakan. Tapi publik mulai lelah dengan pola yang sama: penangkapan, sidang, vonis, lalu sunyi. Tak ada reformasi regulasi yang memutus akar masalah. Tak ada revisi mekanisme penyaluran dana publik yang meminimalkan intervensi politisi.
Di sinilah tanggung jawab moral DPR sebagai lembaga. Bukan sekadar menyingkirkan dua anggota yang terseret kasus, tetapi juga membersihkan rumahnya sendiri. Namun, apakah DPR siap menjadi algojo bagi anggotanya sendiri? Atau justru memilih hening dalam solidaritas diam yang menyesakkan?
Kemarahan yang Tertahan
Di luar gedung parlemen, kemarahan rakyat mendidih. Media sosial menggema dengan tagar #KorupsiDanaSosial dan #DPRRusak. Tapi kita tahu, kemarahan publik sering menguap seiring siklus berita. Sementara itu, “realitas pahit” ini tetap menetap — menjadi bagian dari keseharian politik Indonesia.
Menutup Jalan Rasuah
Solusinya jelas, meski tidak populer bagi politisi:
- Putus jalur penyaluran dana sosial melalui anggota DPR. Salurkan lewat lembaga independen yang diaudit ketat.
- Perketat aturan etik DPR dengan sanksi politik yang nyata, termasuk larangan seumur hidup bagi politisi yang terbukti korup.
- Perkuat keterlibatan publik dalam mengawasi penggunaan dana sosial, dengan transparansi real-time yang mudah diakses.
Penutup : Selama akar masalah dibiarkan, kita akan terus menulis berita seperti ini — hanya nama tersangka yang berganti. Maka, mari kita berhenti menyebutnya “fenomena”. Ini adalah realitas pahit, dan kita punya pilihan: membiarkannya jadi tradisi gelap politik, atau memutus rantai busuk ini sekarang juga.














