Badak Jawa di Ujung Kulon: Antara Pelestarian Nyata dan Bayang-Bayang Proyek Bernilai Ratusan Miliar?

- Penulis

Kamis, 27 November 2025 - 18:16 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Opini

SUARA UTAMA, Pandeglang- 27/11/2025, Badak Jawa atau Rhinoceros sondaicus telah lama menjadi ikon peradaban masyarakat Banten, terutama warga Pandeglang. Bagi masyarakat, hewan ini bukan sekadar satwa endemik, tetapi simbol historis, spiritual, dan kultural yang melekat kuat dalam ingatan kolektif. Taman Nasional Ujung Kulon pun dipandang bukan sekadar kawasan konservasi, tetapi ruang sakral yang memiliki nilai mistis, religius, dan historis yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat setempat.

Karena itu, munculnya program Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) di Taman Nasional Ujung Kulon memantik perhatian serius publik. Program yang membawa nilai anggaran publik yang sangat besar, bahkan disebut mencapai ratusan miliar rupiah, menimbulkan tanda tanya besar dari masyarakat, apakah langkah ini murni untuk pelestarian, atau terdapat motif proyek yang lebih dominan dibandingkan keselamatan satwa?

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Badak Jawa di Ujung Kulon: Antara Pelestarian Nyata dan Bayang-Bayang Proyek Bernilai Ratusan Miliar? Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pertanyaan ini semakin menguat setelah insiden kematian badak Jawa bernama Mustofa. Ia ditranslokasi pada 5 November 2025, mengalami penurunan kesehatan hanya dua hari setelahnya, dan kemudian mati. Peristiwa ini menjadi indikator penting bahwa proses konservasi berbasis kandang atau semi penangkaran tidak sesederhana klaim yang disampaikan.
Sementara itu, para ahli sebelumnya pun tidak pernah memberikan jaminan bahwa translokasi semacam ini akan berhasil, mengingat karakter badak Jawa yang sangat sensitif terhadap stres dan enggan berinteraksi langsung dengan manusia. Selama ini, penelitian pun dilakukan secara tidak invasif melalui jejak, kubangan, dan kotorannya, bukan melalui pendekatan kontak langsung.

Dalam situasi seperti ini, masyarakat wajar mempertanyakan,
Jika risiko kegagalan tinggi dan pendekatan ilmiah yang tersedia belum cukup kuat, mengapa program ini tetap dijalankan dalam skala sebesar itu?
Apakah urgensi ekologisnya benar-benar mendesak, ataukah besarnya anggaran justru menjadi pendorong utamanya?

BACA JUGA :  WC Umum dan Kepemimpinan

Masyarakat Pandeglang melihat adanya kebutuhan untuk meninjau ulang orientasi program JRSCA. Pelestarian sejatinya adalah proses berbasis ilmu pengetahuan, kehati-hatian, dan akuntabilitas. Namun ketika program konservasi diiringi anggaran raksasa, sementara dasar riset yang mendalam belum lengkap, kekhawatiran tentang adanya prioritas kepentingan proyek menjadi tidak terhindarkan.

Lebih jauh, pola komunikasinya pun dinilai belum memenuhi prinsip transparansi publik. Keberhasilan program konservasi biasanya dirayakan, tetapi ketika terjadi kegagalan seperti kematian Mustofa, tidak tampak adanya mekanisme evaluasi yang terbuka, apalagi pertanggungjawaban kelembagaan yang jelas. Padahal, pelestarian satwa langka tidak boleh dipraktikkan dengan pendekatan coba-coba, lebih-lebih pada spesies yang populasinya hampir punah.

Masyarakat Pandeglang kemudian melontarkan pertanyaan yang lebih mendasar,
Apakah program JRSCA lebih menekankan penyelamatan badak, atau justru implementasi proyek konservasi bernilai besar yang menguntungkan segelintir pihak?
Pertanyaan ini muncul bukan untuk menolak konservasi, tetapi untuk memastikan bahwa satwa yang menjadi simbol kejayaan masyarakat Banten tidak dijadikan objek eksperimen kebijakan.

Karena itu, pemerintah dan Balai Taman Nasional Ujung Kulon perlu menghadirkan transparansi penuh terkait tujuan, metode, risiko, anggaran, serta evaluasi program. Konservasi badak Jawa tidak boleh didekati dengan mentalitas proyek. Ia harus menjadi mandat moral dan ilmiah untuk menjaga salah satu warisan alam paling berharga di dunia.

Sebagai masyarakat yang telah hidup berdampingan dengan badak cula satu selama ratusan tahun, warga Pandeglang berhak menuntut kejelasan arah kebijakan. Mereka ingin memastikan bahwa pelestarian benar-benar menjadi jiwa program, bukan sekadar narasi yang membungkus kepentingan lain. Ujung Kulon bukan laboratorium percobaan, dan badak Jawa bukan objek eksperimen.
Menjaga mereka berarti menjaga sejarah, martabat, dan identitas masyarakat Banten itu sendiri.

Penulis : IdGunadi Turtusi

Editor : IdGunadi Turtusi

Sumber Berita : Masyarakat Pandeglang

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan
Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya
Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Berita ini 366 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Rabu, 3 Desember 2025 - 15:29 WIB

Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Selasa, 2 Desember 2025 - 14:11 WIB

Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan

Selasa, 2 Desember 2025 - 12:48 WIB

Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya

Senin, 1 Desember 2025 - 20:03 WIB

Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Berita Terbaru