SUARA UTAMA,Merangin – Sengketa lahan antara masyarakat Desa Limbur Merangin, Kecamatan Pamenang Barat, Kabupaten Merangin, dengan PT Buana kembali mencuat dan berujung pada laporan dugaan pencurian terhadap perwakilan warga.
Persoalan ini bermula ketika masyarakat Desa Limbur Merangin menyerahkan lahan rawa yang dikenal dengan sebutan Rawa Ujo untuk digarap oleh PT Buana pada tahun 2011–2012. Penyerahan lahan tersebut dilakukan secara kesepakatan dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Namun, seiring berjalannya waktu, operasional perusahaan dinilai tidak lagi berjalan optimal. Bahkan, menurut warga, lahan tersebut sempat terbengkalai cukup lama. Merasa tidak ada kejelasan, Hamdi Kurnia yang mewakili masyarakat Desa Limbur Merangin beberapa kali melayangkan surat kepada pihak perusahaan agar lahan tersebut dikembalikan untuk dikelola masyarakat. Sayangnya, upaya tersebut tidak kunjung mendapat respons.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena tidak adanya kejelasan, Hamdi kemudian memutuskan untuk memanen buah sawit di areal yang sebelumnya dikelola PT Buana. Tindakan tersebut justru berujung pada laporan dugaan pencurian yang dilayangkan oleh Sokhi Ardiansyah, warga Desa Bungo Antoi, Kecamatan Tabir Selatan, yang diketahui bukan warga di wilayah perkebunan tersebut.
Hamdi menegaskan bahwa konflik lahan ini semakin rumit karena adanya dugaan jual beli lahan oleh oknum masyarakat dari desa lain. “Berdasarkan informasi yang kami peroleh, lahan PT Buana ini sudah banyak diperjualbelikan oleh masyarakat Desa Papit, bahkan sebagian sudah terbit sertifikat,” ujar Hamdi kepada awak media, Kamis (18/12/2025).
Lebih lanjut, masyarakat menyoroti terbitnya Sertifikat Hak Milik (SHM) dengan Nomor Induk Bidang (NIB) 060400000110 atas nama Sokhi Ardiansyah, yang diterbitkan oleh BPN Merangin pada 21 Agustus 2025. Sertifikat tersebut diduga bersumber dari Surat Keterangan Tanah (SKT) Desa Papit, yang secara administratif berada di luar wilayah Desa Limbur Merangin.
Warga menilai penerbitan sertifikat tersebut patut dipertanyakan, mengingat SKT dari desa yang tidak berwenang dinilai tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat, terlebih jika dibandingkan dengan hak perusahaan yang sah seperti Hak Guna Usaha (HGU).
Sementara itu, salah satu warga Desa Limbur Merangin yang dipanggil sebagai saksi di Polres Merangin membenarkan adanya pemeriksaan terkait laporan tersebut.
“Kami datang ke Polres Merangin memenuhi surat panggilan sebagai saksi atas laporan saudara Saudi terkait permasalahan lahan masyarakat Desa Limbur Merangin. Lahan itu menurut kami berasal dari garapan dan penyerahan masyarakat sejak lama,” ungkapnya.
Ia menambahkan, setelah perusahaan tidak lagi beroperasi dan meninggalkan lokasi, masyarakat menganggap lahan tersebut kembali ke warga. Namun, pada awal tahun ini, saat hendak diurus kembali, lahan tersebut diketahui sudah diperjualbelikan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Kurang lebih sekitar 35 hektare lahan yang kami ketahui sudah diterbitkan sertifikat. Yang membuat kami heran, peta dan pengukuran tetap diterbitkan, sementara asal-usul tanahnya jelas masih bermasalah. Bahkan saat ini sudah ada warga kami yang ditetapkan sebagai tersangka,” katanya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PT Buana belum berhasil dimintai keterangan terkait konflik lahan tersebut. Awak media masih terus berupaya melakukan konfirmasi guna mendapatkan penjelasan resmi dari perusahaan maupun instansi terkait, termasuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) Merangin.
Media ini akan terus mengikuti perkembangan kasus ini dan menyajikan informasi secara berimbang sesuai fakta di lapangan.
Penulis : Ady Lubis
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














