Filosofi Dou Gai Ekowai Suku Mee Papua Tengah

- Penulis

Selasa, 25 Oktober 2022 - 14:09 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Suku_Mee. Filosofi Dou Gai Ekowai suku Mee. Foto: Wartawan SUARA UTAMA (Mas Andre Hariyanto) SUMBER: https://papuansphoto.wordpress.com/

Suku_Mee. Filosofi Dou Gai Ekowai suku Mee. Foto: Wartawan SUARA UTAMA (Mas Andre Hariyanto) SUMBER: https://papuansphoto.wordpress.com/

SUARA UTAMA, MANOKWARI – Filosofi adalah pengontrol etika dan moralitas hidup yang dipraktikkan oleh anggota masyarakat suatu komunitas budaya. Secara eksplisit, falsafah yang dihidupi dalam komunitas budaya sedapat mungkin mengakumulasikan cara pandang hidup dan pedoman tingkah laku yang bermartabat. Perumusan suatu falsafah berintensi menguasahakan suatu jawaban kehidupan bagi setiap individu untuk menjalankan hidup dalam sebuah koridor dan konvensi etik budaya.

BACA JUGA : Rapat Perdana sekaligus Penyusunan Program Kerja IPPMARPUT Jayapura

Suku Mee, salah satu suku besar di Papua, mempunyai falsafah hidup sendiri. Secara geografis, suku Mee mendiami daerah pegunungan tengah Papua. Suku Mee sendiri tersebar ketiga kabupaten, yakni Paniai, Deiyai, dan Dogiyai.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Filosofi Dou Gai Ekowai Suku Mee Papua Tengah Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Foto: Program Kelas Pelatihan/AR Learning Center adalah Pusat Pembelajaran, Pendidikan dan Pengkaderan. Lembaga AR Learning Center/Suara Utama-081232729720/Suara Utama ID
Foto: Program Kelas Pelatihan/AR Learning Center adalah Pusat Pembelajaran, Pendidikan dan Pengkaderan. Lembaga AR Learning Center/Suara Utama-081232729720/Suara Utama ID

Falsafah hidup suku Mee adalah dou (melihat), gai (berpikir), dan ekowai (bekerja). Tiga aktivitas penting dari aktualitas manusia ini dijadikan landasan utama dalam mengambil setiap keputusan. Penulis mencoba menguraikan tiga poin utama dari pandangan hidup suku Mee.

Foto: Dok. Mas Andre Hariyanto. Pamflet Poster/Redaksi Suara Utama Kembali Membuka Kesempatan Bergabung Menjadi Kaperwil, Kabiro, Koresponden, Jurnalis/Suara Utama
Foto: Dok. Mas Andre Hariyanto. Pamflet Poster/Redaksi Suara Utama Kembali Membuka Kesempatan Bergabung Menjadi Kaperwil, Kabiro, Koresponden, Jurnalis/Suara Utama

Dou (Melihat)

Saya masih ingat satu pesan moral yang didengungkan oleh orang tua kepada kami. Pesan moral tersebut adalah dou atau melihat. Dalam konteks sosio-budaya suku Mee, dou dilihat sebagai cahaya yang menuntun seseorang sebelum mengambil sebuah keputusan final dan dou juga terang bagi mereka yang bepergian.

BACA JUGA : Redaksi Suara Utama Ajak Masyarakat Bergabung Menjadi Kaperwil Kabiro Koresponden dan Jurnalis Anti Hoax

Kita mungkin saja pernah terantuk ketika buru-buru di jalan. Saat itu orang terdekat akan mengingatkan kita dengan ucapan: makanya berjalan itu harus melihat. Peringatan ini mengandung suatu nilai kepedulian atau kritikan terhadap kita agar bisa menggunakan indra penglihatan secara efisien, fungsional, dan tetap fokus pada arah perjalanan agar kita bisa menghindar dari kemungkinan bahaya yang mengancam tubuh kita.

Itdra penglihatan dapat berguna tatkala berhadapan dengan dunianya. Secara holistik, dunia ini adalah realitas ada bersama. Di dalam dunuialah kita mengalami perjumpaan, bahkan perjumpaan dengan yang lain itu (the other). Yang lain bisa bermakna masalah, orang, dan alam sekitarnya.

Levinas mempunyai rumusan yang amat bagus dalam memberi batasan tentang yang lain. “Dia yang lain adalah yang bukan aku.” Merleau Ponty juga merumuskan, “yang lain sesungguhnya adalah yang lain”, dan kerena itu, kehadiran yang lain hendaknya dilihat juga sebagai suatu pemberian.

BACA JUGA :  Kebersamaan yang Gagal Menyentuh Hati

Dua filsuf di atas tersebut mengeser persepsi dan pengertian kita tentang dunia ke suatu ruang universal. Pergeseran ini sekaligus mengundang kita melihat yang lain sebagai suatu pemberian yang harus dipertahankan dan dipelihara secara kolektif.

Dalam hal ini, bukan problem yang perlu kita rawat dan pertahankan melainkan alam dan sesama manusia. Karena itu, kita perlu memiliki mata yang bijak untuk melihat yang lain sebagai pemberian yang sangat berharga.

Gai (Berpikir)

Pesan moral kedua yang selalu orang tua tekankan adalah gai. Sewaktu masa kecil, kami rajin membuat onar di mana-mana. Sikap infantil ini membuat orang sangat emosional.

Sebagai kewajiban terhadap anaknya, orang tua selalu menunggu kami di rumah dengan setumpuk nasihat. Mereka memberikan nasihat-nasihat suci. Satu satunya ialah gai atau berpikir. Maksud berpikir tidak hanya memikirkan tindakan baik-buruk tetapi juga akibat-akibat yang muncul kemudian setelah bertindak. Mereka selalu menekankan betapa pentingnya peranan gai.

Gai (berpikir)

Dalam tatanan faslafah suku Mee menempati posisi kedua setelah dou (melihat). Seusai melihat suatu objek, dou menyerahkan tugas dan tangunggung jawab sepenuhnya kepada gai untuk bekerja sesuai mekanismenya. Gai artinya berdialog dengan diri sendiri dan konfrontasi di dalam pengalaman.

Kehadiran objek atau yang lain memungkinkan subjek berdialog. Dialog ini berorientasi menyelidiki, menimbang, dan menguji untuk menemukan suatu prinsip dasar (arche). Selain itu, berpikir memberikan kita suatu penerangan atau kepastian tentang sesuatu yang tampak. Penerangan ini membantu kita melihat yang lain secara mendalam.

Ekowai (Bekerja)

Sewaktu saya masih kecil, orang tua selalu mendorong saya untuk bekerja. Mereka senantiasa mengingatkan agar saya membiasakan diri bekerja.

Bekerja bukan untuk kepentingan saat ini semata, melainkan juga sebagai persiapan modal untuk masa depan hidup saya. Mereka menekankan hal ini karena suatu saat saya akan hidup mandiri. Mandiri berarti bersikap dewasa menjalani kompleksitas hidup tanpa bergantung pada keluarga seperti halnya waktu kecil.

Pada kesempatan orang tua memberikan nasehat ekowai, mereka tidak hanya memperhatikan aspek aktivitas bekerja tetapi juga menekankan hal yang amat penting dalam bekerja, yakni bagaimana bersikap dalam bekerja. Bekerja berarti berhadapan secara langsung dengan yang lain yang menjadi sasaran ekowai.

Menulis oleh : Anak asli suku mee Dadigou Dipi Kayame

Berita Terkait

Perlu Normalisasi Sungai Batang Gasan yang Masuk ke Pemukiman Penduduk di Korong Piliang
Krisis Penegakan Hukum di Indonesia
Pemerintah Sesuaikan PTKP 2025 untuk Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Kaleidoskop 2025: Bukan Sekadar Bencana Alam, tetapi Bencana Tata Kelola
Menjelang Nataru, harga Cabai di pasar Simpang Pematang melonjak tajam
Pernah Berhadapan dengan Hukum, Eko Wahyu Pramono Kini Aktif di Advokasi Publik
Memahami SP2DK dari Kacamata Wajib Pajak dan Fiskus
Moekajat Fun Camp 2025 #1 Sukses Digelar, Pererat Kebersamaan Keluarga Lintas Generasi
Berita ini 1,285 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 13 Desember 2025 - 15:32 WIB

Perlu Normalisasi Sungai Batang Gasan yang Masuk ke Pemukiman Penduduk di Korong Piliang

Sabtu, 13 Desember 2025 - 15:21 WIB

Krisis Penegakan Hukum di Indonesia

Sabtu, 13 Desember 2025 - 11:16 WIB

Pemerintah Sesuaikan PTKP 2025 untuk Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat

Jumat, 12 Desember 2025 - 20:02 WIB

Menjelang Nataru, harga Cabai di pasar Simpang Pematang melonjak tajam

Jumat, 12 Desember 2025 - 18:30 WIB

Pernah Berhadapan dengan Hukum, Eko Wahyu Pramono Kini Aktif di Advokasi Publik

Jumat, 12 Desember 2025 - 17:49 WIB

Memahami SP2DK dari Kacamata Wajib Pajak dan Fiskus

Jumat, 12 Desember 2025 - 17:13 WIB

Moekajat Fun Camp 2025 #1 Sukses Digelar, Pererat Kebersamaan Keluarga Lintas Generasi

Jumat, 12 Desember 2025 - 16:54 WIB

FES 2025 Dorong Kolaborasi Positif Generasi Muda Lewat Sport, Expo, dan SEKSOS

Berita Terbaru

Gambar Kegiatan Jambore Pos Yandu Kabupaten Subang 2025 – Sabtu, 13/12/2025.

Berita Utama

Jambore Posyandu Jadi Momentum, Honor Kader di Subang Dinaikkan

Sabtu, 13 Des 2025 - 22:45 WIB

Dr. Firman Tobing

Hukum

Krisis Penegakan Hukum di Indonesia

Sabtu, 13 Des 2025 - 15:21 WIB