Aku pernah memilikinya.
Dia bukan yang paling cantik menurut dunia, tapi dia paling istimewa dalam semesta kecilku. Wajahnya tak membuat siapa pun menoleh dua kali, tapi bagiku—dialah segalanya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Enam tahun bersamanya bukan sekadar hitungan kalender. Itu adalah hidup yang kami jalani bersama: pagi yang bergegas, senja yang bersandar, malam yang pulang dalam diam.
Kami tumbuh berdampingan. Dia menemaniku saat hari-hari terasa berat, menjadi saksi bisu saat aku tertawa sendiri di atasnya, atau menangis tanpa suara. Kami menyusuri jalan panjang—berdua, dalam hujan dan panas, dalam harap dan cemas. Dia tak pernah mengeluh. Tak pernah menuntut. Selalu setia, bahkan ketika aku kadang lupa merawatnya.
Dia rumah bagiku. Tempat pelarianku dari riuh dunia.
Hingga suatu subuh, dunia mencabutnya dari sisiku.
Pagi itu, aku pergi ke musala untuk salat subuh. Saat aku menengok di balik jendela, dia sudah tak ada. Tak ada jejak, tak ada suara. Hanya ruang kosong yang tiba-tiba terasa seperti jurang.
Aku mencarinya ke mana-mana. Bertanya dengan nada gugup, menahan marah yang nyaris berubah jadi putus asa. Tapi tak satu pun tahu ke mana dia pergi. Bukan karena dia ingin pergi. Bukan karena kami bertengkar. Tapi karena ada tangan-tangan tak terlihat yang memisahkan kami secara paksa.
Dan sejak hari itu, ada yang hilang dari ritme hidupku. Aku jadi lebih sering melirik kanan dan kiri di jalanan. Setiap ada yang mirip melintas, hatiku refleks melonjak. Jantungku berdetak lebih cepat dari yang seharusnya, berharap—mungkin itu dia. Mungkin itu dia. Tapi selalu bukan.
Aku sering duduk diam menatap jalan, berharap dia—meski sekilas—melintas. Aku jadi penguntit jalanan: mencari wajah yang tak pernah benar-benar punya wajah, hanya bentuk dan warna yang terpatri di kepala.
Aku menjadi pengintai diam-diam. Scrolling media sosial untuk mencari kabarnya, berharap siapa tahu dia tertangkap kamera—terselip dalam postingan acak yang tak sengaja kubuka. Aneh, ya? Tapi rindu memang sering membuat kita kehilangan logika.
Aku tak marah. Mungkin ini caraku belajar ikhlas. Tapi malam-malam, aku masih menyebut namanya dalam doaku. Menyapanya diam-diam dalam hati, seperti seseorang yang tak tahu cara benar-benar melepaskan.
Orang bilang, kalau cinta sejati, bahkan saat tak bisa memiliki, ia tetap memilih mendoakan dari kejauhan. Dan aku memilih itu.
Namun, biar kutegaskan satu hal…
Ini bukan tentang perempuan.
Ini tentang sepeda motorku. Vario 125 merah. Dia hilang sejak subuh itu, pertengahan bulan Juni kemarin.
Bukan karena aku tak rela, tapi karena terlalu banyak kenangan yang tertinggal bersamanya—ke gunung, ke pantai, ke kota dan desa. Kadang kupakai sendiri, kadang berboncengan dengan orang-orang yang sekarang hanya tersisa di foto-foto.
Dia pergi dengan lampu LED depan bagian kiri atas yang bolong, dempulan silikon yang tak rapi, dan besi spion yang patah sebelah. Mungkin orang lain tak melihat keistimewaannya. Tapi aku tahu betul setiap lecet dan gores yang dia miliki.
Jadi kalau suatu hari kau melihat motor itu di jalan, tolong sampaikan padanya…
Aku masih mencintainya.
Kunci, STNK, dan BPKB-nya masih kusimpan.
Dan setiap malam, masih kudoakan semoga dia kembali pulang.
Penulis : Nafian Faiz, jurnalis tinggal di Lampung.














