Oleh: Beni Nur Cahyadi, S.Pd.I., M.Pd., M.H. (Wakil Ketua Asosiasi Guru PAI Indonesia Kab. Wonogiri, Jawa Tengah)
SUARA UTAMA – Menjadi bahagia adalah keinginan semua orang. Sebab, perasaan ini bisa membuat seseorang merasakan ringannya kehidupan, sehingga lebih menyenangkan dan bermakna. Apalagi setelah 30 hari berpuasa menahan hawa nafsu, lapar, dan dahaga.
Bahagia dan Kesuksesan
Setiap orang memiliki definisi bahagianya sendiri. Ada yang mengatakan bahwa perasaan ini muncul sesederhana ketika melakukan atau mengingat hal-hal baik. Ada pula yang merasakannya saat telah sukses mencapai sesuatu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Banyak orang di sekitar kita menginginkan untuk meraih suatu kesuksesan. Mereka mewujudkannya melalui berbagai cara. Dari sekian banyak yang ada kemudian menerapkan tolok ukur sukses dengan materi yang melimpah, tingkat pendidikan yang tinggi, fisik yang bagus, karir yang cemerlang atau hal-hal lain.
BACA JUGA: Hari Aneksasi 1 Mei 1963, KNPB: Siapa Musuh Rakyat Papua Sebenarnya?
Bagi saya, sukses adalah ketika saya bisa bermanfaat untuk orang lain. Bahagia bagi saya adalah ketika saya mampu bersyukur atas kesuksesan yang saya raih dalam suasana suka cita meraih kemenangan di hari raya yang fitri ini. Tidak bisa dilepaskan dengan apa yang menjadi kebiasaan banyak masyarakat Indonesia pada umumnya, yaitu: silaturahim berkunjung ke sanak saudara ataupun sebaliknya dikunjungi oleh sanak saudara.
Namun keadaan ini tidak semua kondisi tahun demi tahun menjadi sebuah kebahagian, bila kebahagian itu dinilai dari sudut pandang yang lain. Tentu saja kondisi setiap orang akan berbeda dari tahun ke tahun, misalnya kondisi keuangan atau taraf hidup seseorang ada fase di mana seseorang mencapai kesuksesan secara finansial atau kesuksesan di dalam karir pekerjaannya yang meroket naik atau malah dalam kondisi yang sebaliknya, seperti halnya roller coaster yang kadang naik dan kadang turun. Bahagia di mana ketika melihat semua kerabat dalam kondisi masing-masing di antara mereka sedang naik karir, namun pasti ada salah satu dari mereka mengalami hal yang sebaiknya.
BACA JUGA: Bulan Syawal Bulan Peningkatan
Nilai Kebahagiaan dapat Berkurang
Hal lain yang bisa mengurangi kebahagian di hari lebaran adalah bilamana kita kehilangan salah satu anggota keluarga. Tentu saja peran seseorang sangat penting dalam keluarga kita, contohnya masih ada nenek yang biasa menyajikan hidangan makanan di hari lebaran yang sangat ditunggu dan lebaran tahun ini beliau sudah tidak bersama di tengah-tengah kita, tentu saja hal ini sangat mengurangi kebahagiaan.
Contoh lain adalah ketidakcocokkan dengan anggota keluarga lainnya. Hubungan manusia entah itu adik-kakak, sepupu-ponakan, tidak menjamin setiap tahun dalam kondisi yang baik, pasti ada hubungan yang kadang ada percikan-percikan ketidakcocokan dalam hubungan di kehidupan ini. Meskipun dalam suasana lebaran memang sangat pas tentunya momentum untuk menyatukan dan mempererat jalinan silaturahim yang sempat renggang, bahkan terputus. Namun tidak semua mampu diselesaikan pada momentum ini. Kita memerlukan waktu untuk menyelesaikan sendiri yang tidak harus banyak orang mengetahuinya, karena tentu saja lebaran banyak yang akan hadir.
BACA JUGA: Ketua Sinode KINGMI Tilas Mom Lantik Panitia Konferensi Sinode Ke-XII Koordinator Papua Barat
Cara Memahami Perasaan
Nah, bagaimana sih cara kita memahami kondisi perasaan kita? Jika kita selalu berusaha memahami perasaan sahabat, keluarga atau pasangan, tapi mereka tidak berusaha memahami kita? Marah, kecewa, sedih?
Ketika kita merasa orang lain tidak mampu memahami kondisi dan perasaan diri kita, maka akan timbul perasaan kesepian dan merasa tak bermakna. Penelitian dengan menggunakan fMRI membuktikan bahwa merasa dipahami oleh orang lain akan mengaktifkan neuron yang berhubungan dengan reward dan koneksi dengan lingkungan sosial. Hal inilah yang membuat kita merasa berharga dan bahagia.
Tak semua orang mau memahami orang lain. Pada situasi ketika kita bertemu dengan orang banyak, ada yang tulus bahagia, ada pula yang bersikap berpura-pura dan bersandiwara dalam menyikapi hal ini.
Tidak semua energi yang kita miliki dapat digunakan untuk memahami segala macam perasaan ataupun permasalahan yang dimiliki orang lain. Beberapa dari kita mungkin saja tak bisa acuh terhadap kehidupan dan permasalahan orang lain. Sehingga ketika kita melihat dan menghadapi perilaku seseorang kita mau mencoba memahami apa alasan-alasan psikologis dibaliknya. Kita mau terbuka dan tidak terburu-buru untuk menghakimi perbuatan seseorang begitu saja dengan berusaha mencari latar belakang struktural maupun sosio-kultural dibalik setiap perilaku orang lain.
BACA JUGA: Lelaki Seperti Manakah Antum
Penelitian Akurasi Seseorang dapat Memahami Orang Lain
Namun, upaya untuk memahami orang lain tersebut seringkali melelahkan, baik secara mental maupun fisik. Memahami orang lain butuh atensi, awareness, dan analisis sosial yang tidak mudah. Hal ini membutuhkan perhatian pada setiap detail seperti bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan dinamika kehidupannya. Praktik dan realitas memang tidak semudah teorinya. Bahkan, penelitian mencatat bahwa akurasi seseorang dalam memahami orang lain tidak ada yang mencapai 50%. Akurasi seseorang dalam memahami orang lain hanya mencapai 20% pada kategori orang asing, 35% pada kategori teman dekat atau pasangan. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya memahami seseorang.
Maka kita tak bisa memaksakan semua orang bisa tampak bahagia atau bahagia tulus, karena mereka juga memiliki permasalahan masing-masing. Tak semua bisa kita ketahui latar belakang selama setahun terakhir ini.