Sound Horeg dan Krisis Kebudayaan Pop Desa

- Penulis

Senin, 28 Juli 2025 - 12:09 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Eko Wahyu Pramono – Mahasiswa Ilmu Hukum

SUARA UTAMA – Di tengah geliat budaya populer lokal, salah satu fenomena yang menyita perhatian di sejumlah daerah Jawa Timur adalah karnaval sound horeg arakan truk bermuatan speaker raksasa yang menggelegar dengan musik berdentum keras, disertai aksi joget dari sejumlah peserta, termasuk perempuan dan ibu-ibu, dengan gaya ekspresif dan penuh energi.

Bagi sebagian masyarakat, ini adalah bentuk hiburan rakyat. Namun bagi sebagian lainnya, praktik ini menyisakan kegelisahan tentang arah dan nilai-nilai kebudayaan lokal yang tengah bergeser.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Sound Horeg dan Krisis Kebudayaan Pop Desa Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Panggung Ekspresi atau Banalitas Budaya?

Sound horeg telah menjelma bukan hanya sebagai parade musik, tetapi juga menjadi ruang ekspresi dan eksistensi sosial komunitas desa. Anak-anak muda dan bahkan orang tua antusias terlibat dalam komunitas ini, menciptakan dinamika budaya baru. Sayangnya, dalam proses tersebut, batas antara ekspresi kreatif dan pelanggaran norma sosial sering kali menjadi kabur.

Fenomena tampilnya perempuan dalam balutan busana mencolok dan gaya joget sensual di ruang publik kini bukan lagi pemandangan langka. Beberapa remaja bahkan menganggap penampilan di panggung sound horeg sebagai jalan pintas menuju popularitas lokal. Ungkapan seperti “kalau goyangnya asyik bisa jadi artis sound horeg” menjadi narasi yang beredar.

Namun perlu dipertanyakan: apakah popularitas semacam ini memberikan ruang pemberdayaan, atau justru menjerumuskan pelakunya ke dalam eksposur yang rentan terhadap pelecehan dan stereotip negatif?

Ketika Ekspresi Berbenturan dengan Etika Publik

Dalam masyarakat demokratis, hak berekspresi adalah bagian dari kebebasan individu. Namun ketika ekspresi tersebut berlangsung di ruang publik dan berpotensi memengaruhi kelompok rentan seperti anak-anak, maka dibutuhkan pertimbangan yang matang.

Apa yang disaksikan anak-anak ketika menghadiri karnaval semacam ini? Apakah pesan yang mereka tangkap tentang keberhasilan, ekspresi, dan nilai-nilai sosial sesuai dengan harapan pendidikan kultural yang sehat?

BACA JUGA :  Desa Gejugan Layak Nya Tawon Di Tinggal Ratu nya. Kapasitas Kecamatan Hanya Pembinaan dan Pengawasan

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang menyatakan keprihatinan dan mengeluarkan larangan atas praktik joget vulgar di sound horeg menjadi salah satu respons moral. Namun respons tersebut sering kali tidak cukup kuat membendung popularitas acara ini. Bahkan sebagian warga justru menganggap fatwa tersebut tidak relevan, dengan anggapan “hiburan rakyat kok diharamkan?

Saatnya Negara dan Masyarakat Berperan Aktif

Tanggung jawab tidak bisa dibebankan hanya pada individu. Pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan komunitas budaya perlu terlibat aktif dalam mengelola ruang publik dan kebudayaan.

Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan antara lain:

  • Penetapan batas maksimal tingkat kebisingan (desibel) untuk acara publik,
  • Pengaturan jam operasional karnaval,
  • Pelarangan konten atau aksi yang berbau eksploitasi seksual di ruang publik,
  • Edukasi budaya dan literasi media di tingkat lokal.

Bukan untuk mematikan kreativitas, tetapi untuk membangun ruang budaya yang sehat dan inklusif bagi semua kalangan.

Menata Ulang Arah Budaya Populer Desa

Dalam salah satu wawancara, seorang warga mengatakan bahwa anaknya enggan pulang karena dilarang tampil di acara joget sound horeg. Di sisi lain, ada orang tua yang merasa dilema saat anaknya tampil terbuka di depan umum, padahal dikenal religius di komunitasnya. Cerita-cerita ini menjadi cerminan kompleksnya dinamika sosial di balik panggung hiburan desa.

Sound horeg bisa menjadi ruang seni, perayaan kolektif, bahkan ajang ekonomi. Namun jika dibiarkan tanpa panduan nilai dan etika, ia bisa berubah menjadi panggung yang menimbulkan keresahan sosial.

Apakah kita akan membiarkan arah budaya rakyat melaju tanpa kompas, atau mulai menatanya agar lebih berpihak pada martabat manusia dan keberlanjutan nilai?

Sound horeg adalah cermin. Dan seperti semua cermin, ia memantulkan wajah masyarakat kita saat ini. Tugas kita bukan memecahkannya, tapi membersihkannya agar yang tampak bukan kekacauan, melainkan potensi kultural yang terarah.

 

Penulis : Odie Priambodo

Editor : Andre Hariyanto

Sumber Berita : Wartawan Suara Utama

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan
Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya
Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Berita ini 77 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Rabu, 3 Desember 2025 - 15:29 WIB

Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Selasa, 2 Desember 2025 - 14:11 WIB

Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan

Selasa, 2 Desember 2025 - 12:48 WIB

Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya

Senin, 1 Desember 2025 - 20:03 WIB

Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Berita Terbaru