Oleh: Eko Wahyu Pramono
Mahasiswa Ilmu Hukum dan Praktisi Pajak
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
SUARA UTAMA – “UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia.”
Kalimat ini sudah seperti kaset rusak yang diputar ulang tiap tahun, terutama di pidato-pidato pejabat. Salah satunya disampaikan Presiden Jokowi saat HUT RI ke-76, tahun 2021.
Tapi, makin lama pernyataan seperti ini justru terasa melelahkan. UMKM memang penting, iya. Tapi kenapa seolah-olah cuma mereka yang dibebani menyelamatkan ekonomi?
Di media sosial, perdebatan soal ini juga ramai. Ada yang bilang, “stop romantisasi UMKM.”
Konteksnya karena banyak pekerja UMKM yang dibayar di bawah UMR. Tapi balasannya pun muncul: “Ya wajar, mereka UMKM, omzetnya nggak besar. Harap maklum.”
Lalu, kita harus memaklumi pelanggaran upah minimum hanya karena pelakunya UMKM?
Kalau begitu, aturan upah ada buat apa?
Ada juga yang berkomentar bahwa pemerintah terlalu menggantungkan ekonomi pada UMKM karena tak sanggup menciptakan lapangan kerja formal yang layak. Dan saya, jujur saja, setuju dengan itu.
UMKM Itu Penting. Tapi Sampai Kapan?
UMKM memang berjasa besar. Mereka menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan menopang ekonomi lokal. Bahkan, kontribusi mereka ke PDB mencapai lebih dari 60%.
Tapi pertanyaannya: mau sampai kapan kita bertumpu pada usaha kecil dan menengah?
Dengan keterbatasan modal, teknologi, dan manajemen, UMKM bukan jawaban jangka panjang untuk mengentaskan pengangguran atau mendongkrak ekonomi nasional.
Pemerintah bukannya mendorong usaha agar naik kelas, malah justru seperti memelihara UMKM agar tetap kecil. Biar tetap bisa disuntik insentif dan dijadikan jargon tiap tahun.
Masalahnya, kebijakan semacam ini justru bikin pertumbuhan ekonomi stagnan. Ibarat racun manis yang lama-lama melemahkan sistem.
Kata Rizal Ramli dan Bahaya “Salah Fokus”
Almarhum Rizal Ramli pernah bilang, “Terlalu banyak sumber daya dikucurkan ke UMKM yang tidak efisien justru bikin ekonomi jalan di tempat.” (Dialog Ekonomi Nasional, 2022)
Artinya, subsidi dan kredit murah yang terus dikucurkan ke sektor usaha berproduktivitas rendah bisa membuat sumber daya salah tempat. Harusnya dana dan tenaga kerja dialirkan ke sektor yang lebih bernilai tambah, seperti industri dan teknologi.
Faktanya, sampai sekarang pemerintah terus mengandalkan UMKM sebagai “pahlawan ekonomi,” padahal tak banyak perubahan signifikan yang terjadi.
3 Alasan Kenapa UMKM Bukan Jawaban Utama Jangka Panjang
1. Produktivitas Rendah
Untuk menghasilkan nilai ekonomi Rp100 miliar, butuh ratusan UMKM. Tapi sektor industri besar bisa mencapainya hanya dengan beberapa pabrik.
McMillan dan Rodrik (2011) menunjukkan bahwa produktivitas nasional hanya naik kalau pekerja berpindah dari sektor tradisional ke sektor modern seperti manufaktur.
Masalahnya, di Indonesia, peralihan ini tidak terjadi. Mayoritas tenaga kerja masih berkutat di sektor informal dan UMKM.
2. Skala Ekonomi Terbatas
UMKM sulit menekan biaya produksi karena skalanya kecil. Efeknya? Produk jadi mahal, daya saing rendah. Apalagi untuk ekspor.
Berbeda dengan industri besar yang bisa beli bahan baku dalam jumlah besar, punya sistem distribusi efisien, dan investasi di riset.
3. Stagnasi Ekonomi Struktural
Terlalu banyak bergantung pada UMKM menyebabkan ekonomi mandek di level nilai tambah rendah. Kebanyakan produk UMKM juga mudah digantikan, tidak memberi dampak besar secara nasional.
Kunci dari Negara Maju: Industrialisasi
Negara-negara seperti Korea Selatan, Tiongkok, dan Vietnam berhasil naik kelas karena fokus pada industrialisasi. Bukan terus-menerus memelihara UMKM.
Mereka dorong perusahaan besar, bangun rantai pasok global, tarik investasi asing, dan kembangkan ekspor. UMKM tetap ada, tapi posisinya sebagai pendukung, bukan tulang punggung.
Bahkan di Tiongkok, beberapa UMKM digabung supaya bisa lebih efisien dan besar skalanya. Ini dilakukan secara strategis oleh pemerintah.
Slogan Bukan Solusi
Industri itu bukan sekadar soal pabrik. Tapi soal struktur ekonomi yang kuat, upah yang layak, dan ketahanan terhadap krisis global.
UMKM memang berjasa, tapi kalau terus dijadikan andalan utama, bangsa ini hanya akan terjebak di kelas menengah.
Negara-negara yang dulu di belakang kita, sekarang sudah jauh melaju. Sementara kita masih sibuk bangga dengan geliat ekonomi warung kopi, seblak, dan sosis bakar.
Romantisme memang manis. Tapi ekonomi butuh logika.
Tanpa industrialisasi, pertumbuhan hanya jadi ilusi, upah layak cuma basa-basi, dan bangsa ini akan terus jadi pelanggan tetap middle income trap.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














