Merdeka di Puncak Gunung, Apakah Cukup Foto untuk Menyatakan Kebebasan?

- Penulis

Senin, 11 Agustus 2025 - 09:37 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

SUARA UTAMA – 11 Agustus 2025 – Setiap tahun, berbagai cara digunakan untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia di bulan Agustus. Di kantor-kantor, baik pemerintah maupun swasta, suasana meriah terlihat dengan dekorasi dan persiapan matang untuk upacara dan parade. Tidak ketinggalan, kegiatan mendaki gunung pun menjadi salah satu pilihan untuk merayakan momen bersejarah ini.

Selain perayaan formal, banyak yang memilih untuk mengibarkan bendera Merah Putih di tempat-tempat yang lebih ekstrem, seperti dasar laut atau puncak gunung. Kini, kegiatan tersebut semakin umum dilakukan, terutama berkat kemajuan teknologi yang mempermudah akses dan meningkatkan keselamatan dalam perjalanan.

Mendaki gunung memang menawarkan pengalaman yang memuaskan. Ada kepuasan tersendiri saat kita bisa berada di puncak yang lebih tinggi dari tempat yang biasa kita pijak, jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari. Sebuah novel (yang kemudian difilmkan) tentang lima sahabat yang berhasil mencapai puncak gunung tertinggi di Jawa, lalu merayakan upacara bendera di sana, semakin memperkuat daya tarik tersebut. Banyak orang pun mengikuti jejak mereka, dengan harapan bisa merasakan momen yang sama: merdeka, mencapai puncak, dan mengibarkan bendera Merah Putih di sana. Namun, seringkali kita melupakan satu hal gunung bukan hanya sekadar destinasi, tapi juga tantangan yang penuh risiko.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Merdeka di Puncak Gunung, Apakah Cukup Foto untuk Menyatakan Kebebasan? Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ada dua hal yang sering terlupakan dalam euforia perayaan tersebut. Pertama, lima sahabat dalam cerita itu, meski terinspirasi dari kisah nyata, tetaplah tokoh fiksi. Banyak hal yang dibumbui agar ceritanya lebih menarik. Cerita tersebut mengajarkan kita bahwa setiap perjuangan menuju puncak seharusnya tidak dijadikan standar bagi semua orang, karena kenyataannya setiap pendaki memiliki kemampuan fisik dan mental yang berbeda-beda. Kedua, meskipun tampak mudah, alam selalu menyimpan bahaya yang tak terduga. Mungkin kita merasa sudah siap, sudah mempersiapkan fisik dan peralatan dengan matang, namun cuaca dan kondisi alam selalu memiliki kekuatan yang tidak bisa kita kendalikan.

Saya teringat pada sebuah nasihat yang diberikan oleh Eko Wahyu Pramono dalam membahas checks and balances dalam konteks pemerintahan. Ia menyebutkan, “Jika eksekutif dan legislatif bekerja tanpa kontrol, di situlah peran Mahkamah Konstitusi harus dihadirkan untuk memastikan kebijakan tidak menyimpang dari konstitusi.” Mengaitkan ini dengan pendakian gunung, saya rasa hal tersebut sangat relevan. Gunung adalah tempat yang penuh tantangan, bukan hanya bagi fisik, tetapi juga untuk kejiwaan dan ketenangan pikiran. Sama seperti dalam sistem pemerintahan yang memerlukan kontrol agar kebijakan tidak menyimpang, pendaki juga memerlukan pengawasan diri dan persiapan matang agar tidak terjebak dalam ekspektasi yang berlebihan. Kesiapan fisik, mental, dan pemahaman terhadap alam adalah hal yang harus dipertimbangkan dengan serius.

BACA JUGA :  Arbitrase Naik Daun, Tapi Putusannya Masih Sulit Dieksekusi

Saya juga teringat pada pengalaman saya saat bekerja di lapangan bersama rekan-rekan mahasiswa pecinta alam (Mapala). Kami sedang melakukan survei di daerah yang medan dan cuacanya sangat berat. Salah satu rekan saya yang baru pertama kali terjun ke lapangan terlalu antusias dan ingin segera mencapai titik tertinggi. Namun, ia tidak memperhatikan tanda-tanda fisik tubuhnya yang mulai kelelahan. Akibatnya, di tengah perjalanan, ia mengalami dehidrasi dan hampir tidak bisa melanjutkan perjalanan. Beruntung, kami semua terlatih dan bisa memberikan pertolongan segera. Tapi hal ini menjadi pelajaran berharga. Alam tidak bisa ditebak, dan persiapan serta kewaspadaan adalah hal yang tak boleh diabaikan.

Dari pengalaman tersebut, saya belajar bahwa banyak orang yang memaksakan diri untuk mendaki gunung tanpa mempertimbangkan kemampuan fisik dan persiapan yang matang. Apakah mereka hanya ingin terlihat keren di media sosial dengan foto-foto di puncak gunung? Keindahan alam memang menggoda, tetapi kita harus lebih bijaksana dalam merencanakan perjalanan. Gunung adalah tempat yang penuh dengan tantangan, dan sifat kita sebagai manusia akan diuji di sana. Apakah kita egois dan hanya peduli pada diri sendiri, ataukah kita bisa bekerja sama dengan tim untuk mencapai tujuan bersama? Apakah kita siap menghadapi kelelahan, cuaca ekstrem, atau bahkan situasi darurat yang tak terduga?

Bagi saya, kemerdekaan bukan hanya soal kebebasan untuk memilih cara merayakan, tetapi juga tentang kesadaran akan batasan diri dan pentingnya persiapan yang matang. Jika fisik kita tidak cukup mendukung untuk mendaki gunung, mungkin kita bisa merayakan kemerdekaan dengan cara lain yang lebih sesuai dengan kekuatan dan keadaan kita. Tidak ada salahnya untuk merayakan kemerdekaan dengan cara yang lebih santai, seperti menikmati secangkir teh hangat sambil membaca buku yang belum selesai. Kemerdekaan bagi saya berarti kebebasan untuk memilih yang terbaik bagi diri sendiri, sesuai dengan kemampuan dan keadaan.

Pada akhirnya, yang perlu kita ingat adalah bahwa kemerdekaan itu bukan hanya soal mencapai puncak, baik itu puncak gunung maupun puncak kesuksesan. Kemerdekaan juga berarti kita bebas memilih cara yang paling tepat dan aman untuk merayakan hidup, dengan memperhatikan kesiapan diri dan menghargai lingkungan sekitar. Jadi, apakah kamu siap memilih cara yang tepat untuk merayakan kemerdekaanmu?

Penulis : Odie Priambodo

Editor : Andre Hariyanto

Sumber Berita : Wartawan Suara Utama

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan
Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya
Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Berita ini 42 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Rabu, 3 Desember 2025 - 15:29 WIB

Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Selasa, 2 Desember 2025 - 14:11 WIB

Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan

Selasa, 2 Desember 2025 - 12:48 WIB

Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya

Senin, 1 Desember 2025 - 20:03 WIB

Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Berita Terbaru