Membesarkan Musuh, Melegalkan Serangan

- Penulis

Jumat, 16 Mei 2025 - 07:01 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi: Kecil-Dibesarkan (SUARAUTAMA.ID)

Ilustrasi: Kecil-Dibesarkan (SUARAUTAMA.ID)

SUARA UTAMA- Dalam setiap konflik bersenjata, yang pertama kali meletus bukanlah peluru atau roket—melainkan narasi. Seiring waktu, kita melihat betapa informasi bukan sekadar cermin dari realitas, melainkan juga alat untuk membentuk persepsi. Inilah yang kini dikenal sebagai perang narasi. Dan di konflik-konflik modern seperti Israel–Palestina atau ketegangan India–Pakistan, narasi menjadi senjata yang tak kalah berbahaya dari bom dan senapan.

Coba perhatikan bagaimana kelompok seperti Hamas, atau bahkan negara seperti Pakistan, sering digambarkan dalam media internasional. Mereka dikemas sebagai aktor yang militan, berbahaya, dan bahkan memiliki kekuatan militer besar. Tapi, apakah benar demikian? Ataukah ini bagian dari strategi lama yang kembali dimainkan dalam konteks baru?

Membesarkan Musuh, Menciptakan Legitimasi

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Membesarkan Musuh, Melegalkan Serangan Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bayangkan Anda adalah negara besar dengan kekuatan militer kelas dunia. Anda ingin menyerang atau menekan kelompok yang secara logistik dan teknologi jauh di bawah Anda. Bagaimana cara agar dunia tidak melihat Anda sebagai penindas? Salah satu caranya: besarkan musuh Anda. Buat mereka tampak kuat, kejam, dan terorganisir secara militer. Narasi ini bisa menjadi tameng moral bagi tindakan militer yang sebenarnya tidak sebanding.

Dalam konteks ini, Hamas sering digambarkan seolah-olah setara dengan tentara negara maju, padahal secara nyata mereka adalah kelompok bersenjata dengan sumber daya terbatas. Bahkan pasukan Al-Qassam, sayap militer Hamas, lebih dekat jika disamakan dengan organisasi bersenjata lokal ketimbang tentara nasional.

Begitu pula dengan Pakistan. Meski secara formal adalah negara dengan angkatan bersenjata, kapasitas ekonominya jauh di bawah India. Tapi ketika digambarkan sebagai “ancaman besar”, maka langkah militer India menjadi terlihat wajar. Serangan balik atau operasi militer bisa dikemas sebagai tindakan defensif.

Simbol Perlawanan yang Dimanfaatkan Lawan

Di sisi lain, media dan masyarakat simpatisan Palestina sering menempatkan Hamas dan Al-Qassam sebagai simbol keberanian. Begitu juga dengan Pakistan yang kadang dilihat sebagai penjaga harga diri dunia Islam. Tapi narasi ini, meski menguatkan solidaritas, kadang dimanfaatkan balik oleh pihak lawan.

BACA JUGA :  Tantangan Coretax: Menjanjikan Kemudahan, Namun Masih Jauh dari Harapan

Israel atau India dan sekutunya bisa dengan mudah membalikkan simpati itu. “Mereka bukan korban,” begitu narasi yang dibentuk. “Mereka punya senjata, punya pasukan, bahkan jadi simbol militerisasi.” Maka, tindakan agresi yang semestinya dikritik bisa dengan mudah dibungkus sebagai “pembelaan diri”.

Perang Algoritma dan Framing Digital

Kita hidup di zaman algoritma. Apa yang muncul di lini masa kita bukanlah cerminan objektif dari kenyataan, tapi hasil dari sistem yang memilih mana informasi yang ingin kita lihat. Negara-negara besar, dengan jaringan media internasional, influencer, dan bahkan teknologi AI, bisa membentuk persepsi publik secara masif dan sistematis.

Framing berita, pemilihan kata, hingga siapa yang diberi panggung bicara — semua itu bagian dari strategi pengaruh. Ketika berita soal serangan Israel didominasi dengan narasi “balasan terhadap serangan Hamas”, atau ketika konflik perbatasan India–Pakistan selalu dimulai dari sudut pandang India, maka di situlah kita melihat bagaimana narasi menjadi medan tempur yang sesungguhnya.

Bahaya Euforia dan Empati yang Terkelola

Narasi kemenangan, entah itu dari Hamas atau Pakistan, kadang menumbuhkan euforia di kalangan pendukung. Tapi tanpa sadar, euforia itu bisa menjadi umpan balik yang justru digunakan oleh lawan. Ketika kelompok kecil dibesar-besarkan, ketika senjata rakitan diberi panggung seolah misil modern, maka yang sedang disiapkan adalah alasan untuk serangan berikutnya yang jauh lebih besar.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Jawabannya: literasi. Kita perlu belajar memilah informasi, membaca lebih dalam dari sekadar judul, dan memahami siapa yang diuntungkan dari setiap narasi yang beredar. Jangan mudah larut dalam euforia, dan jangan juga cepat tersulut oleh narasi ketakutan. Karena dalam perang modern, siapa yang menguasai narasi, dia yang menguasai panggung.

Menjadi pembaca yang kritis bukan soal memilih pihak, tapi soal menjaga agar akal sehat tidak tenggelam di tengah arus propaganda. Karena dalam konflik yang tak seimbang, seringkali pihak yang paling dulu kalah adalah mereka yang tidak punya kuasa atas informasi.

 

 

Penulis : Nafian Faiz, jurnalis tinggal di Lampung.

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan
Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya
Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Berita ini 97 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Rabu, 3 Desember 2025 - 15:29 WIB

Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Selasa, 2 Desember 2025 - 14:11 WIB

Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan

Selasa, 2 Desember 2025 - 12:48 WIB

Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya

Senin, 1 Desember 2025 - 20:03 WIB

Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Berita Terbaru