Ketika Wartawan Menjadi Pemangsa dan Penjaga Harapan

- Penulis

Selasa, 11 Maret 2025 - 13:51 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi: Ketika Wartawan Menjadi Pemangsa dan Penjaga Harapan
||Nafian Faiz|| suarautama.id

Ilustrasi: Ketika Wartawan Menjadi Pemangsa dan Penjaga Harapan ||Nafian Faiz|| suarautama.id

SUARA UTAMA — “Jurnalisme adalah senjata. Di tangan yang salah, ia melukai. Di tangan yang benar, ia menyelamatkan.”

Dua kisah berikut menunjukkan betapa tipisnya batas antara wartawan sebagai penjaga kebenaran dan pelaku pemerasan.

Cerita pertama: Seorang kawan yang memasang jaringan internet Starlink di daerah terpencil dikejutkan oleh pesan dari seorang wartawan.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Ketika Wartawan Menjadi Pemangsa dan Penjaga Harapan Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Alih-alih mengapresiasi usahanya menghubungkan wilayah blank spot dengan dunia luar, wartawan itu justru mempertanyakan legalitas pemasangan jaringan.

Nada ancaman muncul, disertai draf berita yang seakan siap menyerang. Tak lama kemudian, ajakan bertemu mengarah ke praktik “86” — kode rahasia pemerasan agar berita negatif tak terbit.

Ketakutan pun muncul, karena jika satu oknum dilayani, biasanya akan bermunculan oknum lain yang ikut meminta bagian.

Cerita kedua: Ada wartawan yang menerima curhat keluarga tenaga kerja wanita (TKW) di Singapura yang kesulitan pulang untuk menikah.

Dengan profesional, wartawan ini menghubungi agen penyalur, mengonfirmasi situasi, lalu menjelaskan kepada keluarga TKW bahwa kendala lebih pada birokrasi, bukan kesengajaan.

Sang wartawan mendorong komunikasi yang baik, menjadi jembatan antara keluarga dan agen untuk memastikan kepulangan si anak tetap terpantau.

Dua cerita ini menggambarkan paradoks tajam dalam dunia jurnalistik: wartawan bisa menjadi predator yang memangsa warga, atau menjadi penjaga harapan yang memperjuangkan solusi.

Pada kasus pertama, kita melihat bagaimana kekuasaan informasi disalahgunakan untuk menekan dan memeras.

Wartawan yang seharusnya menjadi pengawas kebijakan publik malah berubah menjadi ancaman yang menghambat inisiatif positif masyarakat.

BACA JUGA :  The Correlation of "PHONE" In 3 Words Handphone, Smartphones, Cellphones to Their Impact on Humans

Praktik seperti ini bukan hanya merusak kepercayaan terhadap media, tetapi juga memperburuk stigma bahwa pers adalah alat kepentingan pribadi, bukan penjaga kebenaran.

Sebaliknya, kasus kedua adalah pengingat bahwa jurnalisme yang tulus dan profesional masih hidup.

Wartawan yang bersedia menjadi mediator, memverifikasi informasi, dan mendorong komunikasi yang sehat menunjukkan bahwa pers masih bisa menjadi pilar keadilan sosial.

Di sinilah makna sejati profesi wartawan: bukan sekadar melaporkan peristiwa, melainkan ikut terlibat secara moral untuk mengurai masalah dan membawa harapan bagi mereka yang suaranya sering tak terdengar.

Pers adalah kekuatan besar yang bisa membangun atau meruntuhkan kepercayaan publik. Oleh karena itu, wartawan harus selalu ingat bahwa tugas utamanya bukan mencari keuntungan pribadi, melainkan memperjuangkan kebenaran dan kepentingan masyarakat.

Masyarakat juga punya peran penting: jangan takut melawan pemerasan berkedok jurnalistik.

Laporkan ke Dewan Pers atau organisasi media jika menemukan pelanggaran etika. Di sisi lain, dukung dan apresiasi media yang menjunjung tinggi integritas. Dari sanalah kita bisa berharap ada perubahan nyata yang berpihak pada rakyat kecil.

Pada akhirnya, kejayaan pers terletak pada keberanian para jurnalis untuk berdiri tegak di sisi kebenaran — meski tanpa imbalan materi, tetapi dengan kekayaan moral yang jauh lebih bermakna.

Karena hanya dengan itulah, jurnalisme bisa kembali menjadi cahaya yang menerangi kegelapan, bukan bayangan yang menambah beban masyarakat.

Penulis : Nafian faiz : Jurnalis, tinggal di Lampung

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Refleksi Hari Guru Nasional 2025
Festival Perahu Hias & Lomba Dayung Meriahkan HUT Mesuji ke-17: Warga Padati Sungai Mesuji!
Pelajar SMKN 1 Panca Jaya Alami Kecelakaan Tunggal, Kini Dirujuk ke RSUD Ragab Begawe Caram
Polres Tanjabbar Gelar Apel Pasukan Operasi Zebra 2025, Upaya Efektif Menurunkan Angka Kecelakaan
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Tama Jagakarsa Memperoleh Prestasi Nasional Sebagai Dosen Peneliti Terbaik Dari ADAI
Berita ini 82 kali dibaca
"Jurnalisme adalah senjata. Di tangan yang salah, ia melukai. Di tangan yang benar, ia menyelamatkan."

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Selasa, 25 November 2025 - 11:34 WIB

Refleksi Hari Guru Nasional 2025

Senin, 24 November 2025 - 20:58 WIB

Festival Perahu Hias & Lomba Dayung Meriahkan HUT Mesuji ke-17: Warga Padati Sungai Mesuji!

Jumat, 21 November 2025 - 15:51 WIB

Pelajar SMKN 1 Panca Jaya Alami Kecelakaan Tunggal, Kini Dirujuk ke RSUD Ragab Begawe Caram

Senin, 17 November 2025 - 21:19 WIB

Polres Tanjabbar Gelar Apel Pasukan Operasi Zebra 2025, Upaya Efektif Menurunkan Angka Kecelakaan

Kamis, 13 November 2025 - 09:04 WIB

Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Tama Jagakarsa Memperoleh Prestasi Nasional Sebagai Dosen Peneliti Terbaik Dari ADAI

Berita Terbaru