Oleh: Dr. Firman Tobing
Akademisi/Anggota Pusat Analisa Kajian Hukum dan Ekonomi Indonesia
SUARA UTAMA, Riau – Bencana di alam di Sumatera kemaren tidak terlepas dari adanya keterkaitan antara kegagalan sistem politik demokrasi dan meningkatnya kerentanan serta dampak bencana alam, di mana kebijakan yang koruptif, kepentingan oligarki, dan pengabaian lingkungan oleh penguasa menyebabkan kerusakan hutan, banjir, dan krisis ekologis, yang pada akhirnya memakan korban jiwa dan merusak infrastruktur, sementara negara justru merespons dengan represif atau lemah dalam perlindungan warga. Ini adalah cerminan dari sistem yang mengedepankan keuntungan jangka pendek daripada merancanakan pembangunan keberlanjutan, menjadikannya bukan hanya masalah alam, tapi juga masalah tata kelola dan keadilan politik.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Fenomena apa yang terjadi akhir-akhir ini, seperti bencana yang terjadi di sumatera dan beberapa daerah lain di Indonesia agaknya menjadi “teguran alam” kepada semua pihak tentang arti penting memperkuat demokrasi, karena di dalam demokrasi yang lemah akan membuka ruang bagi kebijakan yang pro-eksploitasi sumber daya alam, seperti penebangan liar dan izin-izin berbau korup, yang merusak hutan sebagai penyangga ekologis. Kegagalan dalam menjaga ekologis secara otomatis akan berdampak secara langsung pada rakyat melalui kerugian nyawa, pengungsian, kemiskinan, dan dislokasi sosial, menjadi manifestasi kegagalan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Kembali ke Demokrasi Dalam Makna Seutuhnya
Abraham Lincoln dalam pidatonya yang terkenal “Gettysburg” memberikan penekanan pada makna demokrasi, bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, yang berpartisipasi aktif dalam menentukan nasib dan kebijakan negaranya, serta pemerintahan harus melayani kepentingan seluruh rakyat, bukan segelintir elit. Dengan kata lain, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the people, for the people), pidato tersebut menekankan bahwa demokrasi memerlukan kesabaran dan kejujuran dari rakyat, serta pemilihan umum yang bebas dan kompetitif adalah cara untuk memastikan pemerintahan tetap akuntabel dan mewujudkan kebebasan.
Jika kita merenungi kembali tentang musibah bencana alam yang melanda di penghujung tahun 2025, akan memunculkan sekelumit pertanyaan sederhana namun bermakna besar yang sulit untuk dielakan; apa yang salah dengan pengelolaan negeri ini? Atau boleh jadi, ada hal-hal yang mendasar yang kita lupa bahkan terabaikan sebagai anak bangsa. Dalam sistem politik ekonomi Pancasila seperti yang dianut Indonesia di mana perekonomian harus berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila, terutama kekeluargaan dan gotong royong, dengan tujuan kesejahteraan rakyat, bukan keuntungan individu semata, mengintegrasikan pasar dengan kontrol pemerintah (demokrasi ekonomi), mengedepankan keadilan sosial, kebersamaan, efisiensi, keberlanjutan, dan kedaulatan rakyat atas sumber daya alam untuk kemakmuran bersama. Ini adalah jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme, dengan ciri utama adanya BUMN, koperasi, dan peran negara dalam menguasai cabang produksi vital (Pasal 33 UUD 1945).
Namun dalam konteks ini, disadari atau tidak, ada tiga hal dalam Pancasila yang semakin pudar dari kesadaran kolektif kita dalam berbangsa dan bernegara, Pertama, adalah apa yang menjadi gagasan tentang permusyawaratan dan perwakilan yang telah direduksi menjadi “demokrasi”, yang kemudian direduksi lebih jauh lagi menjadi sekadar “keterpilihan”. Kita seolah lupa bahwa demokrasi yang dicita-citakan Bung Karno bukan demokrasi ala Barat yang semata-mata bertumpu pada hitungan suara dan perebutan kekuasaan. Demokrasi kita adalah demokrasi permusyawaratan, demokrasi kebijaksanaan, dan terutama demokrasi yang tidak hanya politik, tetapi juga ekonomi, tanpa demokrasi ekonomi, rakyat hanya memiliki suara, tetapi tidak memiliki kuasa. Tanpa demokrasi ekonomi pula, kita perlahan lupa pada hal kedua tentang kesejahteraan sebagai wujud keadilan sosial, yang rasanya semakin jauh dari harapan karena mayoritas kekayaan alam republik ini dikuasai, dimanfaatkan, dan dinikmati hanya oleh segelintir elite yang diperlihatkan dari begitu banyaknya konsesi sumber daya alam, mulai dari tambang, hutan, hingga perkebunan, dalam jumlah besar dikuasai korporasi besar, baik nasional maupun multinasional.
Hal ketiga yang tidak kalah penting adalah perikemanusiaan yang di istilahkan Bung Karno sebagai internasionalisme yang mengarah ke satu titik yang sama yaitu kesetaraan hak sesama manusia dan penolakan terhadap segala bentuk penindasan yang tertuang secara tegas Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan bahwa penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi. Namun saat ini, imperialisme telah berubah bentuk, dari moncong senjata menjadi moncong keuangan, dari kolonialisme teritorial menjadi kolonialisme finansial. Instrumen-instrumennya pun bergeser, dari pasukan militer menjadi lembaga-lembaga keuangan global, kebijakan investasi, dan penetrasi pasar. Keberadaan perusahaan multinasional dengan orientasi ekstraksi, yang bergerak atas dorongan modal global, menjadi pintu arus keluar kekayaan alam secara masif, kekayaan yang terambil tidak kembali menjadi kemakmuran rakyat, justru meninggalkan kerusakan ekologis yang kita tanggung hingga hari ini.
Situasi ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah yang dalam UUD 1945 sesungguhnya adalah sebagai “panitia” yang ditugasi untuk memajukan kesejahteraan umum. Namun di balik semua itu, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, dan rakyat pun tidak boleh berdiam diri, kita harus ikut menyadarkan para pejabat agar insaf dari polarisasi kekuasaan dan kembali pada amanat Pancasila, permusyawaratan yang memanusiakan, keadilan sosial yang meratakan, dan perikemanusiaan yang membebaskan. Pesan moral di akhir tahun “ Bangsa yang gagal mengeksplorasi kekayaan intelektualnya akan mengeksploitasi kekayaan alamnya. Pada awalnya terlihat membangun, tetapi pada akhirnya akan kehilangan segalanya”.
Penulis : Zulfaimi
Editor : Zulfaimi
Sumber Berita : Suara Utama












