SUARA UTAMA. Pemberitaan seputar dibekukannya BEM Unair, karena kritikannya atas pelantikan presiden RI Prabowo Subianto dan Wakil Gibran Rakabuming Raka,(detikJatim 25/10/2024) atas pelaksanaan pemilihan presiden 2024 lalu. Kritikan dilakukan dengan membuat suatu karangan bunga disertai narasi dan satire terpampang dua foto presiden dan wakil presiden dengan narasi berupa kritikan dengan kata-kata tajam. Namun menteri pendidikan tinggi sains dan teknologi Prof. Ir Satryo Soemantri Brojonegoro meminta pada rektor Unair untuk mencabut pembekuan atas BEM Unair. (detikJatim 28/10/2024)
Merupakan suatu konsekuensi logis apabila dalam suatu negara demokrasi, keterbukaan, kebebasan ber ekspresi merupakan salah satu prasyarat yang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam sistem demokrasi. Aristoteles (dalam Suralin, Fatmawati 2024) menegaskan pemahaman tersebut, menurutnya Demokrasi adalah sebagai kebebasan dari setiap warga negara. Hal itupun diperkuat dari International Conference of fist Bangkok, 1965 demokrasi salah satu cirinya adalah, Constituional Guarantee of Human Right (jaminan konstisusional terhadap HAM)
Berdasarkan pemahaman demokrasi diatas, dalam konteks Indonesia negara wajib menjamin dan melindungi apa yang menjadi keinginan, harapan berupa aspirasi rakyat dalam berbagai bentuk ekpresi apapun. Seperti yang diatur dalam pasal 28 UU 1945, pasal 28E ayat 3 setiap orang berhak atas kebebasan, berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Termasuk dalam UU no 39 1999 tentang hak asasi manusia, pasal 23 ayat 2, pasal 25 kebebasan berpendapat. Dalam UU no 9 tahun 1998, diatur pula mengenai kemerdekaan mengemukakan pendapat dimuka umum. Semuanya merupakan bagian dari proses kontrol dan penyeimbang dari rakyat secara langsung pada pemerintah yang berkuasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun ada satu hal yang sering kita lupakan ketika kita berbicara tentang ekpresi dalam suatu negara, tentunya setiap negara mempunyai nilai budaya yang berbeda, dikarenakan kebiasaan masyarakatnya yang sudah berlangsung secara turun temurun yang diwariskan dari nenek moyang leluhurnya. Nilai budaya kebiasaan inilah menjadi pembeda antara satu negara dengan negara lainnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berawal dari Kritis dan Kritik
Masih banyak anggapan masyarakat awam, ketika berbicara kritis adalah sesuatu yang harus dibongkar, diserang, dikoreksi atas suatu kondisi. Selintas bisa dibenarkan karena nantinya prosesnya akan beririsan dengan hal tersebut. Namun apabila di telaah lebih jauh konsep kritis adalah sikap seseorang yang tidak begitu saja menerima tentang suatu kondisi, kejadian namun selalu dicari tahu alasan dibalik itu selain itu berusaha mencari berbagai informasi logis dari berbagai sudut pandang, sebelum akhirnya membuat suatu kritikan.
Biasanya sikap kritis disertai dengan penuh kehati-hatian, pertimbangan-pertimbangan tertentu secara matang menurut John Dewey ( dalam Kasdin Sihotang, 2012) berpikir kritis mempertimbangkan bentuk suatu pengetahuan atau keyakinan yang diterima begitu saja secara aktif, terus-menerus dan teliti dengan menyertakan alasan, mengedepankan fact-checking dan mengambil kesimpulan logis.
Kritik selalu berkaitan dengan sesuatu yang kita sampaikan bentuknya bisa pernyataan, tulisan, gambar, simbol. Kritik tidak muncul secara spontan begitu saja, melainkan didahului melalui proses sikap kritis. Dengan kata lain kritik adalah tindak lanjut dari sikap kritis seseorang terhadap suatu kondisi. Kritikan tidak hanya muncul di ruang privat namun kritikan akan muncul pula pada ruang publik, yang menyentuh orang dalam jumlah besar.
Kritik akan berkesan baik dan dimaklumi oleh orang, ketika kritikan tersebut berdasarkan proses kritis telahaan data-data, fakta-fakta, konfirmasi sumber-sumber yang dapat dipertanggung jawabkan termasuk penggunaan bahasa yang disampaikan. Kritik akan bermakna elegan ketika semua hal dalam proses kritis dijalani dan dilalui dalam suatu proses yang seharusnya. Sehingga ruang dinamika demokrasi akan berjalan dengan baik dan wajar. Sebaliknya kritik akan mengundang ragam kesan dan tanggapan ketika kritik disampaikan tanpa mengindahkan budaya masyarakat setempat, terutama dalam penggunaan berbahasa.
Bahasa Kritik dan Demokrasi Indonesia
Bahasa adalah salah satu media komunikasi ketika orang akan menyampaikan sesuatu, bisa berupa tuturan dan tulisan yang meliputi : kekesalan, keluhan, kemarahan, kejengkelan. Dengan bahasa pula semua orang akan tahu dan saling memahami mengenai apa yang menjadi keinginan, kebutuhan maupun harapan orang-orang lain disekitarnya. Bahasa secara umum adalah bagian dari kebudayaan yang berlangsung secara turun-temurun dimana nilai-nilainya merupakan warisan yang dijadikan acuan oleh generasi berikutnya, sebagai salah satu prinsip dalam kehidupan. Hal ini menggambarkan sebagai ciri khas suatu bangsa, termasuk dalam ini adalah bangsa Indonesia.
Bahasa dapat digunakan sebagai media kritik pada pihak lain, ketika suatu suasana kondisi mengalami ketidaklaziman artinya ada suatu kondisi diluar ketentuan-ketentuan yang seharusnya berjalan secara ideal. Bahasa kritik dalam konteks demokrasi adalah sarana penting dalam menyampaikan pendapat, aspirasi, melalui bahasa kritik kita akan tahu mengenai informasi kebijakan pemerintah, isu-isu sosial politik yang dapat disebarluaskan dan diterima di ruang publik.
Dengan bahasa kritik juga dapat mendorong suatu perubahan sosial, karena kekuatannya dalam membentuk opini publik dengan kemampuannya menggunakan pesan-pesan persuasif dan argumentatif. Selain itu kemampuan bahasa kritik mampu menuntut pertanggung jawaban para pemimpin dan lembaga-lembaga publik.
Apabila kita mencermati UU no 39 tahun 1999 hak asasi manusia pada pasal 23 ayat 2, secara tersirat kata-kata kunci : nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa. Adanya pemahaman yang mengarahkan kita bahwa, dalam berpendapat termasuk kritik hendaknya dilakukan dengan penuh kehatian-hatian. Salah penempatan, penulisan akan bersinggungan dengan aspek-aspek diatas. Kritik fokus pada suatu hal atau substansi yang menjadi persoalan dan kemasan bahasa selalu mempertimbangkan aspek nilai budaya dan Etika.
Mendikti Prof Ir. Satryo Soemantri Brodjonegoro menegaskan (Tribun jatim, 29/10/2024) tidak melarang pada mahasiswa untuk berpendapat dan mengkritik, karena dijamin oleh UU, namun makna kebebasan harus disertai dengan akuntabilitas dan tanggung jawab publik.
Penulis : Agus Budiana
Editor : Redaksi Suara Utama