Anarkisme Jalanan, Ancaman Nyata bagi Stabilitas Demokrasi Indonesia

- Penulis

Minggu, 31 Agustus 2025 - 01:56 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gambar Ilustrasi Aksi Massa Demo di Depan Gedung DPR RI Jakarta (foto by tonny rivani)

Gambar Ilustrasi Aksi Massa Demo di Depan Gedung DPR RI Jakarta (foto by tonny rivani)

SUARA UTAMA – Fenomena anarkisme dalam aksi demonstrasi belakangan kembali menyita perhatian publik. Presiden Prabowo Subianto menegaskan perintahnya kepada TNI-Polri untuk menindak tegas massa anarkis yang dianggap mengganggu ketertiban umum dan meracuni proses demokrasi. Pernyataan ini menimbulkan resonansi luas, tidak hanya di ranah politik, tetapi juga di kalangan akademisi, ormas Islam, hingga media nasional yang memandang serius potensi kerusakan demokrasi akibat aksi anarkis jalanan.

Pandangan Pakar Politik

Pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Dr. Arif Wibowo, menilai bahwa demokrasi hanya bisa berjalan sehat jika kanal aspirasi dijaga dalam batas konstitusional. Menurutnya, anarkisme bukanlah ekspresi kebebasan berpendapat, melainkan penyimpangan dari prinsip demokrasi.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Anarkisme Jalanan, Ancaman Nyata bagi Stabilitas Demokrasi Indonesia Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Kebebasan menyampaikan pendapat dijamin UUD 1945, tetapi tidak ada ruang bagi tindakan yang merusak fasilitas publik atau melukai sesama warga. Itu bukan demokrasi, itu kriminalitas politik,” tegas Arif.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Politik Nasional (LKP), Diah Ayuningtyas, menambahkan bahwa anarkisme jalanan seringkali dimanfaatkan oleh kelompok oportunis yang ingin mendeligitimasi pemerintahan yang sah.

“Aksi anarkis biasanya bukan gerakan murni rakyat, melainkan ada infiltrasi aktor politik yang hendak memancing instabilitas,” ujarnya.

Pandangan Ormas Islam

Dari kalangan ormas Islam, Ketua PBNU Bidang Hukum dan HAM, KH. Ahmad Zuhdi, menekankan pentingnya menjaga etika dalam menyampaikan aspirasi. Ia menegaskan bahwa Islam mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara damai, bukan melalui kekerasan.

“Demo boleh, tapi jangan sampai berubah menjadi fitnah, kerusuhan, dan anarkisme. Itu bertentangan dengan prinsip ukhuwah dan persatuan bangsa,” kata Zuhdi.

Senada, Muhammadiyah melalui pernyataan resminya mengingatkan bahwa aksi massa harus selalu ditempatkan dalam bingkai konstitusi. “Menghancurkan fasilitas umum bukan jihad, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap kepentingan rakyat sendiri,” ujar Prof. Haedar Nashir.

Pandangan Media Nasional

Media nasional juga banyak menyoroti fenomena ini. Harian Kompas dalam editorialnya menulis bahwa anarkisme jalanan adalah racun yang merusak legitimasi demokrasi. Media ini menilai, demokrasi tidak boleh ditafsirkan sebatas kebebasan tanpa batas, melainkan keseimbangan antara hak dan tanggung jawab.

Sementara itu, Republika menyoroti aspek moral dan sosial, dengan menekankan bahwa anarkisme merugikan rakyat kecil. Korban terbesar justru adalah masyarakat sekitar yang kehilangan rasa aman serta pedagang kecil yang tempat usahanya rusak akibat kerusuhan.

Sedangkan CNBC Indonesia menyoroti dimensi keamanan dan ekonomi. Kerusuhan jalanan dinilai dapat menurunkan kepercayaan investor sekaligus mengganggu stabilitas bisnis.

“Stabilitas politik adalah prasyarat utama pertumbuhan ekonomi. Anarkisme demonstrasi jelas mengganggu iklim investasi,” tulis CNBC Indonesia.

Contoh Kasus Anarkisme Demo 2025

BACA JUGA :  Webinar Pajak Kost: Edukasi Fiskal Bersama Yulianto Kiswocahyono

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa anarkisme bukan sekadar potensi, tetapi sudah nyata terjadi. Pada Hari Buruh (1 Mei 2025) di Semarang, peringatan May Day yang seharusnya menjadi momentum aspirasi damai justru dibajak oleh kelompok anarko. Mereka melakukan pelemparan batu, vandalisme, hingga provokasi massa. Serikat pekerja, akademisi, dan tokoh masyarakat mengecam keras aksi ini karena menodai perjuangan buruh. Polisi kemudian bertindak tegas dengan mengamankan sejumlah provokator.

Kasus lain muncul pada 29 Agustus 2025 di Malang, ketika aksi bela Affan Kurniawan—seorang driver ojol yang meninggal tragis—berujung pada kerusuhan. Massa merusak pos polisi, membakar fasilitas, dan memicu suasana mencekam. Padahal, aspirasi sudah diterima aparat. Kapolresta Malang menyebut provokasi sebagai pemicu utama, dan tindakan tegas aparat dilakukan untuk menjaga kondusivitas.

Kerusuhan semakin meluas pada akhir Agustus 2025. Gelombang protes nasional yang dipicu oleh isu tunjangan anggota legislatif serta kematian Affan berubah menjadi anarkisme berskala besar. Di Makassar, Bandung, hingga Surabaya, gedung DPRD dibakar dan kerusuhan menimbulkan korban jiwa, termasuk pegawai dan aparat. Di Jakarta, kerusuhan meluas hingga ke jalan utama, mengganggu transportasi, bahkan memicu penjarahan. Situasi ini begitu genting sehingga Presiden Prabowo membatalkan kunjungan ke Tiongkok untuk fokus menangani krisis domestik.

Instruksi Tegas Presiden Prabowo

Menanggapi situasi tersebut, Presiden Prabowo Subianto memberikan arahan langsung agar aparat keamanan bertindak tegas dan terukur.

“Tadi Bapak Presiden memerintahkan kepada saya dan Panglima khusus terkait tindakan yang bersifat anarkistis, kami TNI dan Polri diminta mengambil langkah tegas sesuai dengan ketentuan dan undang-undang yang berlaku,” tegas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, menyampaikan perintah Presiden.

Instruksi ini dipandang sebagai langkah untuk memastikan demokrasi tetap berada dalam jalurnya: memberi ruang aspirasi, namun menutup pintu bagi kekerasan dan tindakan destruktif.

Kesimpulan : Rangkaian kasus ini membuktikan bahwa anarkisme jalanan adalah ancaman nyata bagi stabilitas demokrasi Indonesia. Dari May Day di Semarang, aksi bela di Malang, hingga kerusuhan nasional Agustus 2025, semuanya menunjukkan pola yang sama: adanya infiltrasi provokator, penggunaan kekerasan, serta pengkhianatan terhadap makna sejati demokrasi.

Pakar politik menegaskan pentingnya membedakan aspirasi dengan kriminalitas, ormas Islam menekankan aspek moral dan etika, sementara media nasional mengingatkan dampaknya pada stabilitas sosial-ekonomi. Dalam konteks ini, arahan Presiden Prabowo agar TNI-Polri bertindak tegas bukanlah sekadar langkah represif, melainkan kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan demokrasi dari racun anarkisme. Demokrasi hanya bisa tumbuh sehat bila kebebasan dan ketertiban berjalan seiring, bukan saling meniadakan.

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan
Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya
Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Berita ini 74 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Rabu, 3 Desember 2025 - 15:29 WIB

Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Selasa, 2 Desember 2025 - 14:11 WIB

Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan

Selasa, 2 Desember 2025 - 12:48 WIB

Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya

Senin, 1 Desember 2025 - 20:03 WIB

Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Berita Terbaru