SUARA UTAMA — Pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Thomas “Tom” Lembong memunculkan perdebatan publik tentang arah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ke depan: apakah akan menempuh jalur rekonsiliasi nasional atau justru menabrak batas-batas etika hukum demi konsolidasi politik.
Prabowo mengirim dua surat bertanggal 30 Juli yaitu Surat Presiden Nomor R43/PRES/07/2025 tentang abolisi untuk Tom Lembong, dan Surat Presiden Nomor R42/PRES/07/2025 tanggal 30 juli 2025 tentang amnesti, termasuk buat Hasto Kristiyanto. Dua surat itu disetujui DPR RI.
Langkah ini benar terjadi, akan menjadi ujian awal bagi kredibilitas Presiden Prabowo dalam menjalankan supremasi hukum, menjaga independensi lembaga penegak hukum, sekaligus mempertahankan kepercayaan publik terhadap prinsip keadilan yang tidak tebang pilih.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Hasto dan Simbol Perlawanan Politik
Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan, sebelumnya sempat terjerat kasus dugaan menghalangi penyidikan dalam perkara Harun Masiku. Meski status hukumnya masih dinamis, sejumlah pihak dalam koalisi menyuarakan pemberian amnesti bagi Hasto sebagai simbol “pendinginan” politik pasca-Pilpres 2024.
Pendekatan ini dianggap sebagai cara merangkul faksi-faksi politik lawan untuk membangun stabilitas pemerintahan. Namun, banyak kalangan menilai bahwa memberikan amnesti kepada seseorang yang masih dalam proses hukum aktif merupakan preseden buruk.
“Amnesti seharusnya diberikan dalam konteks politik besar seperti konflik separatis atau pemberontakan. Kalau diterapkan dalam kasus dugaan obstruction of justice, itu justru bisa mencederai proses hukum,” ujar Dr. Refly Harun, pakar hukum tata negara.
Pemberian amnesti memerlukan persetujuan DPR RI, dan dalam kondisi politik saat ini, kekuatan parlemen relatif berada dalam kendali koalisi pemerintah. Namun, legitimasi moral dan politik tetap menjadi tantangan besar.
Abolisi untuk Tom: Politik atau Perlindungan Investasi?
Sementara itu, nama Tom Lembong, eks Kepala BKPM dan ekonom reformis, muncul dalam isu dugaan pelanggaran dalam pengelolaan investasi era sebelumnya. Namun belum ada proses hukum formal berjalan sejauh ini. Usulan abolisi—penghapusan tuntutan pidana sebelum proses pengadilan dimulai—dianggap sebagai bentuk penyelamatan figur penting yang punya nilai strategis dalam agenda ekonomi Prabowo.
Lembong dikenal sebagai figur teknokrat dengan jaringan internasional yang kuat. Abolisi terhadap Lembong dinilai bisa menjadi sinyal kepada pasar global bahwa Indonesia tetap ramah terhadap reformis dan investor.
“Ini bisa dibaca sebagai sinyal politik kepada kalangan luar negeri bahwa Prabowo tidak akan mengorbankan stabilitas ekonomi demi politik balas dendam,” kata Emil Salim, ekonom senior dan mantan menteri.
Namun, seperti amnesti, pemberian abolisi juga berada di bawah kewenangan Presiden. Jika dilakukan tanpa transparansi dan akuntabilitas, langkah ini dapat menimbulkan persepsi bahwa hukum hanya tunduk pada kepentingan elite.
Dinamika Politik Kekuasaan
Dari perspektif politik, manuver amnesti dan abolisi ini menempatkan Presiden Prabowo sebagai figur yang tidak hanya memegang kekuasaan administratif, tetapi juga sebagai aktor utama dalam perumusan ulang narasi keadilan dan rekonsiliasi nasional. Namun, rekonsiliasi politik tidak boleh menabrak prinsip hukum yang netral dan independen.
Menurut Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI, “Jika Presiden menggunakan hak prerogatif secara berlebihan, maka batas antara keadilan dan kekuasaan menjadi kabur. Itu berbahaya bagi demokrasi jangka panjang.”
Respons Masyarakat Sipil dan DPR
Sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti ICW dan KontraS, telah menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap kecenderungan intervensi kekuasaan eksekutif dalam proses hukum. Mereka mendesak agar setiap wacana amnesti maupun abolisi dilakukan secara terbuka dan didasarkan pada kajian hukum, bukan kalkulasi politik.
Sementara itu, di parlemen, sebagian fraksi pendukung pemerintah seperti Gerindra dan Golkar membuka opsi mendukung kebijakan ini, asal memiliki dasar hukum dan “kepentingan bangsa.”
Namun, Fraksi NasDem dan PKS justru mengingatkan agar jangan sampai kebijakan ini justru menurunkan integritas pemerintahan baru.
Tentu. Berikut versi penutup lengkap dari artikel berjudul:
“Amnesti untuk Hasto, Abolisi untuk Tom: Prabowo Uji Batas Keadilan dan Kekuasaan”
Penutup: Ujian Etika Kekuasaan dan Ketajaman Naluri Politik Prabowo
Presiden Prabowo Subianto kini berdiri di persimpangan yang krusial: antara rekonsiliasi nasional yang elegan atau pengaburan batas antara keadilan dan kekuasaan. Pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Thomas Lembong memang sah secara konstitusional, namun muatan etik, pesan politik, dan dampaknya terhadap penegakan hukum tak bisa dipisahkan dari sorotan publik.
Sebagai mantan tentara dan kini kepala negara, Prabowo tentu memahami bahwa kekuasaan bukan sekadar alat mengatur, tetapi juga sarana membangun kepercayaan rakyat. Langkah politik yang bertumpu pada pengampunan harus mempertimbangkan tidak hanya loyalitas, tetapi juga keadilan substansial.
Dalam hal ini, Prabowo diyakini menyadari betul sepak terjang penegak hukum—baik Kejaksaan, KPK, maupun Kepolisian—yang selama ini menghadapi tekanan politik, sorotan publik, bahkan krisis kepercayaan. Ia mengetahui betapa rumitnya membangun kembali supremasi hukum di negeri yang sering kali terjebak kompromi elit. Oleh karena itu, keputusan soal amnesti atau abolisi bukan semata soal memberi maaf, tetapi soal menegakkan prinsip: bahwa hukum tetap menjadi panglima.
“Presiden Prabowo tidak bisa hanya bertumpu pada kalkulasi politik jangka pendek. Ia harus memperlihatkan bahwa dirinya bukan sekadar penguasa, tapi juga negarawan,” kata Dr. Bivitri Susanti, pengamat hukum dan pendiri Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Rakyat akan menilai, apakah tindakan-tindakan ini mencerminkan visi Prabowo tentang Indonesia yang kuat, adil, dan berdaulat. Atau justru sebaliknya—memperlihatkan bahwa reformasi hukum bisa dikompromikan demi akomodasi politik.
Pada akhirnya, sejarah akan mencatat, apakah keputusan Prabowo terkait Hasto dan Tom Lembong adalah langkah rekonsiliasi berkeadilan, atau justru awal dari praktik kekuasaan yang menguji batas konstitusi dan nurani bangsa.














