SUARA UTAMA –
Pendahuluan: Seruan Presiden Prabowo tentang Kurikulum Menjaga Hutan
Dalam sebuah kesempatan nasional, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Indonesia perlu memperkuat pendidikan lingkungan sejak dini — bahkan memasukkan kurikulum menjaga hutan ke sistem pendidikan formal Hal ini untuk meningkatkan kesadaran siswa akan pentingnya menjaga alam dan mengantisipasi perubahan iklim.
Gagasannya sederhana namun fundamental: generasi muda harus mengerti bahwa hutan adalah tameng terakhir bangsa dari bencana ekologis. kata Prabowo saat sambutan pada Puncak Peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2025 di Jakarta, Jumat (28/11/2025), melansir Antara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, seruan tersebut menimbulkan pertanyaan besar:Bagaimana mungkin kita mendidik anak-anak untuk menjaga hutan, jika justru hutan-hutan di Sumatra dan daerah lain dihancurkan oleh segelintir aktor kuat yang tak tersentuh hukum?
Di sinilah ironi itu muncul: rakyat dan generasi muda diminta peduli, tetapi skala kerusakan justru berasal dari tangan mereka yang memiliki akses kekuasaan, perizinan, dan modal besar.
Bencana Sumatra: Bukan Kesalahan Warga, Melainkan Jejak Mafia Kekuasaan
Banjir besar, longsor, dan banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam dua tahun terakhir bukan hanya akibat curah hujan ekstrem. Banjir ini adalah buah dari deforestasi sistematis yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Jika hutan runtuh, maka keseluruhan sistem ekologis runtuh bersamanya. Dan di balik keruntuhan itu — ada tiga aktor besar:mafia kayu, mafia lahan, dan mafia perizinan.
Warga? Masyarakat adat?Petani desa?Mereka bukan pelaku utama.Mereka justru korban pertama.
Jejak Mafia Kekuasaan: Dari Izin Palsu hingga Pencucian Kayu
- Pembalakan liar berskala industri, bukan level rakyat kecil
Kayu-kayu besar yang muncul di aliran banjir di Sumut dan Aceh bukanlah pohon yang ditebang warga untuk kayu bakar. Ini kayu gelondongan berdiameter besar — sisa penebangan industri yang dilakukan secara masif, dengan alat berat, modal besar, dan jalur distribusi terorganisir.
- Manipulasi izin (PHAT/APL) sebagai ruang pencucian kayu
Skema mafia hutan bekerja melalui: izin lahan fiktif, pemanfaatan kawasan hutan tanpa prosedur, dokumen transportasi kayu palsu, dan “legalisasi” kayu curian dengan izin perusahaan. Sistem yang seharusnya melindungi hutan justru dimanfaatkan untuk merampasnya.
- Oknum pejabat yang ikut menikmati aliran keuntungan
Di banyak daerah, laporan aktivis lingkungan menemukan: perusahaan sawit yang masuk hingga hutan lindung, tambang ilegal yang dibiarkan beroperasi, perambahan kawasan konservasi yang tak kunjung ditindak, dan pejabat lokal yang “tutup mata”.
Tanpa perlindungan dari jaringan kekuasaan, model kejahatan lingkungan sebesar ini tak mungkin terjadi.
Narasi Menyesatkan: Menyalahkan Rakyat, Mengabaikan Penguasa
Ketika banjir datang, masyarakat desa sering menjadi kambing hitam: katanya mereka menebang pohon, membuka ladang, atau tak merawat hutan.
Padahal, warga nyaris tak punya kuasa untuk mengubah topografi, membuka lahan ribuan hektar, atau mengoperasikan alat berat di perbukitan.
Yang punya kuasa melakukan itu adalah: pemilik modal besar, korporasi, serta jaringan pejabat yang memuluskan izin.
Karena itu, menyalahkan rakyat adalah bentuk pengalihan isu yang tak bermoral.
Konteks Prabowo: Kurikulum Menjaga Hutan vs Kenyataan Politik Hutan
Gagasan Presiden Prabowo tentang kurikulum menjaga hutan adalah langkah penting.
Namun, kurikulum tidak akan berarti jika: izin pembalakan tetap longgar, pelaku kejahatan lingkungan tak diproses, aparat lapangan tak diberi perlindungan, korporasi yang merusak justru diberi konsesi baru. Pendidikan lingkungan adalah hilir.Tetapi penegakan hukum adalah hulu.
Generasi muda dapat dididik mencintai hutan — tetapi bila hutan tetap diperdagangkan oleh mafia kekuasaan, maka pendidikan berubah menjadi ironi nasional.
Pendapat Para Pakar: Bencana Ini Adalah “Kejahatan Ekologis”
Para akademisi dan aktivis lingkungan menyebut banjir Sumatra sebagai:“bencana buatan manusia” , “krisis yang lahir dari korupsi ekologis”, “efek domino dari perampokan hutan oleh pemegang kuasa izin”
Dalam laporan berulang: WALHI, organisasi konservasi internasional, dan beberapa jurnalis investigasi
menyimpulkan bahwa deforestasi di Sumatra bukanlah akibat tunggal kelalaian masyarakat, tetapi hasil gabungan modal + izin + pengawasan lemah + politik transaksional.
Inilah definisi operasional dari mafia kekuasaan.
Rakyat Menjadi Korban: Rumah Hanyut, Sawah Tenggelam, Masa Depan Terancam
Bencana ekologis selalu memukul rakyat terlebih dahulu: rumah hancur, sawah tertimbun lumpur, ternak hilang, akses jalan tertutup, sekolah rusak, dan warga mengungsi tanpa kepastian.
Sementara itu, pelaku perusakan sering lolos dari jerat hukum.Harga kemewahan mereka dibayar oleh air mata orang kampung.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Jika Presiden Prabowo ingin membangun kesadaran lingkungan nasional, maka ada dua langkah besar yang tak bisa ditawar:
- Bersihkan mafia perizinan dan mafia hutan
Ini membutuhkan:
- audit semua izin yang terbit 15 tahun terakhir,
- pembatalan izin yang bermasalah,
- penangkapan aktor besar (bukan hanya operator lapangan),
- serta perlindungan khusus bagi penyidik lingkungan.
- Jadikan kurikulum menjaga hutan sebagai gerakan nasional
Kurikulum bukan sekadar pelajaran di kelas.Ia harus menjadi gerakan: sekolah, desa, kampus, pemerintah daerah, dan industri.
Penutup: Menjaga Hutan Harus Dimulai dari Membersihkan Kekuasaan
Jika kita ingin hutan bertahan, banjir berhenti, dan generasi muda memahami pentingnya ekologi, maka perubahan paling mendasar bukan pada rakyat kecil — tetapi pada sistem kekuasaan.
Presiden benar: pendidikan lingkungan penting.Tetapi lebih penting lagi adalah politik lingkungan yang bersih, bebas dari mafia, bebas dari pemodal yang memperlakukan hutan sebagai pasar gelap.
Banjir Sumatra bukan soal rakyat yang tak menjaga hutan.Ini tentang struktur kekuasaan yang membiarkan hutan dijarah demi keuntungan segelintir orang.
Dan selama masalah itu tidak diselesaikan, kurikulum menjaga hutan hanya akan menjadi slogan yang tenggelam oleh banjir berikutnya.
Penulis : Tonny Rivani














