Oleh: Dr. Firman Tobing
Akademisi/Anggota Pusat Analisa Kajian Hukum & Ekonomi Indonesia
SUARA UTAMA, Riau – Indonesia seakan tak pernah sepi dari sengkarut kasus hukum. Berbagai fenomena terjadinya pelemahan dalam bidang supremasi hukum seolah tak pernah henti mengusik belantara politik hukum di Indonesia. Sesuatu yang tentu saja menguras konsentrasi kita, bahkan orang bertanya kapan kita bisa tenang dalam melaksanan pembangunan? Isu saling mengunci untuk kepentingan politik terus mengeruak ke berbagai penjuru seolah menggambarkan adanya ketidakberdayaan satu sama lain untuk mengungkap lebih jauh persoalan hukum yang terjadi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dunia politik memang tidak jauh dari berbagai kepentingan di belakangnya, yang secara otomatis akan diikuti oleh perseturuan panjang yang sarat dengan muatan kepentingan politik. Tekanan demi tekanan mulai pudar satu persatu sehingga berbagai kasus hukum tidak dapat terselesaikan secara tuntas, bahkan masih menyisakan segudang persoalan baru. Benturan-benturan kepentingan politik yang terjadi pada akhirnya menjadi hambatan tersendiri, bahkan yang sangat menonjol adanya upaya bargaining position untuk menekan pihak lainnya.
Perjalanan sejarah demokrasi di Indonesia telah membuktikan bahwa tidak selamanya demokrasi dilaksanakan sesuai dengan konstitusi. Kenyataan silih bergantinya sistem demokrasi di Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai lahirnya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, sampai pada munculnya reformasi menunjukkan betapa dominannya peranan (pemerintahan) negara dalam memberikan warna terhadap sistem demokrasi di Negara Indonesia. Sementara rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara dipaksa mengikuti kemauan dan kekuatan elite politik yang sedang berkuasa dalam menjalankan demokrasi.
Indonesia hari ini berdiri di persimpangan jalan yang penuh kegamangan. Di satu sisi, kita bangga dengan capaian demokrasi yang telah diperjuangkan selama dua dekade lebih. Namun di sisi lain, rakyat makin resah dengan arah kebijakan negara yang kian menjauh dari cita-cita reformasi. Ketidakpuasan terhadap lembaga legislatif, eksekutif, hingga institusi penegak hukum semakin keras terdengar. Suara rakyat kini bukan hanya kritik, melainkan teriakan. Teriakan lapar, teriakan kecewa, dan teriakan putus asa. Sementara di ruang kekuasaan, yang terdengar justru perdebatan tentang kenaikan gaji, bagi-bagi kursi, dan permainan politik yang kian vulgar.
Cita-Cita Luhur Demokrasi
Tidak bisa dipungkiri, demokrasi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam membangun budaya hukum yang berlandaskan nilai-nilai moral dan etika. Sejatinya, demokrasi bukan hanya soal prosedur pemilu atau suara mayoritas, tetapi sarat dengan nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat setiap individu. Dalam beberapa dekade, Indonesia terjebak dalam praktik demokrasi yang parsial. Sistem politik lebih fokus pada pemilu dan partai sebagai instrumen kekuasaan, tetapi melupakan prinsip demokrasi yang sesungguhnya, yaitu Pemerintahan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum dan segala bentuk kekuasaan, tindakan pemerintah dibatasi oleh konstitusi dan undang-undang. Pemerintah hanya memiliki kewenangan yang secara tegas diberikan oleh undang-undang.
Harus pula diakui bahwa penegakan hukum dan cita-cita demokrasi di Indonesia merupakan dua hal yang saling terkait. Di satu sisi penegakan hukum yang demokratis diperlukan untuk mewujudkan demokrasi yang substansial, sementara di sisi lain, demokrasi membutuhkan penegakan hukum yang adil dan tidak memihak untuk melindungi hak-hak warga negara yang juga harus selaras dengan nilai-nilai Pancasila, menjamin kesetaraan di depan hukum, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Penegakan hukum dan perkembangan demokrasi di Indonesia merupakan sebuah proses dinamis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik historis, sosial, politik, maupun budaya. Demokrasi Indonesia tidak hanya berlandaskan pada sistem pemilihan umum atau pemerintahan rakyat, tetapi juga berakar kuat pada nilai-nilai luhur Pancasila dan prinsip-prinsip konstitusional yang terkandung dalam UUD 1945. Setiap sila dalam Pancasila memberikan landasan moral dan arah dalam membangun demokrasi yang berkeadilan, menghormati hak asasi manusia, menjaga persatuan, menjunjung musyawarah, dan memperjuangkan keadilan sosial untuk semua rakyat Indonesia.
Namun dalam kenyataannya, perjalanan menuju penegakan hukum yang ideal masih menghadapi berbagai tantangan. Secara historis, warisan kolonial, konflik politik, serta transisi demokrasi membawa pengaruh besar terhadap bagaimana hukum ditegakkan di Indonesia. Dari sisi sosial, pluralisme hukum yang mencerminkan keberagaman budaya bangsa Indonesia membawa keunikan tersendiri, tetapi juga menghadirkan tantangan dalam menciptakan harmonisasi aturan. Secara politis, pengaruh kekuasaan terhadap lembaga hukum dan maraknya praktik korupsi masih menjadi hambatan besar dalam mewujudkan hukum yang benar-benar adil dan independen.
Pada akhirnya, untuk mencapai demokrasi yang sehat dan negara hukum yang kuat, Indonesia perlu untuk terus melakukan pembaruan hukum yang responsif terhadap perubahan zaman, memperkuat lembaga hukum agar bebas dari intervensi politik, dan menumbuhkan kesadaran hukum di tengah masyarakat. Semua upaya ini harus tetap berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila dan semangat konstitusi, agar cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagai negara yang adil, makmur, dan beradab benar-benar bisa terwujud di masa
depan. SEMOGA.
Penulis : Zulfaimi
Editor : Zulfaimi
Sumber Berita : Suara Utama














