SUARA UTAMA – KTT Darurat Arab–Islam yang digelar di Doha, Qatar, 14–15 September 2025, menjadi panggung dramatis pascaserangan Israel ke jantung diplomasi Doha. Dunia menyaksikan bagaimana hampir 60 negara Arab dan Islam berkumpul, dalam rangka mengutuk agresi Israel, dan merumuskan serangkaian keputusan: dari jalur hukum internasional, membuka opsi sanksi ekonomi, hingga ‘wacana’ aliansi pertahanan regional.
Namun, di balik kemeriahan diplomasi itu, viral ungkapan sarkas “KTT Doha meluncurkan ‘serangan retorika’ yang dahsyat, dan Israel membalasnya dengan ‘serangan militer’ mematikan yang meningkat di Gaza. Pertanyaan besar juga masih menggelayut: apakah KTT ini benar-benar memenuhi ekspektasi umat Muslim di dunia, ataukah sekadar menambah koleksi retorika yang berakhir di arsip komunike?
Dari Pertemuan ini mengemuka usulan senagian negara Islam Gagasan pembentukan aliansi militer antarnegara Arab kembali mencuat ke permukaan, setelah beberapa pertemuan tingkat tinggi di kawasan Timur Tengah membahas isu keamanan kolektif. Inisiatif ini bukan yang pertama; wacana serupa pernah muncul pada era Perang Dingin dan sempat menguat ketika krisis Suriah dan Yaman memuncak. Namun, kali ini pembicaraan dinilai lebih serius karena meningkatnya ketegangan geopolitik, ancaman terorisme lintas negara, serta kebutuhan menjaga stabilitas energi dunia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Latar Belakang dan Motif
Negara-negara Arab selama ini menghadapi berbagai tantangan keamanan — mulai dari konflik proksi, serangan drone ke fasilitas energi, hingga persaingan kekuatan global yang semakin nyata di kawasan. Menurut Middle East Institute, gagasan aliansi ini diharapkan dapat menjadi deterrence (daya tangkal) terhadap ancaman eksternal dan mengurangi ketergantungan pada perlindungan militer negara-negara Barat.
Selain itu, pembentukan aliansi dianggap mampu memperkuat posisi tawar negara-negara Arab di forum internasional, khususnya dalam isu Palestina, keamanan maritim Laut Merah, serta stabilitas Teluk.
Respon Para Pemangku Kepentingan
- Media Nasional & Regional
Harian Al Jazeera menyoroti peluang aliansi ini sebagai langkah strategis menuju kemandirian keamanan kawasan. Namun, Asharq Al-Awsat mengingatkan bahwa perbedaan politik antarnegara Arab bisa menjadi penghambat utama, mengingat beberapa negara memiliki kepentingan yang saling bertentangan.
- Pandangan Politisi dan Pemerhati
Menurut mantan Menteri Luar Negeri Yordania, Marwan Muasher, keberhasilan aliansi ini sangat tergantung pada kesepakatan politik yang stabil dan tidak hanya berorientasi pada ancaman jangka pendek. Ia menekankan perlunya confidence-building measures di antara negara-negara anggota sebelum aliansi resmi dibentuk.
- Analisis Akademisi
Profesor Fawaz Gerges dari London School of Economics menilai bahwa pembentukan aliansi militer Arab bisa menjadi “game-changer” di kawasan, tetapi memerlukan komitmen jangka panjang, integrasi doktrin militer, dan sistem komando terpadu. Tanpa itu, aliansi hanya akan menjadi simbol politik tanpa efektivitas nyata.
Tantangan yang Dihadapi
- Fragmentasi Politik – Perbedaan kepentingan antara negara-negara Teluk, Mesir, dan negara-negara Maghreb.
- Pendanaan – Pembentukan aliansi memerlukan biaya besar, termasuk pengadaan senjata bersama dan pusat pelatihan terpadu.
- Kepercayaan Publik – Masyarakat sipil di beberapa negara mungkin skeptis jika aliansi hanya menjadi alat intervensi dalam konflik internal negara lain.
Kesimpulan: Mencuatnya kembali rencana aliansi militer Arab menunjukkan kesadaran baru akan pentingnya kemandirian strategis di kawasan. Namun, jalan menuju realisasi masih panjang, dengan hambatan politik, ekonomi, dan sosial yang harus diatasi. Jika berhasil, aliansi ini berpotensi mengubah peta geopolitik global, mengurangi ketergantungan pada NATO dan kekuatan Barat, sekaligus memperkuat solidaritas Arab.
Pendapat Penulis: Aliansi militer Arab hanya akan efektif jika dilandasi visi kolektif yang inklusif, bukan sekadar reaksi terhadap ancaman sesaat. Perlu transformasi budaya diplomasi dari saling curiga menjadi saling percaya, sehingga aliansi ini benar-benar menjadi perisai keamanan bersama, bukan instrumen kepentingan segelintir negara.














