SUARA UTAMA – Polemik relasi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah kembali menjadi sorotan. Di berbagai daerah, wakil kepala daerah sering kali hanya menjadi “ban serep politik” tanpa peran strategis dalam pengambilan keputusan. Sementara itu, kepala daerah menjalankan pemerintahan dengan kendali penuh, nyaris tanpa pembagian kewenangan yang adil. Fenomena ini menunjukkan disharmonisasi struktural dalam sistem pemerintahan lokal di Indonesia.
Regulasi yang Bias Kekuasaan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah memegang otoritas utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Wakil kepala daerah, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 66, hanya bertugas membantu kepala daerah, dan kewenangannya sangat bergantung pada pelimpahan tugas.
“Tidak ada peran mandiri bagi wakil kepala daerah. Itu kelemahan sistem kita,” ujar Djohermansyah Djohan, pakar otonomi daerah, dalam sebuah wawancara dengan Tempo 2022. Ia menilai relasi tersebut menciptakan struktur kepemimpinan yang timpang.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Konflik Kepemimpinan yang Mencuat ke Publik
Sejumlah konflik internal antara kepala dan wakil kepala daerah sempat menjadi konsumsi publik. Kasus di Sumatera Barat, misalnya, menunjukkan bagaimana kepala daerah mengeluhkan “gangguan” dari wakilnya yang terlalu vokal, padahal justru tidak diberi peran sejak awal.
Hal serupa terjadi di beberapa daerah seperti Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur, di mana wakil kepala daerah tidak dilibatkan dalam kebijakan strategis daerah bahkan tidak diberi akses dalam penyusunan anggaran.
“Setelah terpilih, pasangan kepala dan wakil bisa saling menjauh karena dari awal hanya ‘perkawinan politik’ tanpa kesamaan visi,” ujar pengamat politik LIPI, Siti Zuhro, kepada Kompas.
Realitas Politik Lokal: Wakil Terpinggirkan
Dalam praktik politik lokal di Indonesia, relasi antara kepala daerah dan wakilnya kerap kali mengalami ketimpangan. Setelah pesta demokrasi usai, pasangan kepala dan wakil yang semula tampil kompak di panggung kampanye justru berakhir retak di balik meja birokrasi. Wakil kepala daerah sering kali dipinggirkan, baik dalam proses pengambilan kebijakan, pengelolaan anggaran, maupun keterlibatan dalam proyek strategis daerah.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menyebut bahwa struktur kewenangan dalam UU Pemerintahan Daerah memang tidak berpihak pada wakil.
“UU hanya menyebut wakil kepala daerah sebagai pembantu kepala daerah. Secara hukum, itu membuka ruang bagi kepala daerah untuk sepenuhnya memonopoli kekuasaan,” kata Feri dalam diskusi publik yang dimuat oleh Media Indonesia (2023).
Prof. Siti Zuhro, peneliti senior bidang politik LIPI, juga menyoroti persoalan ini dari sisi politik elektoral:
“Sering kali pasangan kepala dan wakil dipilih bukan karena chemistry, tapi karena kalkulasi elektabilitas. Begitu terpilih, yang terjadi adalah tarik-menarik pengaruh. Dan biasanya yang kalah adalah wakil.”
(Kompas.id, 2022)
Sementara itu, Djohermansyah Djohan, mantan Dirjen Otonomi Daerah dan akademisi IPDN, menilai bahwa banyak kepala daerah memandang wakil hanya sebagai ‘kewajiban administratif’ semata.
“Wakil sering tidak diikutsertakan dalam kebijakan daerah, tidak dilibatkan dalam penataan birokrasi. Bahkan, ada kepala daerah yang sengaja tidak memberi tugas agar wakilnya tidak menonjol.”(Tempo.co, 2021)
Fenomena ini menurut Djohermansyah menjadi preseden buruk bagi pendidikan politik masyarakat. Wakil kepala daerah yang dipilih rakyat seharusnya mendapat tempat dalam menjalankan roda pemerintahan.
Arif Susanto, analis politik dari Exposit Strategic, juga menyatakan bahwa sistem kita belum membangun kepemimpinan yang kolegial di daerah:
“Yang terjadi adalah sistem presidensial kecil-kecilan di tingkat lokal, di mana kepala daerah menjadi satu-satunya pusat kuasa. Ini berbahaya dalam konteks desentralisasi yang demokratis.”(CNN Indonesia, 2022)
Beberapa birokrat daerah yang diwawancarai oleh Detik.com ((Detik.com/ Berita Daerah, 2021) secara anonim juga mengakui bahwa mereka hanya diperintahkan untuk berkoordinasi dengan kepala daerah, bukan dengan wakil. Ini menandakan bahwa instruksi politik pun dikendalikan secara tunggal.
Implikasi, Pakar-pakar di atas menegaskan bahwa reduksi peran wakil kepala daerah bukan hanya masalah hubungan personal, melainkan masalah sistemik yang mengakar pada perundang-undangan, budaya politik, dan praktik patronase. Jika tidak ditangani, situasi ini akan terus melahirkan konflik internal dan memperlemah sistem pemerintahan lokal yang sehat dan demokratis.
Rekomendasi dan Solusi Kebijakan
Sejumlah usulan reformasi mulai mengemuka. Ketua Komite I DPD RI menyatakan bahwa perlu ada amandemen UU Pemda agar pembagian tugas antara kepala dan wakil ditetapkan secara eksplisit dan tidak bergantung pada kehendak satu pihak.
“Kita perlu desain institusional yang menyeimbangkan kekuasaan, seperti pembagian portofolio atau tanggung jawab tematik,” ujarnya dalam diskusi publik yang diliput Media Indonesia.
Pemerintah pusat juga didesak untuk membuat mekanisme mediasi ketika terjadi ketegangan antara kepala dan wakil kepala daerah. Selain itu, penting ada pelatihan kepemimpinan kolektif sebelum menjabat.
Kesimpulan: Perlu Desain Kepemimpinan yang Setara
Dominasi kepala daerah yang berlebihan dan peran wakil yang tereduksi menunjukkan cacat desain dalam sistem pemerintahan lokal Indonesia. Jika dibiarkan, ini bukan hanya persoalan hubungan personal elite politik, melainkan juga berimplikasi pada menurunnya kualitas tata kelola daerah dan terhambatnya pelayanan publik.
Wakil kepala daerah seharusnya bukan pelengkap, tapi bagian dari solusi kepemimpinan bersama.
Menurut penulis kepemimpinan ala Indonesia, yang berlandaskan Pancasila, memang menekankan pada nilai-nilai kekeluargaan dan musyawarah untuk mufakat. Hal ini sejalan dengan sila keempat Pancasila. Dalam konteks kepemimpinan, nilai-nilai ini diterjemahkan menjadi gaya kepemimpinan yang mengutamakan kebersamaan, gotong royong, dan pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak terkait.
Dalam kepemimpinan Indonesia, nilai kekeluargaan diterjemahkan sebagai semangat kebersamaan, saling membantu, dan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan individu. Pemimpin diharapkan mampu menciptakan suasana yang harmonis dan saling mendukung dalam tim atau organisasi yang dipimpinnya. Kepemimpinan yang baik adalah yang mampu mewujudkan demokrasi Pancasila dengan baik melalui musyawarah dan mufakat.
Sumber Berita : Dasar Hukum & Regulasi: 1. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah → Pasal 65–66 mengatur tugas dan kewenangan kepala dan wakil kepala daerah. 2. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;→ Mengatur pelimpahan tugas dan wewenang kepada wakil kepala daerah.; 3. Referensi Media Nasional Kompas.id, Tempo.co / Majalah Tempo, Media Indonesia, CNN Indonesia, Detik.com.














