SUARA UTAMA- Kami memanggilnya Bu Dar, sebagian menyapanya Bunda Darwati. Perempuan sederhana yang datang dengan semangat besar dan cinta yang tak pernah padam.
Suaranya tegas, kadang terkesan galak, tapi siapa pun yang mengenalnya tahu: hatinya selembut embun pagi. Ia tak segan meneteskan air mata ketika melihat kesulitan yang menimpa anak-anak didiknya, atau wali murid yang sedang terhimpit beban hidup.
Bu Darwati adalah seorang guru Taman Kanak-Kanak, berstatus Pegawai Negeri Sipil. Ia memulai pengabdiannya di Lampung Selatan, hingga pada tahun 1995 dimutasi ke Lampung Utara—tepatnya di wilayah pertambakan Kampung Bumi Dipasena Jaya, pesisir ujung timur yang saat itu masih termasuk Kecamatan Menggala, sebelum akhirnya menjadi bagian dari Kabupaten Tulang Bawang.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mulusnya jalan Mutasi ibu Darwati saat itu tidak terlepas dari peran kuat PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan di kawasan tambak.
Peran Ibu Diah, istri Kepala Desa pada masa itu, dan HRD perusahaan sangat menentukan dalam proses perpindahan Bu Darwati. Selain itu, suami beliau memang telah lebih dahulu menjadi petani plasma di kampung ini—sehingga keputusan mutasi menjadi sebuah ketetapan yang selaras antara tugas dan keluarga.
Sebelum Kampung Bumi Dipasena Jaya memiliki gedung sekolah sendiri, anak-anak di sini harus menempuh pendidikan TK dan SD di kampung sebelah: Bumi Dipasena Agung. Itu artinya, anak-anak usia dini ini harus menumpang perahu klotak menyusuri jalur air setiap hari.
Walaupun usaha utama perusahaan adalah budidaya udang tetapi PT. DCD menjadikan pendidikan sebagai prioritas. Di saat di luar sana masih banyak anak-anak yang belum mengenal bangku sekolah, di Dipasena hampir tak ada anak yang masuk SD tanpa lebih dulu mencicipi pengalaman belajar di TK.
Bu Darwati hadir pada masa itu—saat semuanya masih serba terbatas. Ia mengajar di TK Dharma Wanita dengan menggunakan panggung kayu di depan balai desa. Panggung itu sejatinya tempat acara hiburan saat peringatan hari-hari besar, namun di tangan Bu Dar, tempat itu menjadi panggung pertama anak-anak mengenal huruf, angka, lagu-lagu anak, dan kasih sayang dari seorang guru.
Saya sendiri mulai menjadi petambak pada Februari 1992. Saat itu, saya masih lajang. Saya tak ingat pasti kapan pertama kali berjumpa dengan Bu Darwati. Namun seiring waktu, karena aktif menjadi wakil ketua RT dan sering berkegiatan di kantor desa, saya mulai mengenal beliau lebih dekat. Hubungan kami pun terjalin, hingga akhirnya saya terpilih menjadi kepala kampung pertama pasca-reformasi, ketika peran perusahaan dalam pemerintahan mulai dikurangi.
Ada satu hal menarik yang membuat Bu Darwati begitu istimewa. Ia mungkin satu-satunya guru berstatus PNS yang memimpin TK Swasta—TK Dharma Wanita—selama puluhan tahun. Mungkin tak hanya di Tulang Bawang, bahkan bisa jadi satu-satunya di Lampung atau Indonesia. Bukan tanpa keluhan, tapi ia lakoni dengan rasa tanggung jawab penuh dan bahagia.
Kepemimpinan dan keteladanannya menjadikannya mentor bagi guru-guru TK di Kecamatan Rawajitu Timur dan menjadi panutan tingkat kabupaten.
Lebih dari tiga dekade mengabdi di Bumi Dipasena Jaya, Bu Darwati telah mendidik lebih dari 2.700 anak. Mereka kini tersebar di penjuru negeri, bahkan dunia. Dari anak-anak tambak yang dahulu bermain di atas panggung kayu, kini ada yang menjadi dokter, tentara, guru, pengusaha, pejabat, dan banyak lagi.
Meski memori masa TK seringkali samar dalam ingatan, namun pijakan awal kehidupan itu tetap ada. Sebab di situlah kita pertama kali belajar duduk rapi, antre, mengucap salam, dan mengenal dunia dengan riang.
Betapa jasa guru TK kerap terlupakan. Mungkin karena ingatan masa kecil yang kabur, atau karena kita merasa telah tumbuh dan tahu banyak hal. Tapi sesungguhnya, merekalah—para guru seperti Bu Darwati—yang menanam benih penting dalam hidup kita. Mereka bukan hanya mengajar, tetapi membentuk jiwa dan karakter sejak dini.
Tak hanya sebagai guru, Bu Darwati juga dikenal piawai memasak. Dalam setiap hajatan petambak, acara desa, atau kunjungan pejabat dari kecamatan, kabupaten, hingga kementerian, masakan beliau selalu menjadi andalan.
Tak terhitung berapa tamu penting yang telah mencicipi sambal dan gulai buatan tangannya. Saya pun, selama menjabat sebagai kepala kampung dua preode dan ketua P3UW, kerap menggunakan jasanya untuk menjamu tamu-tamu kehormatan.
Lebih dari itu bagi saya dan keluarga sosok Bu Darwati adalah orang yang sudah terlalu banyak jasa dan kebaikan kepada kami. termasuk mendidik anak bungsu kami Najwa Nur Fatihah sebagai alumni TK Dharmawanita Bumi Dipasena Jaya, belasan tahun lalu.
Namun waktu terus berjalan. Sepuluh tahun terakhir, kesehatan Bu Darwati mulai menurun. Sejak kepergian suaminya, Pak Buyung, terlihat bahwa semangatnya kerap diuji. Tapi ia tak pernah benar-benar menyerah. Dedikasinya tetap menyala, meski tubuh mulai menua.
Dan akhirnya, pada hari Selasa, 3 Juni lalu, dalam acara pelepasan siswa TK Dharma Wanita tahun 2025 dan serah terima jabatan kepala sekolah, Bu Darwati berpamitan. Ia resmi purna tugas sejak Mei lalu.
Kami semua menunduk haru.
Wahai Bu Darwati, guruku…
Kau cahaya pertama dalam hidup anak-anak kami,
Kau pelita di panggung kayu, tak mengenal jenuh.
Dalam diam dan kesederhanaan, baktimu terus mengalir,
Doa kami selalu menyertaimu, semoga Tuhan membalas dengan cinta yang tak berakhir.
Penulis : Nafian Faiz, Jurnalis pernah menjadi Kepala Desa 2 Preode, akitivis sosial tinggal di Lampung.














