Rawajitu Selatan – Pengalaman ini saya bagikan karena merasa kasihan dengan oknum yang mengaku-ngaku dirinya wartawan dan menakuti-nakuti dengan seenak hati. Awalnya saya hanya mendoakan setiap ada pesan yang masuk ke wa saya. Kalau yang baik biasanya menanyakan kabar, selanjutnya minta dibayar. Yang lebih parah lagi, langsung kirim nomer rekening minta transferan. Lah, emangnya saya siapanya mereka? Jangankan kenal, pernah bertemu saja, sependek ingatan saya nggak pernah. Saya pernah ladeni karena bahasa yang ramah. Ealah, ujung-ujungnya juga sama saja. Dari dikatain sombong, sampe jangan merasa sok paling suci. Dituduh korupsi sampe memperkaya diri sendiri. Saya jadi mesem sambil pengen mlipir ke Bromo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yang lebih lucunya lagi, sekolah tempat saya mengajar tidak ada rumputnya, sampe dibilang rumputnya sudah tinggi-tinggi dan sampah berserakan dimana-mana. Ish! Kalau ketemu face to face sama yang nulis berita ngaco gini pengen tak jitak sama palu rasanya, sambil tak bilangin :
“Sekolah saya lahannya terbatas, rumput mana yang tinggi-tinggi, Pakde?!”
“Sampah dibagian mananya yang berserakan? Silahkan cek sendiri, dodol!”
Ini sudah berlangsung agak lama. Pertama dapat wa dari orang yang ngakunya wartawan, saya mendoakan yang baik-baik saja. Berfikiran, mungkin mereka bingung. Kebutuhan mendesak sampai nafas terasak sesak, jadi main gasak. Selanjutnya berdatanganlah pesan-pesan serupa di hp saya. Ya Salaaam, mereka yang kurang kerjaan atau saya yang kebaperan? Sampai-sampai portal berita dikirimkan ke saya. Isi beritanya apa saudara-saudara? Tentu saja menjelekkan dan menjatuhkan nama baik saya.
Saya yang merasa tidak pernah diwawancara, merasa heran, kok, tiba-tiba ada berita tentang saya muncul? Dapet tulisan dari mana? Ngarang? Atau sekedar mengancam? Adabnya pada kemana, Pak? Bukankah wartawan juga punya adab dan etika? Apalagi sesama pemburu berita. Jangan-jangan memang wartawan gadungan, atau hantu gentayangan?
Kadang yang model beginian mencoreng citra wartawan yang sesungguhnya. Kita yang benar-benar mengejar berita sampai ngos-ngosan cari narasumbernya. Sampai tahan malu karena pas ngeliput basah kuyub. Sampe nggak peduli muka item belang panas-panasan. Lah, oknum yang datang ini, enak aja main sikat. Nulis sak karep e dewe! Mohon maaf, jangan, ya, Pak, ya! Jangan!
“Nggak malu, tah, sama bendera Indonesia yang berkibar?”
Ah, sudah dulu, ya. Insyaallah kapan waktu saya tulis lagi, tentang ‘mereka’. Tunggu part 2-nya.