SUARA UTAMA – Donald J. Trump bukan hanya tokoh politik kontroversial, ia adalah simbol dari gaya kepemimpinan baru yang mengacak-acak tatanan diplomasi global. Pada masa jabatan pertamanya (2017–2021), Trump membentuk pola komunikasi dan kebijakan luar negeri yang mengandalkan ketidakkonsistenan — sebuah pendekatan yang pada awalnya dianggap sebagai kelemahan, namun ternyata efektif dalam membentuk ulang dinamika kekuasaan global. Kini, setelah kembali menduduki kursi Presiden Amerika Serikat untuk periode kedua (2025–2029), dunia kembali dihadapkan pada babak baru dari Trumpisme Global, dengan ketidakkonsistenan yang lebih terstruktur sebagai strategi dominasi.
Masa Jabatan Pertama (2017–2021): Kebingungan yang Terencana
Pada periode pertamanya, Trump menciptakan preseden baru: membuat kebijakan besar lewat media sosial, membatalkan komitmen global secara sepihak, dan membuka negosiasi yang tampaknya impulsif namun penuh perhitungan. Ia keluar dari perjanjian iklim Paris, membatalkan kesepakatan nuklir Iran, mengguncang NATO dengan ancaman pembiayaan, serta menggiring perang dagang dengan Tiongkok ke tingkat panas.
Kebijakan zig-zag ini bukan sekadar kebingungan, melainkan sebuah bentuk “strategi guncangan”. Lawan dan sekutu dibuat tidak nyaman, tidak mampu membaca pola, dan pada akhirnya dipaksa untuk mengikuti ritme Trump. Dalam geopolitik, ketidakpastian menjadi alat negosiasi yang brutal — dan efektif.
Trumpisme sebagai Ideologi Populis Global
Trump bukan hanya fenomena Amerika. Gayanya menginspirasi pemimpin-pemimpin populis lain yang mengutamakan nasionalisme sempit, anti-globalisasi, dan sikap agresif terhadap lembaga internasional. Dari Eropa hingga Amerika Latin, gaya “berpolitik melalui konflik” menjadi tren baru. Trumpisme menjelma menjadi doktrin informal: ketegasan tanpa arah yang membuat pemimpin terlihat kuat, meski substansinya rapuh.
Kembalinya Trump (2025–2029): Babak Baru, Gaya Lama yang Disempurnakan
Kemenangan Trump di 2024 membuka kembali babak politik global yang penuh ketegangan. Namun kali ini, dunia lebih siap — tapi Trump juga lebih terlatih. Pada masa jabatan kedua, ia tidak hanya membawa gaya lama, melainkan versi lebih ekstrem dan terorganisir. Kebijakan luar negeri mulai dari isolasionisme baru hingga tekanan terhadap lembaga multilateral (seperti PBB dan WHO) kini dikombinasikan dengan teknologi digital dan AI sebagai alat propaganda.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di kawasan Indo-Pasifik, ketidakkonsistenan digunakan sebagai alat ganda: menarik sekutu sekaligus mengancam musuh. Dalam isu perubahan iklim, Trump kembali melemahkan posisi global AS di negosiasi lingkungan, namun memperkuat posisi domestik dalam sektor energi fosil. Di Palestina, Ukraina, dan Taiwan, pendirian Amerika di bawah Trump kembali berubah-ubah, mengganggu prediksi, dan memperkuat posisi tawarnya.
Strategi Plin-Plan sebagai Alat Kuasa
Banyak yang menyebut gaya ini sebagai politik plin-plan — penuh pembatalan, revisi, dan retorika berbalik arah. Namun dalam perspektif realpolitik, ini adalah strategi dominasi berbasis disorientasi. Ketika dunia tidak dapat memprediksi kebijakan Washington, maka posisi tawar AS justru meningkat. Lawan sulit merancang strategi jangka panjang, sementara sekutu menjadi lebih patuh karena takut ditinggalkan.
Dalam diplomasi klasik, kredibilitas dan konsistensi adalah nilai. Dalam Trumpisme, kebingungan adalah keuntungan.
Kesimpulan Trumpisme Global : Dunia dalam Bayang-Bayang Ketidakkonsistenan
Trumpisme bukan hanya tentang Trump. Ini adalah cerminan dari perubahan lanskap global yang lebih rentan terhadap populisme, nasionalisme sempit, dan ketidakpastian politik. Dalam dunia pasca-pandemi dan pasca-aturan tatanan global liberal, Trumpisme berkembang subur karena menawarkan solusi instan berbasis ego dan kekuatan, bukan konsensus dan komitmen.
Jika periode 2017–2021 adalah kejutan, maka periode 2025–2029 adalah konsolidasi. Trumpisme kini menjadi alat politik global — bukan karena kekuatannya dalam membangun, tetapi kemampuannya dalam merusak kepastian dan mengubah kekacauan menjadi kuasa.
Penulis : Tonny Rivani
Editor : Andre Hariyanto