Oleh: Eko Wahyu Pramono
SUARA UTAMA, Surabaya – Membaca ulang Tan Malaka hari ini bukan semata napak tilas sejarah, tetapi sebuah upaya menghadirkan kembali nalar kritis yang telah lama dikebiri oleh kekuasaan. Pemikiran Tan adalah bara yang tersembunyi dalam abu tidak terlihat, tetapi tak pernah padam.
Sayangnya, bangsa ini terlalu lama diajarkan untuk memuja pahlawan dalam citra yang aman, nyaman, dan sesuai versi negara. Tan Malaka tak pernah menjadi arus utama dalam narasi sejarah Indonesia, bukan karena kurang kontribusi, tetapi karena terlalu sulit dikendalikan oleh kekuasaan yang pragmatis.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemikirannya tentang republik sejati, kemerdekaan tanpa kompromi, dan pendidikan sebagai alat pembebasan terasa semakin relevan hari ini. Kita memang telah merdeka secara administratif sejak 1945, tetapi masih tersandera secara struktural dan kultural. Ketimpangan ekonomi, lemahnya kedaulatan rakyat dalam kebijakan publik, hingga dominasi oligarki menjadi cermin betapa kemerdekaan kita masih bersifat prosedural, bukan substansial.
Dalam karya utamanya, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), Tan tidak sekadar menulis filsafat, melainkan menawarkan metode berpikir yang rasional, kritis, dan ilmiah sesuatu yang masih langka dalam sistem pendidikan kita hari ini. Ia menulis, “Kepala rakyat kita bukan tempat takhayul, tetapi tempat berpikir.” Pernyataan ini menjadi kontras tajam dengan realitas hari ini: disinformasi menyebar lebih cepat dari data, dan hoaks sering dipercaya lebih dari hasil riset.
Kita hidup di tengah krisis nalar. Politik populis tumbuh subur karena lemahnya budaya berpikir kritis. Dalam konteks ini, Madilog bukan sekadar buku tua yang usang, tetapi bisa menjadi panduan membangun kembali akal sehat bangsa.
Lebih dari itu, Tan Malaka adalah pengingat bahwa idealisme bukanlah utopia, melainkan fondasi perubahan. Ia hidup dalam pengasingan, dikejar-kejar negara yang ia bela, dan wafat tanpa penghormatan negara. Namun gagasannya tetap hidup, karena ia bicara dari akar persoalan bangsa.
Kita sering mencibir idealisme sebagai naif, tidak realistis. Padahal, justru karena kehilangan idealisme-lah kita terjebak dalam korupsi sistemik, defisit moral, dan ketimpangan struktural. Seperti yang Tan tulis dalam Naar de Republiek Indonesia, “Seorang revolusioner tidak boleh takut miskin, menderita, atau mati.”
Maka, membicarakan Tan Malaka hari ini bukanlah soal romantisme masa lalu. Ini adalah soal masa depan. Rehabilitasi gagasan-gagasannya berarti membuka ruang berpikir baru, menyemai keberanian, dan mendidik generasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga merdeka pikirannya.
Jika kita sungguh ingin merayakan 100 tahun Indonesia merdeka pada 2045 sebagai bangsa yang benar-benar berdaulat, maka kita perlu bercermin pada pemikir seperti Tan bukan untuk mengulang sejarah, tetapi untuk menyusun masa depan dengan akal sehat, integritas, dan keberanian.
Tan Malaka mungkin bukan pahlawan dalam bingkai foto resmi di ruang-ruang kantor pemerintah. Tapi justru karena itu, ia adalah cermin paling jujur tentang arti perjuangan: tanpa pamrih, tanpa kompromi.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














