Tan Malaka, Madilog, dan Relevansi Kemerdekaan Sejati

- Penulis

Kamis, 17 Juli 2025 - 10:45 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Eko Wahyu Pramono

SUARA UTAMA, Surabaya – Membaca ulang Tan Malaka hari ini bukan semata napak tilas sejarah, tetapi sebuah upaya menghadirkan kembali nalar kritis yang telah lama dikebiri oleh kekuasaan. Pemikiran Tan adalah bara yang tersembunyi dalam abu tidak terlihat, tetapi tak pernah padam.

Sayangnya, bangsa ini terlalu lama diajarkan untuk memuja pahlawan dalam citra yang aman, nyaman, dan sesuai versi negara. Tan Malaka tak pernah menjadi arus utama dalam narasi sejarah Indonesia, bukan karena kurang kontribusi, tetapi karena terlalu sulit dikendalikan oleh kekuasaan yang pragmatis.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Tan Malaka, Madilog, dan Relevansi Kemerdekaan Sejati Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pemikirannya tentang republik sejati, kemerdekaan tanpa kompromi, dan pendidikan sebagai alat pembebasan terasa semakin relevan hari ini. Kita memang telah merdeka secara administratif sejak 1945, tetapi masih tersandera secara struktural dan kultural. Ketimpangan ekonomi, lemahnya kedaulatan rakyat dalam kebijakan publik, hingga dominasi oligarki menjadi cermin betapa kemerdekaan kita masih bersifat prosedural, bukan substansial.

Dalam karya utamanya, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), Tan tidak sekadar menulis filsafat, melainkan menawarkan metode berpikir yang rasional, kritis, dan ilmiah sesuatu yang masih langka dalam sistem pendidikan kita hari ini. Ia menulis, “Kepala rakyat kita bukan tempat takhayul, tetapi tempat berpikir.” Pernyataan ini menjadi kontras tajam dengan realitas hari ini: disinformasi menyebar lebih cepat dari data, dan hoaks sering dipercaya lebih dari hasil riset.

Kita hidup di tengah krisis nalar. Politik populis tumbuh subur karena lemahnya budaya berpikir kritis. Dalam konteks ini, Madilog bukan sekadar buku tua yang usang, tetapi bisa menjadi panduan membangun kembali akal sehat bangsa.

BACA JUGA :  Hacker Bjorka Bocorkan Data 341 Ribu Personel Polri, Sistem Keamanan Negara Terancam

Lebih dari itu, Tan Malaka adalah pengingat bahwa idealisme bukanlah utopia, melainkan fondasi perubahan. Ia hidup dalam pengasingan, dikejar-kejar negara yang ia bela, dan wafat tanpa penghormatan negara. Namun gagasannya tetap hidup, karena ia bicara dari akar persoalan bangsa.

Kita sering mencibir idealisme sebagai naif, tidak realistis. Padahal, justru karena kehilangan idealisme-lah kita terjebak dalam korupsi sistemik, defisit moral, dan ketimpangan struktural. Seperti yang Tan tulis dalam Naar de Republiek Indonesia, “Seorang revolusioner tidak boleh takut miskin, menderita, atau mati.”

Maka, membicarakan Tan Malaka hari ini bukanlah soal romantisme masa lalu. Ini adalah soal masa depan. Rehabilitasi gagasan-gagasannya berarti membuka ruang berpikir baru, menyemai keberanian, dan mendidik generasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga merdeka pikirannya.

Jika kita sungguh ingin merayakan 100 tahun Indonesia merdeka pada 2045 sebagai bangsa yang benar-benar berdaulat, maka kita perlu bercermin pada pemikir seperti Tan bukan untuk mengulang sejarah, tetapi untuk menyusun masa depan dengan akal sehat, integritas, dan keberanian.

Tan Malaka mungkin bukan pahlawan dalam bingkai foto resmi di ruang-ruang kantor pemerintah. Tapi justru karena itu, ia adalah cermin paling jujur tentang arti perjuangan: tanpa pamrih, tanpa kompromi.

 

Penulis : Odie Priambodo

Editor : Andre Hariyanto

Sumber Berita : Wartawan Suara Utama

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan
Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya
Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Berita ini 38 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Rabu, 3 Desember 2025 - 15:29 WIB

Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Selasa, 2 Desember 2025 - 14:11 WIB

Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan

Selasa, 2 Desember 2025 - 12:48 WIB

Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya

Senin, 1 Desember 2025 - 20:03 WIB

Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Berita Terbaru