Oleh: Abu Mahdi ibn Ibrohim
Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 2:
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Artinya: Kitab itu tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa.
Penggunaan isim isyarah (dzaalika) pada ayat ini yang berarti “itu,” menunjukkan suatu benda yang jauh dari orang yang menunjuk. Ini adalah i’tibar (upaya Allah yang mengajak kita berpikir) bahwa Al-Qur’an ini akan dianggap sesuatu yang jauh. Tidak semua orang berkenan mendekatinya, menerimanya, mempelajari isinya, dan beriman kepadanya.
Mengapa demikian? Bisa saja Allah menggunakan isim “haadzal kitaab” yang bermakna “kitab ini,” yang menunjukkan sesuatu yang dekat. Secara fakta, Al-Qur’an (Kalamullah) ini sudah diturunkan dan berada di tengah-tengah manusia Quraisy, yang mendengarkan langsung Rasulullah SAW membacakannya. Beberapa sahabat yang mendengarnya bahkan menuliskannya di pelepah kurma di tempat masing-masing.
I’tibar ini menegaskan pula bahwa hanya orang-orang yang benar-benar bertakwa yang akan menjadikan Al-Qur’an itu selalu dekat dengannya. Hal ini ditegaskan pada akhir ayat dengan menyebutkan kriteria orang yang akan menjadikan Al-Qur’an dekat.
Berdasarkan isim isyarah ini, terdapat pula kelompok manusia yang menyikapi Al-Qur’an dengan setengah-setengah, yaitu yu’minuuna biba’din wa yakfuruuna biba’din (beriman kepada sebagian isinya dan mengingkari sebagian lainnya). Mereka seperti Bani Israil, yang hanya mengambil bagian dari Taurat yang cocok dengan akal dan hawa nafsu mereka, sementara bagian lain yang tidak sesuai mereka abaikan.
Ketika akal dan hawa nafsu menginginkan keuntungan duniawi, sebagian ayat (aturan Allah) dalam Kitab-Nya dibuang dan digantikan dengan aturan yang menguntungkan kedudukan dan kepentingan duniawi mereka. Terutama terkait hukum dan aturan Allah yang terdapat dalam Zabur, Taurat, hingga Injil. Oleh karena itu, Allah mengingatkan agar Al-Qur’an tidak diperlakukan serupa oleh para pengikut Rasul-Nya seperti umat terdahulu yang memperlakukan kitab suci mereka.
Yang kedua, disebut Al-Kitab juga sebagai isyarat bahwa firman Allah ini, meskipun turun secara terpisah ayat-ayat dan surat-suratnya, suatu ketika—setelah proses wahyu rampung—akan mengalami kodifikasi (pembukuan) sebagaimana layaknya sebuah kitab. Larangan Nabi kepada beberapa sahabat untuk mencatat Al-Qur’an di lembaran-lembaran mereka semata-mata adalah bentuk kehati-hatian agar Al-Qur’an tidak tercampur dengan perkataan beliau (hadits).
Yang ketiga, Allah memberikan garansi bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada bagian yang patut diragukan, karena semuanya berasal dari Allah (Kalamullah). Bukan ucapan Nabi Muhammad (manusia) yang bisa salah atau dipengaruhi akal dan nafsu. Allah sendiri dalam ayat lain menjamin, “Dialah yang menurunkan Al-Qur’an ini dan akan menjaganya” dari perubahan yang mungkin dilakukan oleh tangan-tangan manusia yang ingin mencampur-adukkan yang haq dengan yang batil.
Yang keempat, Allah menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah hudan (petunjuk). Oleh karena itu, harus dijadikan sebagai acuan hidup bagi orang-orang yang mengaku bertakwa. Secara harfiah, dapat disimpulkan bahwa jika seseorang mengaku bertakwa tetapi tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup, maka patut diragukan atau belum sempurna takwanya.
Demikianlah sedikit penjelasan tentang makna surat Al-Baqarah ayat 2 ini. Semoga bermanfaat bagi para pembaca dan mampu mengubah pola pikir kita agar menjadi seseorang yang sempurna nilai takwanya. Aamiin.
Penulis : Abu Mahdi Ibn Ibrahim
Editor : Redaksi Suara Utama