– EDITORIAL –
SUARA UTAMA –Optimisme pemerintah soal pertumbuhan ekonomi nasional nyatanya belum mampu menjangkau realitas rakyat di lapangan. Di tengah klaim pemulihan ekonomi pasca pandemi dan masuknya investasi asing, sinyal-sinyal bahaya justru muncul dari akar rumput: angka pengangguran kembali meningkat, dan daya beli masyarakat menurun.
Pemandangan ini terasa nyata di kota dan desa. Pedagang pasar tradisional mengeluh sepi, buruh lepas menanti pekerjaan yang tak kunjung datang, dan generasi muda menghadapi langkanya kesempatan kerja layak. Bersamaan dengan itu, harga kebutuhan pokok terus merangkak naik. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Statistik Tak Mewakili Isi Dompet Rakyat
Badan Pusat Statistik mencatat, pengangguran terbuka mengalami kenaikan, terutama di daerah urban. Sementara itu, laporan dari berbagai lembaga menunjukkan daya beli rumah tangga menurun lebih dari 10 persen dalam setahun terakhir. Sektor informal yang selama ini menopang mayoritas rakyat justru kini berguguran satu per satu akibat lemahnya perputaran ekonomi riil.
Laporan pertumbuhan ekonomi yang tetap positif seakan tak mampu menjawab satu pertanyaan krusial: tumbuh untuk siapa?
Sumber Masalah: Fondasi Ekonomi yang Rentan
Ada empat akar persoalan utama yang patut dikritisi:
- Pertumbuhan Tak Merata
Sektor yang menyerap tenaga kerja besar—seperti pertanian, industri kecil, dan manufaktur—justru tumbuh paling lambat. Sementara investasi besar cenderung padat modal, bukan padat karya. - Upah Minimum vs Biaya Hidup
Upah minimum di banyak daerah tidak sebanding dengan kenaikan harga pangan, listrik, dan transportasi. Sistem kerja kontrak dan outsourcing juga memperlemah kepastian kerja. - Kebijakan Inflasi yang Gagal Menyentuh Rakyat
Stabilitas harga hanya terasa di ruang rapat, bukan di pasar rakyat. Kenaikan harga beras, minyak goreng, dan kebutuhan pokok lain kian menekan keluarga kelas menengah ke bawah. - Digitalisasi yang Tak Ramah Pekerja
Percepatan teknologi memang penting, tetapi harus dibarengi dengan upskilling tenaga kerja. Tanpa itu, digitalisasi hanya akan memperluas jurang pengangguran terselubung.
Risiko Sosial: Menuju Krisis Senyap?
Jika tren ini dibiarkan, kita akan menghadapi bom waktu: gejolak sosial akibat ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Anak-anak muda yang tak bekerja dan tak belajar berisiko terseret pada radikalisme, kriminalitas, atau migrasi tak terlindungi. UMKM yang lumpuh berarti lesunya ekonomi akar rumput. Kesenjangan bukan hanya persoalan ekonomi, tapi juga kestabilan nasional.
Rekomendasi: Arah Baru untuk Ekonomi Rakyat
- Fokus pada Industri Padat Karya dan UMKM
Beri insentif besar, hilangkan beban pajak yang tak perlu, dan buka akses pembiayaan yang ramah. - Perluas Pendidikan Keterampilan dan Sertifikasi Digital
Investasi sumber daya manusia harus melampaui jargon. Dana besar untuk pelatihan kerja harus menyasar kelompok rentan dan miskin kota. - Perbaiki Mekanisme Harga Pangan
Negara harus hadir dalam distribusi pangan. Stabilitas harga tak bisa diserahkan pada pasar semata. - Evaluasi Besar-besaran UU Ketenagakerjaan
Perlindungan tenaga kerja bukan penghambat ekonomi. Justru di sanalah stabilitas jangka panjang dibangun.
Penutup: Rakyat Tak Hidup dalam Statistik
Ekonomi bukan sekadar angka dalam presentasi. Rakyat hidup dari kebutuhan nyata—pekerjaan, upah layak, dan harga terjangkau. Jika pemerintah serius membangun ekonomi berkeadilan, maka titik tolaknya bukan di atas menara gading pertumbuhan, tetapi di lorong-lorong pasar dan kampung-kampung yang mulai kehilangan harapan.
Pengangguran dan daya beli adalah indikator paling jujur dari keberhasilan atau kegagalan arah pembangunan.














