SUARA UTAMA – Sebelumnya, Bahlil Lahadalia, ketua umum Partai Golkar, mengusulkan agar pemilihan kepala daerah di pemilu mendatang cukup dilakukan melalui DPRD. agar pilkada yang digelar tidak begitu kompleks.
Usul itu disampaikan Bahlil langsung di hadapan Prabowo dan Gibran saat HUT ke-61 Golkar, di Istora Senayan, Jakarta, Jumat (5/12/2025). Menanggapi usulan Golkar tersebut, Prabowo mengaku bakal mempertimbangkannya.
Isu reformasi pemilihan kepala daerah kembali mencuat setelah Presiden Prabowo Subianto membuka kemungkinan model Pilkada yang kembali mengandalkan DPRD sebagai pihak pemilih.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Wacana ini sontak memunculkan pro dan kontra: apakah gagasan tersebut merupakan upaya efisiensi politik dan perbaikan tata kelola demokrasi, atau justru langkah mundur yang mengurangi hak rakyat?
Dalam lanskap demokrasi Indonesia yang masih menghadapi praktik politik uang, mahalnya biaya kontestasi, dan polarisasi yang kerap berulang setiap lima tahun, gagasan Presiden Prabowo perlu dibaca secara lebih jernih.
Usulan ini bukan sekadar perubahan teknis, tetapi menawarkan reorientasi politik lokal—yakni memindahkan proses pemilihan dari kontestasi langsung yang mahal menuju mekanisme representatif yang lebih terstruktur.
Pilkada Langsung dan Tantangan Biaya Demokrasi
Sejak diberlakukan pada 2005, Pilkada langsung memiliki nilai historis: rakyat dapat memilih pemimpinnya secara langsung. Namun praktik di lapangan menunjukkan problem serius:
- Biaya politik yang sangat tinggi, mendorong kandidat melakukan transaksi politik atau sponsor ekonomi yang kelak menjadi pintu masuk korupsi.
- Politik uang semakin menggurita, karena transaksi terjadi secara masif di akar rumput.
- Polarisasi sosial, terutama di daerah-daerah dengan basis identitas yang kuat.
- Banyak kepala daerah terjerat korupsi, salah satunya karena ongkos Pilkada yang tidak sebanding dengan kapasitas ekonomi kandidat.
Dengan kata lain, Pilkada langsung memberi ruang partisipasi maksimal, tetapi membawa beban yang semakin terasa bagi demokrasi kita.
Gagasan Prabowo: Model DPRD yang Dikawal Kedaulatan Rakyat
Prabowo tidak bicara tentang menghapus hak rakyat. Ia bicara tentang menata ulang mekanisme pemilihan, bukan menghilangkan suara rakyat. Ada tiga poin yang menjadi kunci:
- Kedaulatan rakyat tetap di tangan rakyat
Rakyat masih memilih anggota DPRD melalui Pemilu. Artinya, ketika DPRD diberi mandat memilih kepala daerah, yang bekerja adalah mandat rakyat yang sudah dititipkan melalui wakil-wakilnya.
Model ini bukan hal baru:
- Jepang, Korea Selatan, sebagian provinsi di India, hingga banyak negara Eropa menerapkan model serupa.
- Demokrasi modern mengenal pemilihan tidak langsung yang tetap demokratis, seperti pemilihan presiden AS oleh electoral college.
Yang menentukan demokratis atau tidaknya bukan mekanismenya, tetapi akuntabilitas dan transparensinya.
- Mengurangi biaya politik yang berlebihan
Dengan menghilangkan kampanye besar-besaran, biaya Pilkada bisa ditekan signifikan.
Kandidat tidak perlu “membeli” suara massal, melainkan fokus pada gagasan, program, dan rekam jejak dalam forum-forum resmi DPRD.
Ini potensial menurunkan risiko korupsi pasca terpilih.
- Mekanisme checks and balances menjadi lebih stabil
Jika DPRD yang memilih, maka hubungan DPRD–kepala daerah menjadi lebih terstruktur.
Konflik anggaran, ego politik, dan tarik-menarik kepentingan bisa diminimalisasi.
Namun ini tentu membutuhkan koridor hukum yang kuat:
- proses pemilihan harus terbuka untuk publik,
- suara setiap anggota DPRD tercatat dan dapat dipantau,
- ruang publik untuk memberi masukan harus tetap tersedia.
Mengapa Model Ini Tidak Menggebiri Hak Rakyat?
Konsep “hak rakyat” dalam demokrasi tidak identik dengan “memilih langsung”.
Demokrasi adalah kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui dua cara:
- secara langsung (direct democracy),
- secara perwakilan (representative democracy).
Indonesia secara keseluruhan mengadopsi sistem perwakilan.
Rakyat tidak memilih Kapolri, hakim agung, atau menteri secara langsung, tetapi tetap memiliki hak politik.
Begitu juga dengan mekanisme Pilkada melalui DPRD—selama prosesnya:
- transparan,
- dipertanggungjawabkan,
- berorientasi pada kepentingan publik,
- dipagari aturan anti-transaksi politik,
maka hak rakyat tidak hilang—yang berubah hanya alatnya, bukan esensinya.
Hak rakyat tetap terjaga karena mereka:
- tetap memilih DPRD yang menentukan pemimpin daerah,
- tetap dapat mengawasi prosesnya,
- tetap bisa menuntut pertanggungjawaban wakilnya.
Di sinilah letak argumentasi bahwa gagasan Prabowo tidak otomatis mengurangi hak rakyat, selama mekanisme diatur dengan standar demokrasi modern.
Tantangan yang Perlu Diantisipasi
Tentu saja, model pemilihan oleh DPRD memiliki risiko:terbukanya peluang transaksi antar-elite,partai politik bisa semakin dominan, potensi barter jabatan.
Namun risiko tersebut dapat ditekan melalui regulasi seperti:
- Voting DPRD wajib terbuka, tidak boleh tertutup.
- Proses fit and proper test wajib disiarkan publik.
- KPU menjadi pengawas independen, bukan sekadar panitia teknis.
- Sanksi pidana berat untuk transaksi politik.
Jika koridor ini dibangun, mekanisme DPRD dapat menjadi lebih sehat daripada Pilkada langsung yang selama ini sarat biaya dan rentan politik uang di tingkat akar rumput.
Penutup: Menata Demokrasi Lokal dengan Keberanian Politik
Wacana Prabowo ini bukan tentang kembali ke masa lalu, tetapi membuka ruang diskusi tentang masa depan demokrasi lokal. Kita perlu jujur melihat fakta di lapangan: Pilkada langsung menghadirkan partisipasi, tetapi juga menciptakan beban politik dan ekonomi yang besar.
Perubahan mekanisme bukan berarti mundur, selama penekanannya tetap pada kedaulatan rakyat, transparansi, dan integritas proses.
Demokrasi tidak mati hanya karena bentuknya berubah. Demokrasi justru tumbuh ketika kita berani memperbaikinya.
Penulis : Tonny Rivani












