SUARA UTAMA – Di tengah ketidakpastian global, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jenderal (Purn) A.M. Hendropriyono kembali menggugah publik dengan gagasan besarnya yang ia sebut sebagai “Manifesto Filsafat Intelijen”. Manifesto ini tidak sekadar refleksi pengalaman panjang di dunia intelijen, tetapi juga peringatan keras bahwa dunia kini sedang dilanda gelombang Proxi War—perang tanpa deklarasi, perang tanpa batas, dan perang yang melibatkan aktor-aktor non-negara dengan kepentingan tersembunyi.
Proxi War: Perang di Balik Tirai
Perang proksi, dalam pandangan Hendropriyono, adalah fenomena geopolitik modern di mana konflik tidak lagi berlangsung secara langsung antarnegara, tetapi diwakilkan melalui pihak ketiga. Bentuknya bisa berupa konflik ideologi, perang informasi, intervensi ekonomi, hingga infiltrasi budaya. Negara-negara besar menggunakan kekuatan teknologi, media sosial, dan jaringan global untuk mengarahkan opini publik, memecah belah persatuan bangsa, bahkan menjatuhkan rezim tanpa peluru ditembakkan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Indonesia, dengan posisi geostrategis dan kekayaan sumber daya alamnya, tidak luput dari tarikan arus tersebut. Ancaman proxy bisa datang melalui isu SARA, penyebaran hoaks, tekanan ekonomi, maupun radikalisme transnasional.
Manifesto Filsafat Intelijen
Hendropriyono menegaskan bahwa intelijen bukan hanya kerja teknis di lapangan, melainkan sebuah “filsafat”—cara berpikir menyeluruh tentang menjaga eksistensi bangsa. Intelijen dalam kacamata filosofis tidak berhenti pada pengumpulan informasi, tetapi menjadi alat pertahanan eksistensial untuk memastikan bangsa tidak runtuh oleh pengaruh eksternal.
Manifesto ini mengajak masyarakat memahami bahwa intelijen adalah “pagar tak terlihat” yang melindungi republik. Ia mendorong lahirnya kesadaran kolektif bahwa setiap warga negara harus melek terhadap ancaman proksi, mulai dari ruang digital hingga ruang politik.
Tantangan Indonesia di Tengah Arus Global
Opini media nasional menilai gagasan Hendropriyono relevan dengan kondisi terkini. Perang Rusia–Ukraina, ketegangan Laut China Selatan, serta kompetisi Amerika Serikat–China menunjukkan bagaimana negara-negara besar mengeksekusi strategi proksi. Dalam skala domestik, potensi gesekan sosial di Indonesia sering kali dipicu narasi yang disebarkan dari luar negeri untuk melemahkan kohesi nasional.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia menekankan bahwa peringatan Hendropriyono adalah alarm penting: “Kita tidak boleh memandang enteng proxy war. Bentuknya bisa halus, tapi daya rusaknya menghancurkan,” ujarnya.
Korelasi Aksi Rusuh Demo dan Pusaran Proxi War Global
Fenomena rusuh dalam aksi unjuk rasa di berbagai daerah di Indonesia beberapa waktu terakhir juga tidak bisa dilepaskan dari konteks pusaran proxi war global. Hendropriyono dalam berbagai pandangannya kerap menekankan bahwa proxi war tidak selalu hadir dalam bentuk konfrontasi militer, tetapi justru menyusup dalam dinamika politik domestik dan gejolak sosial masyarakat.
Aksi unjuk rasa pada dasarnya adalah ekspresi demokrasi yang sah. Namun, ketika muncul pihak-pihak yang memanfaatkan momentum tersebut untuk menyulut kerusuhan, menyebarkan narasi provokatif, hingga memicu bentrokan antara aparat dan masyarakat, di situlah indikasi “tangan tak terlihat” dari kepentingan proksi bisa terbaca.
Media nasional menyoroti bahwa pola penyusupan dalam aksi massa sering kali memiliki karakter serupa dengan pola destabilisasi yang terjadi di berbagai negara lain: infiltrasi isu sensitif, pendanaan terselubung, hingga operasi informasi di media sosial. Semua ini sejalan dengan strategi proxi war yang bertujuan melemahkan legitimasi pemerintah, menciptakan instabilitas politik, dan membuka celah bagi kepentingan asing untuk masuk.
Sejumlah pakar intelijen menilai, bila tidak ditangani dengan cerdas, aksi rusuh bisa menjadi pintu masuk perang proksi—di mana konflik sosial domestik dimanfaatkan sebagai alat tawar-menawar geopolitik. Bahkan, Presiden Prabowo dalam beberapa pernyataannya menegaskan bahwa aparat harus sigap mengamankan unjuk rasa agar tetap dalam koridor demokrasi, sekaligus menindak tegas provokator yang menyusup membawa agenda destruktif.
Dengan demikian, korelasi aksi rusuh dengan pusaran proxi war global jelas terlihat: apa yang tampak sebagai kericuhan lokal bisa saja merupakan bagian dari strategi besar untuk menggerogoti ketahanan nasional.
Antara Pesimisme dan Harapan
Sebagian pihak menilai bahwa pandangan Hendropriyono cenderung “pesimistis” karena terlalu menekankan ancaman global. Namun, bagi banyak pengamat, pesimisme ini justru adalah bentuk kewaspadaan strategis. Di era serba terbuka, waspada bukan berarti takut, melainkan cerdas dalam membaca peta kekuatan global.
Hendropriyono, lewat Manifesto Filsafat Intelijen-nya, sejatinya mengingatkan publik bahwa kedaulatan tidak hanya dipertahankan dengan senjata, tetapi juga dengan kesadaran kolektif dan kecerdasan bangsa.
Penutup, Dunia memang berada dalam pusaran Proxi War. Namun, bangsa yang mampu membaca arus dan menyiapkan strategi akan tetap berdiri tegak. Indonesia tidak boleh lengah. Manifesto Hendropriyono seharusnya tidak hanya dibaca sebagai doktrin intelijen, melainkan juga sebagai seruan moral: agar negara, masyarakat sipil, akademisi, hingga media bersama-sama menjaga republik ini dari gempuran yang tidak kasatmata.














