Korupsi, Moralitas Publik, dan Diamnya MUI: Tugas yang Terlupakan

- Penulis

Senin, 27 Oktober 2025 - 13:52 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gambar Ilustrasi Perilaku Korupsi/Tonny rivani -  Wartawan SUARA UTAMA.

Gambar Ilustrasi Perilaku Korupsi/Tonny rivani - Wartawan SUARA UTAMA.

SUARA UTAMA – Korupsi di Indonesia bukan sekadar kejahatan hukum, tetapi krisis moral yang telah menggerogoti sendi-sendi sosial bangsa. Ironisnya, di tengah masyarakat yang religius, perilaku korupsi justru menjamur hingga ke lingkaran kekuasaan. Dalam situasi ini, peran lembaga keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) semestinya menjadi benteng moral yang mengingatkan umat bahwa korupsi bukan hanya tindak pidana, melainkan dosa besar. Pernyataan tegas Presiden Prabowo Subianto tentang pembersihan koruptor dan analisis Prof. Mahmud Erol Kilic dari Turki soal lemahnya etika di masyarakat religius menjadi cermin: apakah MUI telah menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar dalam perang melawan korupsi?

Religiusitas Tinggi, Moralitas Rendah

Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat religiusitas tinggi. Hampir setiap ruang publik dihiasi simbol keagamaan; kegiatan spiritual tumbuh pesat. Namun, di balik itu, laporan Transparency International menunjukkan indeks persepsi korupsi Indonesia masih tergolong rendah di Asia Tenggara.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Korupsi, Moralitas Publik, dan Diamnya MUI: Tugas yang Terlupakan Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Fenomena ini menunjukkan paradoks: agama dijalankan secara ritual, tetapi gagal diimplementasikan dalam etika publik.
Seperti dikatakan oleh Profesor Mahmud Erol Kilic, pakar tasawuf asal Turki:

“Banyak negara Islam sangat religius secara formal, tetapi tetap korup. Ulama terlalu fokus pada ibadah ritual dan melupakan pendidikan etika sosial. Tak banyak yang menegaskan bahwa korupsi itu haram.”

Kilic menilai bahwa sebagian masyarakat bahkan menganggap uang hasil korupsi bisa “ditebus” dengan sedekah atau pembangunan masjid — sebuah pemahaman keliru yang menunjukkan lemahnya kesadaran moral. Ia menyebut, “agama yang berhenti pada ritual tanpa kesadaran etis hanyalah formalitas spiritual.”

Pernyataan ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia, di mana moralitas publik seolah tercerabut dari akar nilai keagamaan. Di sinilah MUI seharusnya memainkan peran moral strategis: mengarahkan umat agar memahami bahwa korupsi adalah pengkhianatan terhadap amanah Ilahi.

Dasar Agama: Korupsi adalah Dosa dan Pengkhianatan

Dalam Al-Qur’an, peringatan terhadap perilaku khianat terhadap amanah muncul berulang kali.Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”(QS. An-Nisa [4]: 58)

Dan juga:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim…”(QS. Al-Baqarah [2]: 188)

Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa korupsi bukan hanya kejahatan hukum, tetapi juga pelanggaran terhadap perintah Tuhan.
Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda:

“Allah melaknat penyuap dan penerima suap.”

Dengan demikian, sikap permisif terhadap korupsi—baik secara langsung maupun dengan diam—adalah bentuk pembiaran terhadap kemunkaran. MUI, sebagai lembaga ulama, memiliki tanggung jawab keagamaan untuk menegaskan hal ini kepada seluruh lapisan masyarakat dan pejabat publik.

MUI dan Amanat yang Terabaikan

Majelis Ulama Indonesia berdiri dengan mandat menjaga kemurnian ajaran Islam dan menuntun moral umat. Namun dalam isu korupsi, suara MUI sering kali hanya bergema sesaat setelah muncul kasus besar, tanpa diikuti gerakan moral berkelanjutan.

Padahal, pada tahun 2000-an, MUI pernah mengeluarkan fatwa bahwa korupsi adalah haram dan tergolong kezaliman sosial. Sayangnya, fatwa ini tidak dikembangkan menjadi gerakan sistematis. Tidak ada kurikulum dakwah antikorupsi yang kuat, tidak ada khutbah nasional yang terarah, dan jarang ada tindakan konkret mendampingi penegak hukum dalam pendidikan moral publik.

Akibatnya, peran MUI sebagai penjaga moral publik menjadi lemah.
Padahal, dengan jangkauan dan pengaruhnya di seluruh Indonesia, MUI memiliki posisi unik untuk menanamkan nilai kejujuran, integritas, dan amanah dari tingkat masjid hingga pemerintahan daerah.

Seperti diingatkan Profesor Kilic, ulama seharusnya “tidak hanya mengajar cara beribadah, tetapi juga mengajarkan bagaimana hidup bermoral di tengah kekuasaan dan harta.”

BACA JUGA :  Tertangkap Tangan dan OTT dalam Konteks Hukum Pemberantasan Korupsi

Presiden Prabowo: Negara Akan Bertindak Tanpa Pandang Bulu

Presiden Prabowo Subianto dalam sejumlah pidato nasional menegaskan bahwa pemberantasan korupsi adalah prioritas moral dan politik pemerintahannya.
Dalam arahannya kepada pejabat negara, ia berkata tegas:

“Bersihkan dirimu sebelum kau akan dibersihkan, dan kau akan dibersihkan, pasti.”

Pada kesempatan lain, ia menyebut:

“Korupsi adalah penyakit berbahaya. Kalau sudah stadium empat, sangat sulit disembuhkan. Karena itu kita harus cegah sejak dini.”

Prabowo juga mengingatkan bahwa perang melawan korupsi tidak boleh hanya bergantung pada hukum, tetapi membutuhkan revolusi mental dan moral. Ia mengajak generasi muda menjadi pengawas publik yang aktif:

“Kalau ada bukti pelanggaran, laporkan. Jangan diam. Kesetiaan kepada bangsa lebih tinggi daripada kesetiaan kepada individu.”

Pernyataan ini menunjukkan upaya pemerintah untuk membangun narasi baru: bahwa pembersihan moral adalah bagian dari pembangunan nasional. Tetapi komitmen ini memerlukan dukungan moral dari lembaga keagamaan agar transformasi etika benar-benar berakar.

Analisis: Sinergi antara Hukum dan Moral

Perang melawan korupsi tidak akan berhasil bila hanya mengandalkan hukum positif. Hukum menakut-nakuti, tetapi moral mencegah sebelum terjadi.
MUI memiliki kapasitas membentuk moral publik, sementara pemerintah memiliki kekuatan hukum untuk menindak pelanggar. Keduanya seharusnya berjalan seiring — moral di hulu, hukum di hilir.

Namun kenyataannya, sinergi itu belum terlihat kuat. Pemerintah berbicara tentang penegakan hukum, sementara lembaga agama masih terjebak dalam urusan formal keagamaan. Padahal, ajaran Islam menuntut ulama untuk menjadi suara kebenaran di hadapan kekuasaan. Rasulullah SAW bersabda:

“Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud)

Hadis ini menegaskan bahwa peran ulama bukan hanya mendidik umat, tetapi juga menegur penguasa bila amanahnya disalahgunakan.

Dengan demikian, MUI seharusnya tidak ragu mengeluarkan sikap keras terhadap pejabat atau aparat yang terbukti melakukan korupsi, bahkan jika mereka berasal dari kelompok politik atau sosial tertentu. Diam berarti ikut membiarkan kemunkaran berlanjut.

Refleksi: Ulama Sebagai Cermin Bangsa

Sejarah mencatat bahwa kebangkitan moral bangsa selalu dimulai dari keberanian tokoh agama. Di masa perjuangan kemerdekaan, ulama menjadi penggerak perlawanan terhadap penjajahan dan ketidakadilan. Kini, musuh bangsa bukan lagi kolonialisme asing, melainkan kolonialisme moral dari keserakahan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Jika MUI berani berdiri di garda depan melawan korupsi, menyerukan dari mimbar ke mimbar bahwa korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Allah dan rakyat, maka agama akan kembali menjadi sumber pencerahan sosial.

Namun jika ulama terus bungkam dan hanya mengurusi hal-hal kecil seputar fikih ritual, maka mereka akan kehilangan peran sejarahnya sebagai pelita moral bangsa.

Penutup  : Korupsi adalah cermin dari ketimpangan antara iman dan moral. Profesor Kilic mengingatkan bahwa religiusitas tanpa etika hanya menghasilkan kemunafikan sosial. Presiden Prabowo menegaskan bahwa negara akan bertindak tanpa pandang bulu terhadap koruptor. Kini giliran MUI untuk menegakkan amanahnya: menghidupkan kembali amar ma’ruf nahi munkar dalam ruang publik.

Sebab, sebagaimana firman Allah:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d [13]: 11)

Perubahan itu harus dimulai dari hati, dari kesadaran moral setiap individu, dan dari keberanian lembaga keagamaan untuk bersuara demi kebenaran.
Jika agama benar-benar hadir dalam etika publik, maka Indonesia tidak hanya akan menjadi bangsa religius, tetapi juga bangsa yang jujur dan bermartabat.

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan
Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya
Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Berita ini 150 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Rabu, 3 Desember 2025 - 15:29 WIB

Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Selasa, 2 Desember 2025 - 14:11 WIB

Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan

Selasa, 2 Desember 2025 - 12:48 WIB

Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya

Senin, 1 Desember 2025 - 20:03 WIB

Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Berita Terbaru