Opini Publik
SUARA UTAMA – Pandeglang, 14 November 2025 – Fenomena abu halus yang berjatuhan di wilayah dalam radius empat hingga sepuluh kilometer dari PLTU 2 Labuan kini berubah menjadi keresahan massal. Dari Pagelaran hingga Patia, dari Labuan sampai Cikedal, warga mulai terbiasa menyapu abu setiap pagi seperti ritual wajib yang tidak pernah mereka minta. Atap rumah menghitam, kaca buram, lantai cepat kotor, dan daun tanaman terselimuti lapisan debu yang tidak pernah berhenti datang. Ironisnya, semua ini terjadi di saat co-firing sedang dipromosikan sebagai inovasi energi bersih yang ramah lingkungan.
Co-firing, yang menggabungkan pembakaran sekam padi dengan batu bara, terdengar manis saat dipresentasikan di forum-forum energi hijau. Namun apa gunanya teknologi yang dipuji dalam seminar iklim jika masyarakat yang tinggal di sekelilingnya justru menghirup polusi setiap hari. Laporan terlihat hijau, tetapi udara di bawah cerobong justru kelabu.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Warga merasakan dampak paling nyata. Sekam padi yang dibakar bersama batu bara menghasilkan partikel halus PM2.5 yang bisa masuk jauh ke dalam paru-paru. WHO dan EPA sudah lama memberi peringatan bahwa paparan PM2.5 meningkatkan risiko ISPA, asma, iritasi paru, gangguan jantung, hingga kanker paru-paru. Warga mungkin tidak membaca jurnal medis, tetapi mereka sangat tahu kapan batuk menjadi lebih sering dan kapan napas terasa lebih pendek. Anak-anak cepat sakit, orang tua makin sulit bernapas, dan keluhan pernapasan meningkat seiring turunnya abu.
Belum lagi gas polutan lain yang dilepas saat pembakaran berlangsung, sulfur dioksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, dan karbon dioksida. Semua gas yang tak tampak ini perlahan mengubah kualitas udara di pagi hari menjadi lebih pedih, sementara tanaman warga mulai menunjukkan gejala stres. Daun menguning, layu, hingga proses fotosintesis terganggu akibat abu yang menutup permukaannya. Silika dalam abu sekam padi memang berguna di industri keramik atau konstruksi, tetapi ketika menempel pada daun singkong atau padi, ceritanya berbeda. Hasil panen menurun dan produktivitas pertanian ikut tergerus pelan-pelan.
Yang membuat situasi ini semakin rumit adalah praktik kotor yang terjadi di hulu rantai pasokan. Para pengusaha suplayer sekam padi diduga secara terbuka mencampurkan sekam dengan air untuk memperberat timbangan saat mengirim ke PLTU 2 Labuan. Tidak sembunyi-sembunyi. Tidak takut-takut. Semua berlangsung seperti hal biasa, seolah hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil. Pembakaran sekam basah membuat emisi semakin buruk, mesin pembakaran bekerja lebih berat, dan polusi udara meningkat karena kualitas bahan bakar yang jauh dari standar.
Praktik ini bukan hanya merusak udara, tetapi juga merugikan negara. Ketika sekam basah dipasok secara terus-menerus, efisiensi PLTU menurun dan konsumsi energi meningkat. Kerugian operasionalnya pada akhirnya ditanggung negara. Jika praktik ini berlangsung bertahun-tahun, kerugian negara bisa mencapai angka yang tidak kecil. Sebuah kebocoran yang dibiarkan mengalir tanpa audit, tanpa pemeriksaan, dan tanpa tindakan tegas dari instansi berwenang.
Masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU seolah menjadi korban percobaan dari narasi energi bersih. Mereka diminta percaya bahwa co-firing ramah lingkungan, sementara atap rumah, kebun, dan paru-paru mereka mengungkapkan cerita yang berbeda. Jika udara adalah ruang hidup semua orang, mengapa warga harus menanggung risiko terbesar dari kebijakan yang katanya untuk masa depan yang lebih hijau.
Pertanyaan yang perlu dijawab oleh pemerintah bukan lagi apakah co-firing ramah lingkungan. Pertanyaannya adalah: ramah untuk siapa? Karena bagi warga Pagelaran, Labuan, Patia, dan Cikedal, yang mereka rasakan bukan masa depan energi hijau, melainkan masa depan yang abu-abu.
Penulis : IdGunadi Turtusi
Editor : IdGunadi Turtusi
Sumber Berita : Keluhan Masyarakat Pagelaran dan Labuan














