SUARA UTAMA – Pemblokiran rekening nasabah oleh pihak bank tanpa pemberitahuan resmi dan transparansi kini menjadi sorotan tajam publik. Praktik sepihak tersebut tidak hanya dinilai melanggar prinsip perlindungan konsumen, tetapi juga membuka peluang gugatan hukum terhadap bank.
Kasus-kasus pemblokiran rekening tanpa alasan yang jelas atau pemberitahuan tertulis kepada nasabah makin sering terjadi, terutama seiring dengan meningkatnya kewaspadaan terhadap tindak pidana pencucian uang dan transaksi mencurigakan. Namun, para pakar hukum menegaskan bahwa prosedur hukum harus tetap ditegakkan tanpa melanggar hak-hak nasabah sebagai warga negara.
Pakar Hukum: Bank Bisa Digugat Jika Tak Penuhi Asas Kehati-hatian
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dr. Muzakir, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), menegaskan bahwa bank sebagai penyelenggara jasa keuangan tetap terikat oleh prinsip due process of law dan asas kehati-hatian.
“Jika bank melakukan pemblokiran tanpa dasar hukum yang jelas atau tidak memberitahu nasabah secara resmi, maka itu bisa digugat secara perdata maupun dilaporkan ke OJK dan BI. Dalam hukum perdata, itu masuk ke ranah wanprestasi atau perbuatan melawan hukum,” jelasnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Luhut MP Pangaribuan, Ketua Asosiasi Pengacara Pasar Modal Indonesia (APPMI). Ia menilai bahwa bank tidak boleh serta-merta membekukan akses terhadap dana nasabah kecuali atas perintah pengadilan atau lembaga yang berwenang seperti PPATK.
Politisi Soroti Keseimbangan Antara Keamanan dan Perlindungan Nasabah
Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati, menyatakan keprihatinannya atas praktik pemblokiran rekening tanpa komunikasi yang jelas dari pihak bank.
“Memang kita semua mendukung upaya pemberantasan kejahatan finansial. Namun, lembaga keuangan juga wajib melindungi hak konstitusional nasabah. Jangan sampai masyarakat yang tidak bersalah menjadi korban sistem,” tegas politisi dari Fraksi PKS tersebut.
Sementara itu, Fadhil Hasan dari Fraksi PAN mengusulkan agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera menyusun regulasi yang lebih tegas dan akuntabel dalam prosedur pemblokiran rekening.
Media Nasional dan Opini Publik: Transparansi Adalah Kunci
Media nasional seperti Kompas dan Tempo pernah menyoroti kasus serupa. Dalam laporan investigatifnya tahun lalu, Kompas mencatat ada puluhan keluhan nasabah yang merasa dirugikan akibat rekening diblokir secara sepihak oleh bank tanpa kejelasan, bahkan dalam jumlah transaksi yang tidak mencurigakan.
“Bank memang harus patuh pada regulasi anti pencucian uang, tetapi tidak bisa mengabaikan aspek transparansi,” tulis Tempo dalam tajuk rencana edisi Desember 2024.
Regulasi: PPATK dan UU TPPU Tidak Memberi Kewenangan Absolut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) memang memberikan kewenangan kepada PPATK untuk meminta bank melakukan pemblokiran sementara. Namun, proses ini tetap harus dibarengi dengan pemberitahuan kepada nasabah serta jangka waktu yang ketat, maksimal 20 hari kerja.
“PPATK hanya berwenang mengajukan permintaan, tapi bank yang memutuskan eksekusi. Jika bank melakukannya tanpa komunikasi atau melampaui wewenang, maka itu berpotensi cacat hukum,” ujar Erwin Natosmal, mantan komisioner OJK.
Penutup: Waspada dan Kritikal terhadap Kewenangan Lembaga Keuangan
Kasus pemblokiran rekening tanpa pemberitahuan menjadi alarm penting bahwa penguatan regulasi perlindungan konsumen jasa keuangan masih menjadi PR besar di Indonesia. Nasabah berhak atas informasi, klarifikasi, dan proses hukum yang adil.
Masyarakat diimbau untuk tidak hanya pasrah jika mengalami pemblokiran rekening. Konsultasi dengan advokat dan melaporkan ke OJK atau Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) dapat menjadi langkah awal untuk mendapatkan keadilan.
“Dalam negara hukum, tidak ada lembaga yang kebal dari gugatan. Termasuk bank,”
— Dr. Margarito Kamis, pakar hukum tata negara














