SUARA UTAMA – Selama lebih dari tujuh dekade, penderitaan rakyat Palestina seolah menjadi luka abadi di wajah kemanusiaan dunia. Namun kini, di tengah tekanan global, suara keadilan mulai menggema semakin lantang. Israel, yang selama ini berlindung di balik retorika keamanan dan dukungan politik negara-negara besar, kini menghadapi titik balik sejarah — penghujung dari kejahatan panjang terhadap bangsa Palestina.
Kejahatan yang Tersusun Rapi
Agresi yang dilakukan Israel bukan sekadar perang mempertahankan diri, tetapi bentuk kolonialisme modern yang tersusun sistematis: pendudukan tanah, blokade ekonomi, penghancuran infrastruktur sipil, hingga pembunuhan massal terhadap warga sipil, termasuk anak-anak dan jurnalis. Fakta-fakta ini terus menumpuk, menjadi bukti nyata kejahatan kemanusiaan yang sulit dibantah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejumlah lembaga internasional, termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International, telah lama mengklasifikasikan tindakan Israel sebagai bentuk apartheid dan pembersihan etnis. Namun sayangnya, Dewan Keamanan PBB kerap lumpuh oleh veto politik, terutama dari Amerika Serikat, yang menutup jalan keadilan bagi rakyat Palestina.
Dunia Mulai Berbalik Arah
Gelombang kesadaran global kini mulai berubah arah. Ratusan ribu orang di berbagai kota dunia turun ke jalan menuntut penghentian genosida di Gaza. Negara-negara Selatan Global—termasuk Indonesia, Afrika Selatan, dan Brasil—menjadi kekuatan moral yang menekan perubahan sikap dunia.
Langkah berani Afrika Selatan menggugat Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ) membuka babak baru: bukan lagi perang opini, tapi pertempuran hukum di tingkat tertinggi dunia. Di ruang pengadilan itu, kejahatan yang selama ini ditutupi narasi propaganda, mulai terbuka satu per satu.
Retaknya Legitimasi Moral Israel
Israel kini bukan lagi sekadar negara kecil yang dikelilingi musuh, tetapi simbol dari kekuasaan yang kehilangan legitimasi moral. Serangan membabi buta terhadap rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah telah memperlihatkan wajah sejati penjajahan modern. Dunia, yang dulu diam, kini mulai bicara.
Bahkan sebagian sekutu tradisional Israel di Barat mulai goyah. Di kampus-kampus besar Amerika dan Eropa, mahasiswa serta akademisi menolak diam atas penderitaan Palestina. Narasi “perang melawan teror” yang dulu efektif membungkam kritik kini kehilangan daya. Dunia telah melihat: yang dibunuh bukan teroris, melainkan manusia biasa yang ingin hidup merdeka di tanahnya sendiri.
Saat Kebenaran Menuntut Balas
Keadilan mungkin datang terlambat, namun sejarah membuktikan — tak ada kekuasaan zalim yang abadi. Israel mungkin masih memiliki kekuatan militer, namun kehilangan simpati dunia berarti kehilangan benteng terakhirnya: legitimasi moral.
Kini, ketika gambar reruntuhan Gaza terpampang di layar dunia, ketika anak-anak Palestina menjadi saksi bisu kebiadaban zaman, kebenaran sedang menuntut balas. Balas bukan dalam arti kebencian, tetapi dalam bentuk keadilan yang ditegakkan, dan kemerdekaan yang diakui.
Penutup: Sejarah akan mencatat: siapa yang berdiri di sisi kemanusiaan, dan siapa yang memilih diam. Di penghujung kejahatan Israel terhadap Palestina, dunia tidak lagi membutuhkan retorika kosong. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian moral untuk berkata — cukup sudah.














