Dari Nusantara ke BRICS: Mungkinkah Semangat Bhineka Tunggal Ika Menjadi Etos Baru Peradaban Dunia?

- Penulis

Rabu, 9 Juli 2025 - 13:04 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto : President Prabowo Subianto at the second day of the 2025 BRICS Summit, held at the Museum of Modern Art, Rio de Janeiro, Brazil, Monday (07/07). (Photo by: BPMI of Presidential Secretariat).

Foto : President Prabowo Subianto at the second day of the 2025 BRICS Summit, held at the Museum of Modern Art, Rio de Janeiro, Brazil, Monday (07/07). (Photo by: BPMI of Presidential Secretariat).

SUARA UTAMA –

“Unity does not mean uniformity, but harmony in diversity.”
— Frithjof Schuon, filsuf perenialis

Sebuah Pertanyaan Filosofis Global ?

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Dari Nusantara ke BRICS: Mungkinkah Semangat Bhineka Tunggal Ika Menjadi Etos Baru Peradaban Dunia? Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Diawali dengan pelaksanaan KTT BRICS di Brasil pada tanggal 6-7 Juli 2025 dengan keikutsertaan para anggota Tetap dan anggota Mitra resmi, yang telah selesai dan sukses dalam gelora eventnya, maka saya mencoba memberi sumbang saran pemikiran yang mendukung keberadaan organisasi Kerjasama BRICS itu sendiri agar maju dan membantu anggotanya dalam pembangunan negara menuju kemakmuran yang berkeadilan.

Kita memandang saat ini dalam dunia yang semakin terpolarisasi oleh kepentingan ekonomi-politik dan identitas kebangsaan yang kaku, muncul pertanyaan yang menggugah kesadaran kolektif: mungkinkah semangat Bhineka Tunggal Ika—semboyan kuno dari Nusantara yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu”—dapat dijadikan dasar nilai dalam kerja sama internasional seperti BRICS?

Sebagai simbol filsafat sosial-politik yang lahir dari realitas keberagaman etnis, agama, dan budaya di Indonesia, Bhineka Tunggal Ika memiliki muatan universal yang relevan dengan tantangan global. BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) sebagai poros ekonomi-politik alternatif dunia, terus mencari bentuk baru kerja sama multipolar yang adil dan inklusif. Di sinilah relevansi nilai-nilai khas Indonesia dapat diuji dalam konteks global.

    I. Bhineka Tunggal Ika: Nilai Filosofis yang Menembus Zaman

Konsep Bhineka Tunggal Ika, berasal dari kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular abad ke-14, bukan hanya semboyan politik, melainkan etos filosofis yang menjunjung pluralitas sebagai kekuatan, bukan ancaman. Dalam filsafat politik, ini mencerminkan pendekatan pluralisme ontologis, yang meyakini bahwa realitas terbentuk dari keberagaman yang saling terhubung.

Prof. Franz Magnis-Suseno, filsuf dari STF Driyarkara, menyebutkan bahwa:
Bhineka Tunggal Ika bukan sekadar toleransi pasif, tapi pengakuan aktif bahwa keberagaman adalah bagian tak terpisahkan dari kebaikan bersama.

Dalam konteks global, pandangan ini menjadi sangat relevan ketika perbedaan budaya, sistem politik, dan kepentingan ekonomi menjadi titik gesekan utama dalam hubungan antarnegara.

    II. BRICS: Alternatif Global atau Pengulangan Hegemoni?

BRICS terbentuk sebagai reaksi atas dominasi unipolar Barat, dengan tujuan menciptakan tatanan dunia yang lebih seimbang. Namun, keberagaman latar belakang negara anggota—dari demokrasi pluralistik seperti Brasil dan India, hingga negara otoriter seperti Tiongkok dan Rusia—membuat BRICS bukan sekadar aliansi ekonomi, tapi juga eksperimen geo-filosofis.

Joseph Nye, pakar hubungan internasional dari Harvard University, mengingatkan bahwa:
BRICS memiliki potensi besar, tetapi tanpa nilai bersama, kerja sama ini bisa menjadi rapuh.

Dalam konteks ini, konsep seperti Bhineka Tunggal Ika bisa memberi kontribusi pemikiran: bukan menyamakan perbedaan, tapi mencari titik perjumpaan di tengah keberagaman.

III. Pandangan Tokoh Dunia: Ruang untuk Nilai Kemanusiaan Global

Seiring meningkatnya ketegangan global akibat konflik geopolitik, kesenjangan ekonomi, dan krisis iklim, berbagai pemimpin dunia mulai menekankan perlunya tatanan global baru yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas, dan multikulturalisme.

António Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, dalam pernyataannya pada Sidang Umum PBB 2023 menegaskan:

“Kita hidup di dunia yang terfragmentasi, tetapi masa depan kita saling terkait. Dunia membutuhkan sistem kerja sama internasional yang tidak dibangun atas dominasi, tapi pada solidaritas, keadilan, dan penghormatan atas keragaman.”

Guterres menekankan pentingnya multilateralisme yang inklusif dan menghormati keunikan budaya dan sistem politik masing-masing negara—nilai-nilai yang senada dengan semangat Bhineka Tunggal Ika.

Presiden Cyril Ramaphosa (Afrika Selatan), saat membuka KTT BRICS 2023, mengatakan:
BRICS harus menjadi contoh kerja sama Selatan-Selatan yang menjunjung kesetaraan dan martabat semua bangsa. Kita bukan hanya membangun kekuatan ekonomi, tapi tatanan baru yang manusiawi.

BACA JUGA :  Skandal ‘Kotak Pandora’ di Kemenkeu: Purbaya Ungkap, Jokowi & Sri Mulyani Diminta Pertanggungjawaban

Presiden Lula da Silva (Brasil) kembali menekankan bahwa BRICS bukanlah antitesis dari Barat, melainkan “suara alternatif yang memperjuangkan dunia multipolar yang lebih adil.” Ia menegaskan perlunya “etika kolektif baru” dalam hubungan internasional yang menjunjung perbedaan sebagai kekayaan.

Presiden Xi Jinping (Tiongkok) menegaskan perlunya “harmony without uniformity”—konsep klasik Tiongkok yang selaras dengan semangat Bhineka Tunggal Ika—di mana negara-negara dengan sistem dan budaya berbeda tetap dapat hidup berdampingan tanpa mengorbankan identitas masing-masing.

Narendra Modi (India) mempromosikan filosofi Vasudhaiva Kutumbakam (seluruh dunia satu keluarga) yang menjadi semangat KTT G20 di India 2023. Nilai ini memperkuat gagasan bahwa etika kebersamaan lintas perbedaan adalah landasan tatanan global baru yang diharapkan.

Sementara itu, dari perspektif keagamaan dan spiritualitas global:

Nilai-nilai hidup berdampingan dalam keberagaman sejatinya juga menjadi benang merah spiritualitas agama-agama besar dunia. Prinsip ini memperkuat bahwa Bhineka Tunggal Ika bukan hanya konsep politik atau kebangsaan, tetapi juga memiliki resonansi teologis yang dalam.

Paus Fransiskus, dalam ensiklik Fratelli Tutti (2020), menegaskan bahwa:
“Hidup bersama secara damai dalam masyarakat plural menuntut kita membangun budaya dialog, saling menghargai, dan solidaritas manusia yang mendalam.” Ia secara aktif mendorong fraternitas global yang dibangun bukan di atas dominasi iman mayoritas, melainkan penghargaan antarpemeluk agama sebagai sesama manusia.

Dalam berbagai pernyataan internasional, konsisten mengajak bangsa-bangsa untuk meninggalkan politik dominasi dan mengejar solidaritas global:
Dunia membutuhkan politik yang tidak dibangun atas kekuasaan, melainkan pelayanan; bukan ideologi, tapi kasih.

Syekh Ahmed el-Tayeb, Imam Besar Al-Azhar, dalam Document on Human Fraternity (2019) yang ditandatanganinya bersama Paus Fransiskus, menyatakan:
“Agama sejati tidak pernah menghasut kekerasan, kebencian, atau perpecahan. Justru sebaliknya, ia adalah jembatan untuk saling mengenal dan bekerja sama.”

Dalai Lama XIV, pemimpin spiritual Tibet, dalam berbagai forum internasional menyampaikan:
“Perdamaian tidak dapat dicapai melalui senjata, tetapi melalui pengertian lintas budaya dan lintas agama. Kita semua manusia, dan agama hanyalah jalan berbeda menuju kebaikan yang sama.”

Patriark Bartholomew I, pemimpin tertinggi Gereja Ortodoks Timur, dalam pidatonya di Green Attica Symposium (2018) mengingatkan:
“Keragaman adalah bagian dari kehendak Tuhan. Tugas kita bukan menaklukkan yang berbeda, tetapi mencintainya dalam keharmonisan ciptaan.”

Rabbi Jonathan Sacks, pemikir Yahudi dan mantan Kepala Rabi Inggris, dalam The Dignity of Difference (2002) menulis:
“Perdamaian sejati bukan tentang memaksakan keseragaman, melainkan mengembangkan simpati dan hormat di tengah ketidaksamaan. Tuhan menciptakan keragaman agar manusia saling melengkapi.”

Dari tradisi Hindu, Sri Sri Ravi Shankar, tokoh spiritual dan pendiri Art of Living Foundation, menyatakan:
“Keragaman adalah wajah Tuhan. Dunia yang damai hanya mungkin ketika kita mengenali dan menghargai perbedaan sebagai ekspresi dari satu kesadaran universal.”

Pandangan para pemuka agama dunia ini menunjukkan bahwa spiritualitas lintas agama mengafirmasi pentingnya hidup dalam harmoni, meski dalam keberagaman keyakinan dan budaya. Inilah semangat yang selaras dengan makna terdalam dari Bhineka Tunggal Ika.

Dengan demikian, upaya membumikan semboyan ini di panggung global bukan hanya berpijak pada dimensi politik atau filosofis, tapi juga spiritual—yang menyentuh kesadaran terdalam umat manusia sebagai makhluk berjiwa dan bermoral.

Sumber Berita : Referensi: • Magnis-Suseno, F. (2004). Etika Politik. Gramedia. • Nye, Joseph. (2023). Soft Power and the Future of BRICS. Harvard Review. • The Economist. “Indonesia’s Moral Role in BRICS+,” July 2024. • Kompas Editorial, “Nilai-Nilai yang Bisa Ditawarkan Indonesia,” Agustus 2024. • Forum BRICS Summit 2023 – pidato resmi kepala negara. • Wawancara Dr. Dewi Fortuna Anwar, CSIS, 2024.

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan
Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya
Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Berita ini 29 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Rabu, 3 Desember 2025 - 15:29 WIB

Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Selasa, 2 Desember 2025 - 14:11 WIB

Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan

Selasa, 2 Desember 2025 - 12:48 WIB

Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya

Senin, 1 Desember 2025 - 20:03 WIB

Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Berita Terbaru