SUARA UTAMA – Wacana Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mengambil alih pengelolaan jalan desa kembali memantik diskusi nasional mengenai batas kewenangan antara pemerintah provinsi dan pemerintah desa. Upaya ini dinilai sebagian pihak sebagai langkah percepatan pembangunan infrastruktur, namun sejumlah pakar menilai bahwa kebijakan tersebut berpotensi mengikis otonomi desa yang telah diperjuangkan melalui UU Desa.
Sorotan Media Nasional: Antara Efisiensi dan Kekhawatiran Sentralisasi
Sejumlah media nasional memberi respons beragam terhadap wacana ini.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Harian Kompas menuliskan bahwa langkah Pemprov Jabar “perlu diawasi ketat” karena berpotensi menimbulkan praktik sentralisasi baru dalam tata kelola desa. Dalam laporannya, Kompas menilai bahwa pengambilalihan kewenangan jalan desa “tidak boleh menghilangkan fungsi musyawarah desa sebagai lembaga akar rumput pembangunan lokal”.
Tempo dalam rubrik editorialnya menyoroti bahwa masalah utama kerusakan jalan desa bukan hanya anggaran, tetapi juga kualitas perencanaan, pengawasan, dan kapasitas teknis di tingkat desa. Tempo menulis: “Alih kelola bukan solusi tunggal. Masalah tata kelola tidak serta-merta selesai dengan memindahkan kewenangan ke provinsi.”
Sementara CNN Indonesia menyoroti sisi politiknya, yaitu kekhawatiran bahwa inisiatif ini justru dapat dipakai untuk memperluas kontrol pemerintah provinsi terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa menjelang kontestasi politik di berbagai daerah. CNN menulis bahwa kebijakan seperti ini “harus diukur dengan indikator objektif, bukan kepentingan elektoral”.
Pendapat Pakar Perencanaan Desa:Jangan Korbankan Kemandirian Desa
Sejumlah pakar perencanaan desa, governance, dan kebijakan publik memberikan analisis kritis terhadap wacana ini.
- Dr. Wijayanto Prasetyo — Pakar Perencanaan Wilayah dan Desa, UGM
Menurut Dr. Wijayanto, persoalan jalan desa tidak bisa diselesaikan hanya dengan memindahkan kewenangan.
“Masalah utama bukan siapa yang mengelola, tetapi bagaimana standar teknis dibuat, bagaimana desa didampingi secara profesional, dan bagaimana pengawasan dilakukan secara ketat. Jika provinsi mengambil alih sepenuhnya, desa akan kehilangan momentum belajar dan membangun kapasitasnya.”
Ia menekankan bahwa pembangunan desa harus mengedepankan partisipasi masyarakat, bukan digantikan pendekatan top-down.
- Prof. Retno Kartikasari — Guru Besar Kebijakan Publik dan Desa, IPB
Prof. Retno mengingatkan bahwa UU Desa memberikan ruang besar bagi desa untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri.
“Mengambil alih kewenangan jalan desa tanpa batasan jelas dapat menjadi preseden buruk. Desa akan menjadi pasif dan tergantung. Padahal semangat UU Desa adalah memperkuat ‘desa membangun’, bukan ‘desa dibangunkan’.”
Ia hanya mendukung pengambilalihan sebagai langkah darurat, misalnya untuk jalan strategis lintas wilayah atau desa berkategori sangat tertinggal.
- Eki Somantri — Peneliti Desa di Institute for Local Development
Dalam komentarnya yang dikutip media, Eki menyoroti risiko menurunnya kontrol sosial.
“Masyarakat lebih mudah mengawasi pembangunan yang dikelola desa. Saat berpindah ke provinsi, prosesnya lebih jauh dari warga dan bisa mengurangi transparansi.”
Menurutnya, pembangunan jalan desa bukan hanya proyek fisik, tetapi juga ruang pemberdayaan tenaga lokal, mulai dari tenaga kerja setempat hingga UMKM bahan bangunan desa.
- Sri Andayani — Konsultan Perencanaan Infrastruktur Desa
Sri menilai bahwa pengambilalihan bisa dilakukan secara selektif dan berbasis data kerusakan.
“Provinsi dapat masuk untuk jalan desa dengan dampak ekonomi tinggi, misalnya jalur penghubung sentra pangan, wisata, atau kawasan industri kecil. Namun desa tetap harus dilibatkan dalam penentuan prioritas.”
Baginya, co-management adalah jalur tengah yang paling ideal.
Pandangan Perangkat Desa
Sejumlah kepala desa dan asosiasi perangkat desa menyampaikan kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat “mematikan” semangat partisipasi masyarakat. Mereka menekankan bahwa pembangunan infrastruktur desa tidak hanya soal fisik, melainkan juga pemberdayaan tenaga lokal.
Analisis Media: Masalah Bukan Semata Anggaran, Tapi Sinergi
Media nasional sepakat bahwa:
- Permasalahan jalan desa bersifat struktural, bukan sekadar kurang anggaran.
- Banyak desa belum memiliki tenaga teknis bersertifikat.
- Pengawasan pekerjaan konstruksi sering tidak terstandarisasi.
- Koordinasi antara kabupaten–desa kerap lemah.
Namun solusinya bukan otomatis dengan menarik kewenangan ke provinsi.
Alih-alih, media menekankan pentingnya: pendampingan teknis provinsi, standarisasi konstruksi, penguatan kapasitas desa, skema pendanaan bersama.
Risiko Kebijakan Jika Tidak Dikontrol
- Erosi otonomi desa dan kembalinya pola sentralisasi.
- Penurunan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan.
- Ketidaksesuaian prioritas lokal, karena keputusan dibuat di tingkat provinsi.
- Berpotensi menimbulkan konflik kewenangan antara desa–kabupaten–provinsi.
- Mengurangi peluang pemberdayaan ekonomi warga desa dari pembangunan infrastruktur.
Rekomendasi Pakar dan Media Nasional
- Selektif, bukan total: provinsi masuk hanya untuk jalan strategis.
- Skema kolaboratif (co-management): provinsi menyediakan anggaran dan teknis, desa menentukan prioritas dan pengawasan sosial.
- Dana Khusus Jalan Desa (DKJD) dari provinsi dengan standar teknis provinsi namun tetap dikerjakan bersama desa.
- Audit kerusakan jalan desa berbasis data digital dan pemetaan geospasial.
- Pelatihan insinyur desa agar desa dapat bertahan dalam jangka panjang.
Kesimpulan: Jalan Tengah Lebih Rasional
Wacana Pemprov Jabar mengambil alih jalan desa tidak sepenuhnya salah, namun tidak bisa dilakukan secara sepihak dan menyeluruh.
Pakar perencanaan desa dan media nasional menegaskan bahwa:
Percepatan infrastruktur memang penting, Tapi kemandirian desa jauh lebih penting untuk masa depan tata kelola lokal.
Solusi terbaik bukan menarik kewenangan, tetapi menguatkan desa sambil memberi dukungan teknis dari provinsi.














