Opini: “Demokrasi yang Disandera Oligarki: Kritik Tajam Haedar Nashir atas Krisis Politik dan Ekonomi Indonesia”

- Penulis

Selasa, 25 November 2025 - 14:32 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto Ilustrasi Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si – Doktor Politik Islami

Foto Ilustrasi Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si – Doktor Politik Islami

SUARA UTAMA – Indonesia — negeri yang berdiri atas cita-cita luhur: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Namun sebagaimana disoroti oleh Haedar Nashir, kenyataannya menyimpan distorsi serius: politik dan ekonomi yang terkonsentrasi pada segelintir elite, oligarki yang menjalar ke ruang ­ruang kebijakan, dan demokrasi yang terancam kehilangan makna substantif. (kumparan)

Tulisan ini akan membedah kritik Haedar Nashir terhadap tiga ranah utama — politik, ekonomi, dan oligarki — sekaligus menawarkan refleksi atas arah langkah perbaikan yang mungkin.

Politik: Dari Demokrasi ke “Politik Transaksional”

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Opini: “Demokrasi yang Disandera Oligarki: Kritik Tajam Haedar Nashir atas Krisis Politik dan Ekonomi Indonesia” Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Haedar Nashir menegaskan bahwa praktik politik di Indonesia semakin menyimpang dari makna demokrasi yang sehat. Diantara hal yang ia soroti:

  • Demokrasi transaksional; sistem di mana politik bukan soal visi dan pelayanan publik, tetapi soal pertukaran kepentingan, “siapa memberi siapa” dan kekuatan uang serta jaringan yang menentukan. (SINDOnews)
  • Hukum yang dipolitisasi — sebagai kritiknya: “hukum mengalami proses politicking” — artinya sistem peradilan atau regulasi dapat dijadikan instrumen untuk tujuan politik, bukan murni penegakan keadilan. (kumparan)
  • Ketiadaan ruang bagi keberagaman pendapat dan kritik; masyarakat mulai enggan bersuara berbeda karena takut dikucilkan atau tersangkut mekanisme kekuasaan dan jaringan. (kumparan)

Dalam pandangan Haedar, semua fenomena ini menyimpang dari semangat awal bangsa – bahwa negara ini “milik semua”, bukan “milik elite”. (Pimpinan Pusat Aisyiyah)

Kesimpulan Politik: Demokrasi formal memang ada, namun demokrasi substantif — berupa partisipasi bermakna, kontrol publik, dan akuntabilitas — mengalami kemunduran akibat oligarki politik.

Ekonomi: Tantangan Keadilan dan Kesejahteraan

Dalam ranah ekonomi, Haedar Nashir juga membawa kritik keras:

  • Ia menyebut bahwa dominasi oligarki ekonomi — di mana segelintir pihak menguasai aset strategis, konsesi dan sumber daya alam — menambah beban rakyat dan memperlebar kesenjangan sosial. (Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kendal)
  • Kebijakan ekonomi yang cenderung liberal pasca-reformasi, menurutnya, telah meninggalkan elemen nasionalisme ekonomi, elemen keadilan sosial dan kedaulatan rakyat atas sumber daya negara. (Muhammadiyah)
  • Kesenjangan yang melebar: ketika sebagian kecil meraup keuntungan besar, masyarakat luas masih berjuang untuk sandang-pangan dasar, dan kemerdekaan tak cukup terasa dalam kehidupan sehari-hari. (radarsuara)

Kesimpulan Ekonomi: Kesejahteraan sosial sebagai bagian dari janji kemerdekaan belum terwujud secara merata; pemerataan, pemerintahan yang pro-rakyat dan ekonomi nasional yang kuat perlu segera direvitalisasi.

Oligarki: Akar Penyekat Menuju Negara Milik Semua

Menyatukan dua ranah di atas adalah elemen oligarki — sebuah kata yang terus diulang oleh Haedar Nashir:

  • Oligarki sebagai struktur kekuasaan yang menyatukan politik dan ekonomi dalam tangan segelintir pihak, sehingga kontrol atas institusi publik, kebijakan dan sumber daya menjadi terkonsentrasi. (Suara Muhammadiyah)
  • Ia menegaskan bahwa oligarki dalam bentuk apa pun — politik, ekonomi, atau sosial — bertentangan dengan semangat nasionalisme Indonesia. (Muhammadiyah)
  • Dominasi oligarki menciptakan paradoks kemerdekaan: setelah 80 tahun merdeka, bangsa ini masih menghadapi penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, konsesi yang merugikan, dan kesenjangan sosial yang dirasa sebagai “ironi pahit”. (radarsuara)

Kesimpulan Oligarki: Bila akses ke kekuasaan dan sumber daya tetap dikuasai oleh sedikit pihak, maka cita-cita “Indonesia milik semua” hanyalah jargon tanpa realitas.

Implikasi dan Arah Perubahan

Berdasarkan kritik dan refleksi Haedar Nashir, kita bisa merumuskan beberapa implikasi dan arah perubahan yang bisa diambil:

  1. Revitalisasi kontrol publik dan transparansi : Agar kebijakan politik dan ekonomi tidak hanya melayani elite, mekanisme kontrol rakyat—melalui media yang bebas, partisipasi masyarakat, serta lembaga pengawas independen—harus diperkuat.
  2. Penegakan hukum yang adil dan tak pilih-kaki: Hukum tidak boleh menjadi alat politik; harus menjadi instrumen yang konsisten menegakkan keadilan bagi semua pihak, terutama yang lemah.
  3. Pembatasan dan pengaturan oligarki:  Berbagai bentuk konsentrasi kekuasaan harus dicegah — baik dalam perusahaan besar yang memiliki akses ke kebijakan publik, maupun dalam politisi-pengusaha yang memanfaatkan sistem untuk keuntungan pribadi.
  4. Ekonomi kerakyatan dan keadilan sosial: Pemerintah harus menegakkan prinsip bahwa rakyat memiliki bagian yang adil dalam pertumbuhan ekonomi dan sumber daya nasional; bukan hanya pasar bebas yang melayani kepentingan modal besar.
  5. Rekonstruksi budaya politik kebangsaan: Mengembalikan semangat bahwa negara ini “milik semua” dan bukan “milik segelintir elit”. Pendidikan politik, kesadaran kebangsaan, dan etika kekuasaan harus diperkuat dari akar.

saya sambungkan pemikiran tiga tokoh besar dengan ulasan Haedar Nashir agar membentuk kerangka refleksi yang utuh:

  1. Pandangan Soekarno

– Soekarno menegaskan pentingnya “kedeka­tan berdikari” — yakni Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri, tidak tergantung sepenuhnya pada kekuatan asing.

– Ia juga menekankan konsep gotong royong dan nasionalisme yang inklusif: bahwa sesama warga bangsa harus saling bahu-membahu agar cita-cita negara tercapai.

– Gagasan ‎Trisakti-nya: kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam budaya.

– Dalam konteks ulasan Haedar Nashir, gagasan Soekarno relevan sebagai pijakan bahwa jika politik hanya melayani oligarki dan ekonomi hanya meraup keuntungan segelintir pihak — maka semangat berdikari dan gotong royong tadi terkelupas.

  1. Pandangan Muhammad Hatta
BACA JUGA :  Memimpin Tanpa Menyalahkan

– Hatta melihat demokrasi bukan hanya politik formal, tetapi “demokrasi kerakyatan” — di mana rakyat tidak hanya berdaulat, namun juga bertanggung jawab atas kedaulatannya. Setneg+1

–  Ia yakin bahwa ekonomi nasional harus berbasis kerakyatan — lewat koperasi, kebersamaan, partisipasi rakyat — bukan semata-mata sistem kapitalis market bebas.

– Dalam kontras dengan Haedar Nashir yang menyoroti oligarki dan konsentrasi kekuasaan: pandangan Hatta mengingatkan bahwa jika kekuasaan dan sumber daya tidak tersebar secara adil, maka demokrasi dan ekonomi kerakyatan akan tergerus.

  1. Gagasan Prabowo Subianto: Asta Cita
  • Prabowo menegaskan perlunya sistem politik yang “khas Indonesia” — artinya tidak sekadar mengadopsi model demokrasi Barat secara mekanistik, tapi mengedepankan nilai-nilai lokal, pluralitas, dan keunikan bangsa. detiknews
  • Pada ranah ekonomi, gagasannya termasuk mengurangi ketergantungan luar negeri dan memperkuat kemandirian nasional (swasembada pangan dan industri dalam negeri) yang sejalan dengan logika berdikari yang dulu diusung Soekarno.
  • Hubungan dengan kritik Haedar Nashir: jika sistem politik dan ekonomi tetap dikuasai oleh oligarki, maka gagasan Prabowo tentang sistem politik khas dan ekonomi kemandirian akan sulit diimplementasikan secara substantif.

Integrasi Pandangan dalam Penutup

Dalam sesi kesimpulan artikel, saya akan mengaitkan keempat kerangka pemikiran ini sebagai berikut:

  • Haedar Nashir menyoroti bagaimana politik, ekonomi, dan oligarki saling terkait — ia mengingatkan bahwa demokrasi formal tanpa penguatan substansi kontrol rakyat dan keadilan ekonomi akan mudah dikuasai oleh segelintir elite.
  • Soekarno dan Hatta memberikan fondasi filosofis: Soekarno dengan kedaulatan, berdikari, gotong royong; Mohammad Hatta dengan demokrasi kerakyatan dan ekonomi berbasis rakyat — yang bisa menjadi arah normative bagi pembaruan.
  • Prabowo menempatkan urgensi transformasi sistem: politik khas Indonesia + ekonomi kemandirian — yang secara praktis bisa menjadi roadmap reformasi jika akar-masalah yang disoroti Haedar Nashir ditangani.
  • Dengan demikian bahwa: untuk membebaskan demokrasi dari sandera oligarki, Indonesia mesti menghidupkan kembali nilai-nilai Soekarno-Hatta plus menerjemahkannya dalam sistem kontemporer sebagaimana digagas Prabowo — dan menjadi kritik aktif sebagaimana Haedar Nashir yang mengingatkan bahaya konsentrasi kekuasaan.

Penutup: Merajut Arah Baru Indonesia – Menghubungkan Pikiran Soekarno, Hatta, Prabowo, dan Haedar Nashir

Kritik Haedar Nashir mengenai problem politik, ekonomi, dan oligarki di Indonesia bukan sekadar alarm moral, tetapi seruan agar bangsa ini tidak tersesat jauh dari cita-cita pendirinya. Haedar mengingatkan bahwa demokrasi yang kehilangan substansi—yang dikendalikan oleh transaksi dan kekuatan modal—pada akhirnya hanya akan menjadi panggung elite, bukan rumah bagi rakyat banyak.

Dalam konteks ini, pandangan Bung Karno relevan untuk menjadi pijakan ideologis. Soekarno menegaskan bahwa Indonesia hanya akan berdiri tegak ketika berdikari dalam politik dan ekonomi, menolak ketergantungan kepada kekuatan asing, dan menegakkan gotong royong sebagai struktur sosial yang menjaga keseimbangan kekuasaan. Semangat Trisakti—berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya—adalah antitesis langsung terhadap dominasi oligarki. Jika politik dikendalikan oleh segelintir elite dan ekonomi terpusat pada konglomerasi besar, maka Trisakti hancur di tengah jalan.

Mohammad Hatta pun memberi peringatan serupa melalui gagasan demokrasi kerakyatan dan ekonomi berbasis koperasi, di mana rakyat menjadi subjek, bukan objek kekuasaan. Hatta melihat bahwa demokrasi sejati hanya mungkin hidup apabila distribusi sumber daya merata dan warga memiliki akses yang setara terhadap peluang ekonomi dan politik. Ketika oligarki menguasai aset nasional, maka demokrasi kehilangan ruhnya, dan rakyat menjadi penonton dalam panggung yang seharusnya mereka miliki.

Sementara itu, gagasan Prabowo Subianto mengenai perlunya sistem politik khas Indonesia—yang tidak sekadar mengadopsi demokrasi prosedural ala Barat, tetapi menegakkan nilai kekeluargaan, solidaritas nasional, dan kemandirian ekonomi—menawarkan perspektif pragmatis mengenai langkah reformasi ke depan. Dorongannya terhadap kemandirian pangan, energi, dan industri nasional sejalan dengan upaya membebaskan negara dari cengkeraman kekuatan modal yang berkelindan dengan struktur politik oligarkis.

Jika disatukan, keempat pandangan ini membentuk peta jalan moral dan strategis:Soekarno memberi arah ideologis: berdikari dan gotong royong; Mohammad Hatta memberi landasan ekonomi dan demokrasi substantif; Prabowo menawarkan kerangka transformasi sistem dan strategi nasional; Haedar Nashir memberi alarm agar cita-cita itu tidak dicuri oleh oligarki.

Maka kesimpulannya jelas: Indonesia hanya akan kuat bila negara kembali menjadi milik semua, bukan milik segelintir elite.
Demokrasi hanya hidup bila rakyat dapat bersuara tanpa takut, ekonomi hanya berdaulat bila kekayaan bangsa dinikmati secara adil, dan politik hanya bermakna bila tidak dikendalikan oleh uang dan transaksi kepentingan.

Dengan demikian, perjuangan melawan oligarki bukan sekadar agenda politik, tetapi agenda peradaban bangsa untuk menegakkan kembali janji kemerdekaan: Indonesia merdeka sepenuhnya—untuk kemakmuran seluruh rakyatnya.

Penulis : Tonny Rivani

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia
Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan
Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya
Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Berita ini 21 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 16:12 WIB

Penguatan HAM Dalam Wadah Negara Demokrasi Indonesia

Rabu, 3 Desember 2025 - 15:29 WIB

Kepatuhan Pajak di Tangan Algoritma: Solusi atau Ancaman?

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Selasa, 2 Desember 2025 - 14:11 WIB

Penulis Tak Lagi Dibebani Administrasi Pajak? Kemenekraf Mulai Lakukan Pembenahan

Selasa, 2 Desember 2025 - 12:48 WIB

Eko Wahyu Pramono Gugat Politeknik Negeri Jember ke PTUN Surabaya

Senin, 1 Desember 2025 - 20:03 WIB

Janji Boleh Lisan, Pembuktiannya Harus Kuat: Pesan Advokat Roszi Krissandi

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Senin, 1 Desember 2025 - 13:17 WIB

Banjir Sumatera: Bukan Soal Warga Lalai Menjaga Hutan, Tapi Ulah Mafia Kekuasaan

Berita Terbaru